Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego*
Sudah jamak diketahui, bahwa term aktivis seringkali disalahpahami oleh sebagian orang. Sebut saja sebagian mahasiswa yang telah berafiliasi ke dalam organisasi internal kampus maupun eksternal kampus yang menyatakan dirinya aktivis. Predikat kemahasiswaan yang melekat dalam diri seorang mahasiswa dan aktif di pelbagai organisasi seringkali membuat mereka merasa dirinya paling benar, hebat dan merasa besar dengan baju kemahasiswaannya.
Padahal jika dilihat dari aspek ilmu kebahasaan (semantik), kata aktivis memiliki pelbagai varian makna. Karena term aktivis memiliki makna yang sangat luas itulah, sehingga banyak disalahpahami oleh mahasiswa itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian aktivis terdiri atas dua bagian. Pertama, aktivis adalah individu atau sekelompok orang terutama anggota politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, perempuan yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Kedua seseorang yang memiliki kemampuan menggerakan masa dalam bentuk demonstrasi dan lain sebagainya.
Dalam Wikipedia, aktivis adalah istilah umum yang merujuk kepada kegiatan, baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun lembaga swadaya masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat umum menuju kehidupan yang baik. Aktivis sosial merupakan pengabdi yang mengorbankan tenaga, pikiran, bahkan harta bendanya untuk mewujudkan cita-cita.
Sedangkan pengertian Mahasiswa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang menempuh atau belajar di perguruan tinggi. Dalam Wikipedia dijelaskan Mahasiswa adalah sebutan bagi orang yang sedang menempuh pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi yang terdiri atas sekolah tinggi, akademi, dan yang paling umum adalah universitas.
Dari pengertian aktivis dan mahasiswa tersebut di atas dapat dipahami kedua kata itu memiliki makna universal. Dan syarat terhadap orang yang disematkan sebagai aktivis harus aktif dan menjadi pejuang sejati. Istilah mahasiswa dan aktivis ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dilepas-pisahkan. Karena memiliki hubungan yang sangat erat, sehingga mahasiswa diidentikkan dengan aktivis.
Namun, di sisi yang lain makna aktivis tidak hanya disandang oleh mahasiswa. Predikat aktivis boleh digeluti oleh siapa saja. Tidak memandang jenis kelamin, warna kulit, golongan, pangkat dan jabatan bahkan status kewarganegaraan. Selama dia aktif di sebuah kelompok usaha atau organisasi bahkan aktif di dunia akdemik boleh dikatakan dia seorang aktivis.
Atas dasar itulah, maka jelaslah istilah aktivis tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dan juga istilah aktivis tidak hanya melekat pada mahasiswa yang selalu turun ke jalan menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dengan cara demonstrasi. Aktivis adalah orang yang aktif di segala bidang kehidupan. Contohnya, aktif dan berkiprah di bidang politik, hukum, budaya, sosial, ekonomi, agama, akademik, organisasi dan lain-lain. Dan menjadi aktivis paling sederhana dalam konteks kekinian adalah menjadi seorang penulis. Dengan menulis, mahasiswa dapat menyemai ide-ide kritis untuk mengkritik dan memberikan solusi kepada pemerintah.
Karena itu, tipologi orang seperti dijelaskan di atas boleh dikatakan sebagai aktivis. Mengapa mereka disebut aktivis? Karena dilihat dari aspek kegiatan dan aktivitasnya. Dan tingkat kesibukan dan aktivitas itu adalah merupakan capaian dari mereka. Sejatinya pencapaian itu lahir dari diri mereka sendiri. Sehingga, pantas dan layak serta memenuhi syarat mereka disematkan sebagai aktivis.
Jika kita menengok sejarah lahirnya bangsa ini boleh dikatakan bermula dari gerakan aktivis generasi muda Indonesia. Bahkan sejarah mencatat gerakan mahasiswa di era Orde Lama telah berhasil menjatuhkan Presiden Soekarno dari tampuk kekusaan sebagai Presiden pertama pada tahun 1966 dan klimaksnya gerakan mahasiswa melengserkan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Ini menandakkan mahasiswa secara tidak langsung berhasil merubah peta politik Nasional di bangsa ini kala itu.
Namun, kita tidak boleh mengesampingkan dan menafikan jasa kaum tua dalam berjuang mengusir penjajah dan meraih kemerdekaan. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak terlepas dari kontribusi kaum tua. Sehingga, ada dua golongan kala itu yang sama-sama berjuang mengusir penjajah. Dengan kata lain, mahasiswa atau pemuda adalah manifestasi dari spirit golongan tua. Jadi, berbicara tentang pemuda juga berbicara tentang kaum tua. Karena keberadaan kaum tualah yang melahirkan kaum muda.
Atas dasar ini, maka jika ada kaum muda yang berani mendiskreditkan kaum tua maka tindakan mereka tidak rasional dan telah mencederai nilai luhur bangsa Indonesia. Cara berpikir aktivis yang demikian adalah aktivis yang tidak membaca sejarah atau gagal dalam memahami sejarah.
Bung Karno telah berpesan bahwa:
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannyaâ€.
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Jas Merah)â€.
Perkataan Bung Karno ini adalah bentuk afirmasi dalam memberi pesan moral yang harus terpatri dalam jiwa kaum muda khususnya mahasiswa. Sehingga, dalam melakukan sebuah perjuangan jangan mudah meremehkan golongan lain terutama golongan tua yang konon sudah tidak lagi progres dan produktif dalam berkarya. Bukankah setiap masa memiliki pemimpin dan setiap pemimpin memiliki masa? Sudah tentu kita harus intropeksi diri bahwa kelak atau di kemudian hari anak cucu kita yang akan menggantikan perjuangan kita.
Kalau hari ini kita sibuk saling menyalahkan sehingga waktu habis terbuang sia-sia tanpa tindakan produktif. Maka apa yang akan kita wariskan untuk generasi? Kalau demikian adanya, maka ke depan boleh jadi generasi kita akan murka akibat ulah kita saat ini. Karena itu, cetaklah sejarah yang baik saat ini, perbanyaklah berkarya selagi muda dan berkontribusilah untuk agama, bangsa dan negara. Agar kelak kita dicatat oleh sejarah dan mewariskan sejarah yang konstruktif untuk generasi bangsa.
Banyak sekali tokoh-tokoh dunia yang telah diabadikan dalam catatan sejarah sesuai dengan tingkat tindakan kezaliman dan kemuliaannya. Sebut saja aktor yang ditakuti karena kejahatan mereka seperti Raja Namrud, Raja Abrahah, Firaun dan sederet tokoh-tokoh yang kejam dan bengis yang lain. Sedangkan aktor yang disegani oleh musuh dan disayangi oleh umat Islam adalah seperti Nabi Ibrahim as, Isa as, Musa as, dan Nabi Muhammad SAW.
Dalam konteks Indonesia aktor yang menjadi pahlawan (heroisme) seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan sederet tokoh-tokoh masyhur yang lain. Tentu saja mereka memiliki masa yang berbeda-beda. Perjuangan mereka juga berbeda dalam situasi dan kondisinya. Dan mereka semua dicatat oleh sejarah sebagai seorang aktivis sejati.
Oleh karena itu, untuk memberikan yang terbaik kepada generasi dan anak cucu ke depan tentunya harus dengan karya nyata. Karya tidak hanya diucapkan dengan kata-kata tapi harus dipraktikkan dalam bentuk tindakan nyata. Lalu apa yang harus dilakukan sebagai generasi muda saat ini? Tentunya generasi muda saat ini harus memiliki kemampuan dalam bidang akademik dan non akademik.
Dengan demikian, dari paparan dan analisis problematika dan potret dekadensi mahasiswa yang notabene aktivis sebagai berikut.
Pertama, terminologi aktivis memiliki makna yang umum dan belum ada kesepakatan dan kesepahaman terkait makna aktivis oleh para ahli secara final. Karena terminologi aktivis tidak hanya disandang oleh mahasiswa tetapi siapa saja yang aktif dalam bidang usahanya boleh dikatakan sebagai aktivis. Seperti penggiat sosial, aktivis lingkungan, aktivis HAM, aktivis pro demokrasi dan lain sebagainya.
Kedua, mahasiswa yang masuk dalam kategori aktivis saat ini harus selangkah lebih maju dari hari kemarin. Aktivis dalam konteks kekinian harus mampu berkarya. Dia tidak hanya ahli dalam teori tapi juga dapat mengejawantahkan apa yang dipelajarinya. Contoh yang paling sederhana adalah seseorang menjadi aktivis selain aktif di organisasi dia juga menjadi pembaca yang baik, rajin berdiskusi, dan menjadi penulis handal.
Poin ketiga ini yang menjadi kendala untuk aktivis hari ini. Dari puluhan sampai ratusan mahasiswa aktivis, hanya sedikit yang bisa menulis. Yang di maksud dengan menulis adalah menulis apa saja. Kemudian tulisannya dimuat di media cetak maupun di media online. Terlebih lagi dia mampu menulis buku untuk karyanya sendiri sesuai dengan basic disiplin keilmuannya. Namun kenyataan berkata lain, masih banyak mahasiswa aktivis yang hanya mampu berbicara dan berorasi. Namun sedikit yang dapat menjadi penulis. Karena itu, jadilah aktivis lewat tulisan.
Ketiga, silahkan saja menjadi aktivis. Tapi jangan melupakan tugas primer seorang mahasiswa yaitu akademik. Aktivis yang sukses adalah sukses akademik dan sukses organisasi. Dengan kata lain organisasi Yes, akademik juga Yes. Sebab, tidak dapat dipungkiri, dewasa ini banyak para aktivis ketika sibuk di organisasi lupa akan tanggung jawab akademik, sehingga tidak lulus tepat waktu. Bahkan tidak sedikit para aktivis lulus dengan predikat Drop Out (DO). Kebanyakan mahasiswa di DO ini bukan karena hal lain, tapi karena tidak masuk belajar di dalam kelas dan akhirnya tidak lulus mata kuliah, dan telah mencapai ambang batas semester sehingga dirinya dikeluarkan dari kampus.
Keempat, sebagai generasi muda harapan bangsa dan negara tentunya seorang aktivis harus berjiwa spritual. Artinya, dalam memperjuangkan hak-hak rakyat seorang aktivis juga harus memiliki jiwa spritual. Harus ada keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Bagaimana mungkin berjuang untuk kebenaran namun mengabaikan perintah agama. Pejuang sejati yang sukses adalah dia mampu memadukan antara dunia dan akhirat. Salah satunya adalah perkara ibadah dia berada di barisan terdepan.
Kelima, seorang disebut aktivis jika dia ahli dalam bidangnya. Dengan kata lain, seorang aktivis dapat menguasai disiplin ilmunya. Sebab, banyak sekali contoh konkret mahasiswa yang tidak menguasai disiplin ilmunya. Sehingga, setelah lulus kuliah dia tidak dibutuhkan di masyarakat terlebih lagi di dunia usaha yang digelutinya. Sebagai contoh, kalau seseorang ahli dalam disiplin keilmuannya lalu memiliki pengetahuan di bidang yang lain itu luar biasa. Tapi jika sebaliknya, dia tidak menguasai basic keilmuannya tapi menguasai disiplin ilmu yang lain itu binasa. Oleh karena itu, agar menjadi seorang aktivis yang berjiwa kompetitif, mampu menciptakan lapangan pekerjaan, dan dapat diterima di sebuah instansi untuk berkerja, maka harus kuasai disiplin ilmu selama berada di bangku kuliah.
*Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ternate
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) IAIN Ternate 2018-2019
Ketua Umum HMI Komisariat Ushuluddin IAIN Ternate 2019-2020
Write your comment
Cancel Reply