Oleh : Moh. Busri*
Kota Sumenep yang terletak di ujung timur Pulau Madura seringkali disebut sebagai The Soul Of Madura. Sebab, dari empat kabupaten yang ada di pulau ini hanya Kota Sumenep yang memiliki keraton. Selain itu, Arya Wiraraja yang merupakan adipati pertama di Sumenep juga dikenal sebagai tokoh berpengaruh di Majapahit dengan kemampuannya yang sangat cerdik dalam mengkonsep sistem kenegaraan. Karena itu, tidak heran jika Sumenep menjadi kota yang sangat kesohor daripada empat kota lainnya yang ada di Madura. Sebab masyarakat Sumenep merupakan titisan dari orang-orang berpengaruh dengan kemampuannya yang tidak diragukan lagi.
Secara historis dapat kita pahami bahwa kehidupan keraton pastinya identik dengan pola kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etik, seperti cara berbicara, berbahasa, bahkan dalam menentukan sikap. Pentingnya nilai-nilai etika bagi orang Madura, khususnya Kota Sumenep dipertegas dalam satu pribahasa “Bhapa’ Babhu Ghuru Rato†yang artinya “Bapak Ibu Guru dan Rajaâ€.
Orang Madura selalu memandang kedua orang tua sebagai sosok yang paling utama untuk dihormati, sehingga ikatan kekeluargaan orang Madura sangat erat. Selanjutnya, yang harus dihormati setelah orang tua adalah guru. Istilah guru bagi orang Madura ada berbagai macam dan yang paling utama adalah guru alif, yaitu orang yang pertama kali mengajarkan huruf pertama. Betapa sangat terhormatnya guru alif itu bagi orang Madura, sehingga pada setiap waktu seorang murid atau santri terus mendoakan gurunya demi mengharap barokah, agar di sepanjang perjalanan hidup yang dilalui mendapat kemudahan dari Tuhan.
Yang terakhir adalah Raja. Sebagai seorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, maka seorang raja harus berani menggadaikan kesejahteraan pribadinya. Mengutip ungkapan yang dilontarkan oleh Tan Malaka “jika kau ingin menjadi seorang pemimpin, maka kemerdekaanmu harus rela untuk direnggutâ€. Hal itu membuktikan betapa beratnya tanggung jawab seorang pemimpin yang benar-benar mengabdi pada bangsanya. Bung Karno rela beberapa kali diasingkan hanya untuk kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta gagal membeli sepatu impiannya dikarenakan ia rela tidak menerima gaji sebagai wakil presiden hanya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Dan masih banyak contoh pemimpin yang rela kemerdekaannya direnggut, tidak lain hanya untuk melihat bangsanya tersenyum.
Pengaruh Ikatan Famili, Guru dan Pesantren, serta Money Politic
Tahun 2020 menjadi masa yang merangkum banyak harapan bagi rakyat Sumenep. Sebab, ditahun ini pemilihan pemimpin baru (Bupati dan Wakil Bupati) akan dilaksanakan, tepatnya pada tanggal 09 Desember 2020. Mimpi besar rakyat Sumenep sepenuhnya dititipkan pada pundak pemimpinnya. Sehingga jika seorang pemimpin tidak mampu melihat akan kebutuhan dan keinginan rakyatnya tentu menjadi suatu hal yang mustahil untuk dapat menciptakan kesejahteraan itu sendiri.
Maka dari itu, proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang sesuai dengan kemampuannya menjadi pokok fundamental untuk diperhatikan. Namun masalahnya, hari ini sangat sulit untuk menyadarkan masyarakat agar memilih pemimpin yang benar-benar pantas untuk dipilih. Hal itu dikarenakan banyaknya pengaruh lain dari luar yang dapat membutakan mata masyarakat. Di antaranya, pengaruh ikatan famili, guru dan pesantren, dan yang sangat mendasar adalah money politic.
Masyarakat Madura sangat fanatik akan ikatan kekeluargaan (famili). Sehingga jika salah satu di antara kerabatnya ada yang mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin, maka hal itu akan terus diperjuangkan hingga berhasil memenangkan kontestasi perebutan panggung kekuasaan tanpa memperhatikan kemampuannya dalam memimpin. Selain itu, orang Madura juga masih fanatik terhadap hubungan seorang santri kepada guru atau pesantren.
Memang patut kita akui bahwa Sumenep masih sangat kental akan kehidupan kepesantrenannya, sehingga ada juga yang berpendapat bahwa Sumenep adalah kota santrinya orang Madura. Secara letak geografis Kota Sumenep menempati wilayah yang cukup jauh dari peradaban kota metropolitan seperti Surabaya, sehingga pengaruhnya juga dapat dikatakan sangat minim. Maka dari itu, kebiasaan hidup sederhana dengan menonjolkan nilai-nilai etika sosial masih sangat kuat. Namun sisi negatifnya masyarakat Madura masih minim akan pengetahuan tentang percaturan politik, sehingga akan memilih seorang pemimpin yang memiliki hubungan lebih dekat dengannya, yaitu ikatan Keluarga, guru atau pesantren.
Selain dua hal di atas, terdapat pengaruh luar yang tidak kalah bahayanya. Bahkan, hal ini menjadi persoalan mendasar di tingkat nasional, yaitu Money Politic. Permasalahan ini tengah membuat seluruh masyarakat menjadi candu, baik di tataran ekonomi menengah ke tas apa lagi di tataran ekonomi menengah ke bawah. Hari ini keberadaan uang telah dianggap sebagai "tuhan" yang dapat menyelesaikan segala persoalan. Sehingga, manusia secara tidak langsung menyepakati bahwa dirinya tidak dapat hidup tanpa adanya uang.
Begitu pula yang terjadi pada percaturan politik, semuanya diukur melalui nominal uang. Seberapa besar calon pemimpin itu berani mengeluarkan uang, maka sebesar itu pula kemungkinannya untuk dapat memenangkan pertarungan politik dalam merebut panggung kekuasaan.
Harapan Besar Masyarakat Sumenep (Mimpi Pasca Kampanye)
Seperti telah diketahui bersama bahwa setiap calon dalam kontestasi politik memiliki hak untuk menyampaikan kampanye dan memasang poster di berbagai tempat. Pada saat itulah janji-janji akan diobral murah. Bermula dari janji untuk memberikan bantuan terhadap berbagai macam lapisan masyarakat hingga janji pembangunan dan pemberantasan kemiskinan.
Akibat dari janji-janji tersebut, maka rakyat akan banyak berimajinasi bahwa di kemudian hari Sumenep akan menjadi kota maju dengan beberapa kekayaan yang dimiliki sesuai dengan janji yang dilontarkan para calon tadi. Namun, sejauh ini tidak semua janji yang diutarakan oleh para pemimpin di panggung kampanye dapat terwujud. Sehingga, begitu banyak kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat. Bahkan, terkadang sampai melahirkan opini bahwa seorang pemimpin saat ini hanya mementingkan dirinya pribadi dengan merampas hak rakyat. Lalu kira-kira seperti apakah pemimpin yang diimpikan oleh masyarakat Sumenep, yang sesuai dengan keinginan rakyatnya?
Sebenarnya tidak banyak hal yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pemimpin yang diharapkan rakyat. Syaratnya hanya harus mampu membangun kesadaran akan tanggung jawabnya, sehingga kesejahteraan rakyat menjadi poin utama yang mesti diperjuangkan. Bukan malah semakin merenggut hak yang harusnya dinikmati oleh rakyat. Namun, membangun sebuah kesadaran tidak cukup hanya dari dalam diri seorang pemimpinnya saja, akan tetapi juga perlu adanya kesadaran rakyat untuk terus maju bersama dalam membangun kota Sumenep. Jika kedua sisi itu saling melengkapi satu sama lain, maka mimpi akan kesejahteraan rakyat Suemenep semakin mudah untuk dicapai.
Sumenep memiliki banyak kekayaan, baik dari kekayaan alam bahkan budaya dan tradisinya. Berbagai macam tempat di Sumenep sangat berpotensi untuk dijadikan destinasi wisata. Lain daripada itu kekayaan laut Kota Sumenep sangat melimpah, tanahnya sangat subur, memiliki banyak sumber Migas. Bahkan, Sumenep juga dikenal sebagai Kota Garam. Jika kekayaan tersebut dapat dikelola baik dengan memanfaatkan pemudanya, tentu pendapatannyapun akan sangat besar. Sehingga, solusi untuk memberantas kemiskinan tidak lagi menjadi persoalan rumit.
Bagi saya, hari ini Kota Sumenep tidak lagi dirundung krisis ekonomi yang dapat memperbengkak angka kemiskinan. Akan tetapi, masyarakatnya sedang krisis kesadaran untuk benar-benar bertanggung jawab dalam bekerja sama dalam membangun Kota Sumenep. Jika kesadaran tersebut dapat tumbuh dari diri pemimpin dan masyarakat, tentunya semua yang diimpikan akan dengan mudah untuk tercapai. Mimpi baru Kota Sumenep terletak pada kesadaran pemimpinnya yang benar-benar ingin berpihak pada rakyat untuk menciptakan kesejahteraan. Sedangkan rakyat juga memiliki tanggung jawab menumbuhkan kesadarannya dalam memilih seorang pemimpin. Tidak lagi didasari oleh adanya ikatan famili, guru, pesantren, bahkan adanya money politic dalam menentukan seorang pemimpin. Namun, masyarakat harus mampu memilih berdasarkan kepampuan dan keberpihakannya terhadap rakyat.
*Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI), beralamat Matanair, Rubaru, Sumenep. Aktif di PMII sekaligus Pimpinan Umum LPM Retorika STKIP PGRI Sumenep periode 2020-2021.
Write your comment
Cancel Reply