Oleh: Ummulkhairy M Dun*
Covid-19 menjadi alasan pemerintah mengambil kebijakan untuk menghentikan segala aktivitas di luar rumah sementara waktu. Termasuk proses pendidikan, tanpa terkecuali aktivitas lembaga pendidikan di Indonesia mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi telah mengindahkan untuk melakukan pembelajaran dari rumah. Selain itu, hal yang lebih substansi dalam kebijakan pemerintah adalah ditiadakannya Ujian Nasional pada tahun ini.
Dalam merespon kebijakan ini tidak ada lagi sikap kontra dari masyarakat terutama bagi pelaku pendidikan. Dampak penyebaran dan infeksi serta ancaman kematian yang begitu signifikan menjadi prioritas utama bagi mereka untuk bersepakat belajar dari rumah. Otoritas pemerintah dalam membijaki hal ini dinilai sangat tepat sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat Indonesia, terutama generasi muda untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Belajar dari rumah bukanlah sesuatu yang baru bagi dunia pendidikan. Secara konsep, salah satu yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah lingkungan. Berdasarkan lingkungan, Bapak Pendidikan Indonesia “Ki Hajar Dewantara†membagi pendidikan dalam tiga dimensi, yaitu Pendidikan Informal, Formal, dan Nonformal. Yang sesuai dengan imbauan pemerintah saat ini adalah pendidikan informal.
Pendidikan informal adalah proses pendidikan yang berlangsung di lingkungan keluarga atau rumah. Pendidikan di rumah menjadi pendidikan awal sebelum manusia menempuh pendidikan formal di sekolah. Tidak dapat dinafikan bahwa rumah adalah wadah awal yang menjadi saksi bisu tumbuh kembangnya manusia dan dapat menentukan kualitas pendidikan seseorang secara spiritual dan intelektual.
Hal ini kemudian dipertegas dalam konsep pendidikan Islam yang menggambarkan sosok ibu sebagai sekolah pertama (madrasah al ula). Ibu yang dimaksud adalah keluarga. Secara lingkungan, keluarga bertempat di rumah. Sehingga tidak berbeda dengan sekolah, rumah mampu menjadi tempat berlangsungnya pendidikan yang baik. Begitu pentingnya fungsi rumah selain tempat tinggal pun memiliki peran dalam menciptakan manusia-manusia berkualitas.
Jika dimaknai secara baik maka tanpa ada imbauan dari pemerintah pun rumah senantiasa menjadi tempat berlangsungnya proses pendidikan. Namun realitas yang ada menunjukkan bahwa kesadaran belajar dari rumah adalah hanya untuk menggugurkan kewajiban seperti absen, pengumpulan tugas dan presentasi online yang dilakukan dari rumah saat ini.
Hingga sekarang pelajar dan mahasiswa belum mampu menjadikan rumah sebagai sekolahnya dengan baik. Banyak waktu di rumah yang diluangkan sia-sia tanpa ada nuansa edukasi. Proses pendidikan yang dipraktekkan di rumah adalah menjadikan gadget sebagai satu-satunya sarana pendidikan. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran yang dilakukan berbasis online (daring).
Pembelajaran berbasis online memang mudah dan tidak menyulitkan baik pendidik maupun peserta didik, karena kepraktisan dalam menggunakan gadget. Dimulai dengan absen online, pelajar/mahasiswa dengan guru/dosen hanya bermodalkan kuota tanpa harus melakukan perjalanan ke luar rumah. Selain itu, penugasan yang dilakukan hanya dengan dari dan ke berbasis online. Ironisnya adalah kepraktisan ini dapat membuat pendidikan kita mengalami kemunduran. Dengan penugasan online yang tanpa syarat membuat pelajar atau mahasiswa tidak lagi membuka literatur berupa buku melainkan searching di google.
Pembuatan tugas yang lebih banyak menyentuh google tidak begitu salah. Sebagai konsumen google paling tidak kita mampu untuk memilah dan memilih konten yang basis referensinya adalah ilmiah. Hal ini sangat dianjurkan bagi mahasiswa, namun juga baik untuk pelajar dalam memperbanyak khazanah yang ilmiah.
Untuk mengafirmasikan bahwa belajar dari rumah tepat adanya, jika pelajar dan mahasiswa mampu memahami makna belajar di rumah dan mengimplementasikan dengan baik. Sehingga, hasil dari belajar di rumah dapat menunjukkan perubahan secara kualitas. Baik kualitas spiritual maupun intelektual.
Di sisi yang lain belajar dari rumah akan efektif jika didukung dengan kebijakan pihak terkait dalam mengatasai masalah-masalah dalam pembelajran online. Misalnya, lembaga pendidikan terkait membatasi pendidik untuk memberikan tugas yang tidak sewajarnya. Hal ini dimaksudkan agar antara pendidik dan peserta didik sama-sama merasakan beban belajar online. Sehingga, beban yang dimaksud dalam hal ini adalah tugas tidak hanya diemban oleh peserta didik. Pendidik pun harus mampu menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur.
Paling sederhana adalah setiap guru atau dosen sebelum memberikan tugas kepada siswa dan mahasiswa, telah dibuat terlebih dahulu materi untuk dipelajari dan selanjutnya dikembangkan dalam penugasan terhadap peserta didik.
Masalah lainnya yang cukup krusial adalah keadaan peserta didik yang tidak secara general memiliki kemampuan ekonomi yang baik. Maksudnya adalah banyak dari kalangan peserta didik yang terkendala oleh kuota internet sebagai syarat melakukan belajar online. Oleh karena itu, pihak terkait dalam hal ini adalah para pengelola lembaga pendidikan diharapkan bisa berinovasi untuk membantu subsidi kuota interner bagi peserta didik.
Dengan adanya kebijakan belajar dari rumah, dibutuhkan kerja sama yang baik antar pelaku pendidikan demi terwujudnya tujuan pendidikan yang telah dicita-citakan. Oleh karena itu, kita dituntut agar dapat memaksimalkan kegiatan belajar dari rumah sebagai bentuk menyelamatkan bangsa ini dari ancaman virus Covid-19 dan resesi pendidikan di Indonesia.
Dengan hadirnya Covid-19 sebagai tamu di negeri kita, tentu banyak hal asing yang kita dapatkan. Salah satunya adalah berita-berita asing yang bermuara pada konten hoaks. Untuk itu, generasi muda yaitu pelajar dan mahaiswa seharusnya mampu menjadi pembaca dan pengkaji yang baik sebelum berita tersebut disebarkan. Sehingga, generasi muda yang diharapkan bangsa ini adalah generasi pelopor edukasi, bukan pelopor sensasi.
*Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mahasiswi IAIN Ternate, Maluku Utara.
Write your comment
Cancel Reply