Oleh: Ahmad Farisi*
Sejauh ini, sekonyong-konyongnya sudah ada dua buku tematik (tentang) cara menggapai hidup bahagia yang sudah saya baca. Dua buku tersebut adalah Seni Hidup Bahagia dengan Berpikir Positif karya Coky Aditya Z (2019) dan Psikologi Suryomentaraman: Pedoman Bahagia ala Jawa karya Afthonul Afif (2020).
Pada intinya, dua buku tersebut membahas satu tema besar, yakni kebahagiaan. Namun, keduanya berbeda perspektif.
Coky Aditya Z, pada bukunya itu berpandangan bahwa manusia bisa mencapai kebahagiaannya apabila manusia mampu berpikir positif. Jadi, jika kita tak mampu berpikir positif (poisitive thingking), maka jangan mimpi di siang bolong bisa merasakan apa yang disebut dengan kebahagiaan itu.
Satu alasan Coky yang bagi saya paling masuk akal adalah karena bagi Coky, manusia yang tak mampu berpikir positif, maka jiwanya menjadi tidak tenang. Curiga dan penuh keragu-raguan.
Sementara bagi Coky, sejalan dengan Afthonul Afif dalam bukunya itu, jiwa yang tidak tenang, rentan denga katidakbahagiaan. Karena, bahagia tidaknya manusia menurut mereka berdua, itu tergantung pada ketenangan jiwanya. Sekali lagi, bagi saya ini sungguh masuk akal.
Sampai di sini, cara menggapai kebahagiaan ala bukunya Coky Aditya Z itu saya cukupkan. Lebih lanjut, sekarang kita bahas hidup bahagia ala bukunya Afthonul Afif itu.
Dalam bukunya itu—seperti Coky Aditya Z—dan seperti saya nukil di atas— Afthonul Afif dalam bukunya juga punya prinsip bahwa kebahagiaan adalah soal ketenangan jiwa.
Namun, berbeda dengan Coky, Afif sama sekali tidak meletakkan tradisi berpikir positif pada bab-bab bukunya sebagai jalan untuk menggapai kebahagiaan. Ya, sama sekali tidak ada. Afif, sebagai penekun psikologi positif punya cara pandang lain hal ihwal menggapai kebahagiaan yang hakiki.
Secara garis besar. Bagi saya, ada dua teori kebahagiaan yang diajukan oleh Afif. Pertama, memperoleh kebahagiaan dengan cara menjadi 'Aku Bukan Kramadangsa’ atau menjadi manusia tanpa ciri.
Dalam pemahaman sempit saya, yang dimaksud Afif pada 'aku bukan kramadangsa' atau 'manusia tanpa ciri' adalah, yakni dengan menjadi manusia yang super baik: suka menolong sesama dan selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan semua orang.
Bagi Afif, jika hal itu mampu dilakukan. Maka hal itu akan meniscayakan ketenangan bagi si pelakunya.
Sebab, dengan suka menolong, manusia akan terbebaskan dari beban sosial dan dengan selalu menjaga hubungan yang baik pada setiap orang ruang gerak manusia akan lebih luas.
Sehingga, di mana pun manusia itu berada. Keberadaannya selalu diterima dengan kebaikan pula. Dan, pada saat bersamaan, di situlah jiwa manusia akan merasa tenang dan legowo yang akan mengantarkannya pada ruang kebahagiaan yang terhampar luas.
Sedangkan yang kedua, teori yang ditawarkan Afif, adalah memperoleh kebahagiaan dari pendidikan di masa kecil. Pada bab ini, bagi kebanyakan manusia, teori ini tidak serta merta bisa ditempuh. Sebab, pada masa kecil, kita tidak bisa menentukan pendidikan macam apa yang bisa kita ambil.
Namun, bagaimanapun keadaannya, setidaknya teori ini bisa menjadi pedoman sekaligus catatan kritis bagi para orang tua yang berkehendak anaknya bahagia di masa dewasa.
Ya, orang tua. Dan sekali lagi, teori ini sangat bergantung pada orang tua. Sebab, yang bertanggung jawab penuh atas pendidikan anak di masa kecil adalah orang tua.
Menurut Afif, kebahagiaan manusia di masa dewasa itu sangat ditentukan oleh pendidikannya di masa kecil. Jika pendidikannya di masa kecil cenderung buruk. (Maaf), niscaya masa dewasanya akan cenderung tidak bahagia.
Analisis yang ditawarkan oleh Afif pada teori ini seperti ini. Sebagai misal, pada suatu kasus, dengan alasan tertentu ada orang tua yang suka membohongi anaknya. Pun alasannya dapat dibenarkan. Tetapi membohongi anak tetap tidak bisa dibenarkan.
Sebab, perilaku membohongi itu akan membentuk mental anak. Jika anak terus-terusan dihidangkan dengan perilaku bohong. Maka mentalnya akan terbentuk menjadi mental yang tidak percaya.
Dan, jika mental yang terbentuk adalah mental tidak percaya. Maka, di masa dewasa kelak. Anak ini akan dihinggapi dengan rasa curiga dan kecurigaan berlebih.
Berteman dengan seseorang. Anak ini akan berpikir bahwa ia cuma akan dimanfaatkan (dibohongi). Berbisnis dengan seseorang. Anak ini juga akan curiga akan ditipu. Intinya, serba curiga.
Karena, semenjak kecil ia telah biasa menyaksikan bahwa dunia ini penuh dengan kebohongan. (Wahai para orang tua catat tebal kalimat ini).
Sebagai akibatnya, jiwanya menjadi tidak tenang, risau, galau dan bingung. Dengan siapa dia harus berteman dan bekerja. Sementara, baginya dunia adalah persekongkolan kebohongan-kebohongan.
Dan, satu argumentasi Afif lagi yang perlu kita renungkan adalah kesimpulannya yang mengatakan bahwa kebahagiaan manusia tidak ditentukan oleh materi dan benda-benda mati.
Materi, dan benda-benda mati, berdasarkan fungsinya hanya bisa memenuhi dan memuaskan hasrat fisik kita. Tidak hasrat dan kepuasan jiwa. Sementara, kebahagiaan adalah masalah ketenangan dan kepuasan jiwa.
Jadi bagaimana? Jawabannya, ini adalah tamparan keras bagi kita yang suka mengumpulkan harta dan benda-benda mati di siang dan malam dengan rakusnya dengan dalih demi kebahagiaan.
Bagi kita yang belum bahagia. Merefleksi dari pokok pemikiran Coky Aditya Z dalam bukunya itu. Besar kemungkinan kita belum mampu berpikir positif.
Sedangkan bagi kita yang belum bahagia dengan merefleksi pada pokok pikiran Afthonul Afif pada bukunya itu juga. Ada dua kemungkinan, antara kita yang belum bisa menjadi 'aku bukan kramadangsa' atau malah pendidikan masa kecil kita yang tak menguntungkan kita.
Atau, berkaca pada kesimpulan Afif yang terakhir. Jangan-jangan kita terlalu sibuk mengumpulkan materi dan benda-benda mati. Sehingga, kita tak sempat atau bahkan lupa untuk berbahagia.
RSUD Moh. Anwar, 28/04/2020
*Esais, tinggal di Twitter @Farisi Aris dan Instagram @Farisi_af
Write your comment
Cancel Reply