Opini
Babak Baru Covid-19, Akibat Penerapan Sistem Ekonomi Kapitalistik
Oleh: Seddwi Fardiani*)
Lonjakan kasus Covid-19 kembali terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Kementerian Kesehatan melalui Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melaporkan hingga saat ini, kasus positif Covid-19 di Indonesia menembus angka 2.004.445 orang. Jumlahnya bertambah 14.536 dari data Minggu (20/6) yang menunjukkan masih 1.989.909 orang. Dari total 2.004.445 kasus positif Covid-19, 54.956 di antaranya meninggal dunia (merdeka.com, 21/6/2021).
Bangkalan Madura termasuk salah satu wilayah yang tercatat mengalami peningkatan kasus. Data Satgas Penanganan Covid-19 Jatim, per Selasa (15/6), kumulatif terkonfirmasi positif Corona di Bangkalan mencapai 2.384 kasus, bertambah 75 kasus dari hari sebelumnya. Dari jumlah itu, sebanyak 1.553 dinyatakan sembuh atau terkonversi negatif, 232 meninggal dunia. Sementara pasien yang masih dirawat mencapai 599 orang. Bangkalan juga menjadi daerah dengan kasus aktif Covid-19 tertinggi di Jatim saat ini dan statusnya berubah menjadi zona merah (cnnindonesia.com, 16/6/2021).
Kondisi ini menyebabkan diberlakukannya penyekatan Jembatan Suramadu, baik dari arah Kota Surabaya maupun dari arah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Menanggapi hal tersebut, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan Pemkot Surabaya, Pemkab Bangkalan dan Pemprov Jawa Timur sepakat untuk menerapkan penyekatan dari kedua arah. Artinya, screening dan swab test antigen dilakukan di akses Suramadu dari arah Surabaya menuju Bangkalan maupun sebaliknya. Hanya saja hal ini berakhir dengan unjuk rasa yang dilakukan oleh massa yang mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Madura Bersatu yang menganggap bahwa kebijakan penyekatan tersebut tebang pilih dan mendiskreditkan masyarakat Madura (tempo.co, 21/6/2021).
Hingga saat ini sejak awal kemunculannya pada awal tahun 2020, wabah covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Kasusnya justru semakin hari semakin bertambah. Terlebih lagi pasca liburan kemarin, di mana akses pariwisata masih tetap terbuka lebar untuk masyarakat umum. Ditambah lagi dengan tetap dibukanya bandara yang memungkinkan warga negara asing untuk masuk ke wilayah Indonesia dan menjadi pintu masuk varian baru virus Covid-19 yang memiliki kemampuan penyebaran infeksi yang sangat cepat.
Segala upaya yang dilakukan pemerintah, seperti 3 T (Testing, Tracing, dan Treatment), 3 M (Memakai masker, Mencuci tangan, Menjaga jarak dan menghindari kerumunan), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), larangan mudik dan vaksinasi seakan tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap penyelesaian wabah covid ini. Adanya kebijakan yang tebang pilih pun menunjukkan bahwa pemerintah terkesan tidak serius dalam menanggulangi wabah.
Hal ini diperparah dengan kondisi ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang seringkali dijadikan dalih penyebab semakin meningkatnya kasus Covid-19. Namun, sejatinya hal tersebut menunjukkan ketidakmampuan Negara dalam meriayah rakyat dan memberikan pemahaman akan pentingnya mematuhi protokol kesehatan. Hal ini sekaligus menunjukkan hilangnya wibawa kepemimpinan mereka di mata rakyat, sehingga masih banyak rakyat yang abai terhadap kebijakan yang telah ditetapkan.
Situasi wabah yang semakin tak terkendali ini menunjukkan bahwa ada kesalahan dalam tata kelola sistem kesehatan yang diterapkan dalam kepemimpinan kapitalistik. Dalam sistem kapitalis, Negara kerapkali berhitung untung rugi. Negara lebih peduli terhadap pertumbuhan ekonomi ketimbang kesehatan dan keselamatan masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa sistem ekonomi yang kapitalistik mudah kolaps.
Menanggapi hal tersebut, Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (Paru), Dr dr Erlina Burhan Sp.P(K), M.Sc,Ph.D mengatakan, kita semua tidak ingin sistem kesehatan Indonesia kolaps karena akan berdampak kepada yang lainnya, yakni ekonomi bahkan pendidikan (Kompas.com, 19/6/2021).
Sejak awal, Negara memang sudah salah langkah dalam menangani wabah ketika menjadikan ekonomi sebagai pertimbangan utama. Hal ini diperparah dengan penerapan kebijakan-kebijakan yang kian menjauhkan jarak antara mereka dengan rakyatnya.
Menanggapi lonjakan kasus yang terjadi di sejumlah daerah, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra, mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang radikal agar keluar dari lonjakan pandemi virus Corona (Covid-19) saat ini. Hermawan mengatakan pemerintah memiliki dua opsi yang bisa diambil saat ini, yakni PSBB ketat atau lockdown regional. Menurutnya, pilihan yang paling radikal adalah lockdown (cnnindonesia.com, 20/6/2021).
Hal ini selaras dengan ketentuan Islam. Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dia pimpin.†(HR al-Bukhari). Sehingga dalam hal ini, seorang pemimpin harus berupaya sekuat tenaga mencurahkan segala potensi yang ada. Kepemimpinan dalam Islam merupakan amanah dari Allah SWT yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Islam sangat menghargai nyawa manusia. Terkait dengan nyawa, Rasulullah SAW bersabda, “Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Mukmin tanpa haq.â€Â (HR an-Nasa’i dan at-Tirmidzi). Dengan demikian dalam pandangan Islam, nyawa manusia harus diutamakan, melebihi ekonomi, pariwisata, atau pun lainnya.
Untuk itu, dalam upaya penanganan wabah Covid-19 ini, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya, seperti melakukan tes dan tracing dengan cepat dan akurat agar orang yang positif bisa segera dipisahkan (diisolasi) dari orang yang sehat untuk kemudian diobati, sehingga penularan wabah tidak meluas. Tes dilakukan dengan mudah dan gratis, sehingga tidak memberatkan masyarakat.
Hal ini pernah diterapkan pada masa kepimimpinan Khalifah Umar bin al Khattab pada saat terjadinya wabah Tha’un. Rasulullah SAW bersabda : “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.†(HR al-Bukhari).
Dengan kata lain, Negara harus memberlakukan lockdown (isolasi) secara lokal di wilayah yang terkena wabah. Dengan begitu, penularan wabah akan dapat dikendalikan.
Di samping itu, Negara harus menjamin semua kebutuhan dasar warganya di wilayah yang diisolasi yang diambilkan dari dana yang tersimpan di Baitul Mal yang diperoleh dari berbagai pos pemasukan tanpa pajak dan hutang. Sehingga, tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tetap beraktifitas di luar rumah dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi, Negara harus memiliki peta yang jelas, daerah mana yang berstatus zona merah, kuning dan hijau. Sehingga, untuk wilayah yang tidak terkena wabah tetap dapat melakukan aktifitas ekonomi, bahkan dapat ditingkatkan produktivitasnya sehingga dapat menopang daerah lain yang terkena wabah.
Negara juga harus mendorong dan memfasilitasi para ilmuwan untuk menemukan metode, obat, atau vaksin yang ampuh untuk mengatasi wabah Covid-19 dengan berbagai variannya dan daya tular lebih ganas saat ini. Dalam hal ini, Negara tidak boleh berpikir untung rugi dari aspek finansial, namun kesehatan dan keselamatan rakyat harus diutamakan.
Begitulah solusi Islam terhadap penanganan wabah. Hal ini hanya bisa terwujud ketika Negara melakukan perubahan secara sistemis dan mendasar, yakni perubahan sistem politik dari sistem kapitalisme kepada sistem Islam yang menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh). Sistem yang berbasis kesadaran ideologis umat, sehingga umat dengan penuh keimanan dan keikhlasan mematuhi segala kebijakan yang diterapkan oleh pemimpin. Wallahu a’lam.
*) Pemerhati Masalah Publik
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply