Post Images
matamaduranews.com-Para pendukung dan loyalis Jokowi menumpahkan kekecewaan. Goenawan Mohamad (GM) dan Islah Bahrawi-salah satu pendukung setia Jokowi-sudah memuncak kekecewaannya. Seperti dikutip kempalan.com, Dhimam Abror Djuraid menulis: "Mengomentari unggahan GM di media sosial, Bahrawi menyebut Jokowi sebagai setengah berhala. Setengahnya lagi terpendam di bawah permukaan dan baru sekarang terbongkar kedoknya. Bahrawi mengatakan bahwa selama ini pendukung dan pengagum Jokowi seperti menyembah berhala," Berikut tulisan Dhimam Abror Djuraid: Berhala Jokowi Para loyalis Joko Widodo mulai banyak yang kecewa dan menyatakan mufaroqoh, berpisah, dari barisan pendukung Jokowi. Salah satunya, Goenawan Mohamad, wartawan senior cum budayawan, yang selama ini dikenal sebagai ‘’die hard’’, pendukung fanatik Jokowi. Sebuah pesan pendek beredar luas di grup Whatsapp akhir pekan lalu. Pesan itu dikirim oleh seseorang yang memakai nama ‘’Gunawan Muhammad’’. Isinya pernyataan singkat bahwa dirinya kecewa karena merasa dibodohi dan dibohongi oleh Jokowi. Selama ini dia mendukung Jokowi—nyaris tanpa reserve—tapi ternyata sekarang Jokowi melenceng jauh dari harapannya. Pesan pendek itu viral dengan sangat cepat. Goenawan Mohamad yang asli segera merespon unggahan itu dengan menulis pernyataan yang lebih lengkap. Secara implisit ia mengatakan bahwa narasi itu bukan tulisannya, karena penulisan namanya salah. Ia menulis lagi pesan yang lebih lengkap, tetapi isinya tidak banyak berbeda dari versi sebelumnya. GM–begitu ia dikenal di lingkungan dekatnya—tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap Jokowi, yang dia bela dengan sepenuh hati sejak pemilihan presiden 2014 sampai 2019. GM masuk kelompok loyalis Jokowi kelas wahid. Bahkan, dalam sebuah wawancara di Tokyo ia menasbihkan Jokowi sebagai presiden Indonesia terbaik sepanjang sejarah. Tapi loyalitas itu lenyap dalam sekejap setelah menyadari bahwa tokoh idolanya itu tidak seperti apa yang selama ini ia banyangkan. GM merasa tertipu oleh sosok Jokowi. Salah satu yang membuatnya murka adalah politik nepotisme Jokowi terhadap anak-anaknya. Kemurkaan GM memuncak karena ia menduga Jokowi memengaruhi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memuluskan ambisinya menjadikan anak mbarep, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto. GM tampaknya—seperti banyak orang lainnya—menduga bahwa MK akan mengabulkan gugatan dengan menurunkan batas minimal calon presiden dan wakil presiden menjadi 35 tahun. Keputusan ini akan menjadi keputusan spesial untuk memberi karpet merah kepada Gibran. Tetapi, ternyata MK membuat keputusan lain dengan menolak permohonan judicial review itu, Senin (16/10). Tapi, MK masih membuka jalan bagi Gibran untuk masuk dalam kontestasi pemilihan presiden. Sebuah gugatan lain yang diajukan seorang mahasiswa menuntut agar MK membolehkan calon presiden-wakil presiden yang belum berusia 40 tahun untuk ikut pilpres. Syaratnya sudah punya pengalaman menjadi kepala daerah atau kepala pemerintahan yang dipilih melalui pemilu. MK mengabulkan gugatan ini, dan keputusan ini membuka pintu samping bagi Gibran untuk masuk ke kontestasi pilpres 2024. MK terbukti tidak kekurangan cara untuk memberi jalan kepada Jokowi untuk memuluskan politik dinastinya. Kecaman keras dari berbagai arah tidak membuat MK gentar. Komentator politik Rocky Gerung memelesetkan MK sebagai Mahkamah Keluarga, karena Ketua MK Anwar Usman adalah adik ipar Jokowi. Tentu sukar percaya bahwa pernikahan Anwar Usman dengan Idawati adik kandung Jokowki adalah bagian dari setting politik. Anwar Usman duda dan Idawati janda. Maka pernikahan terlihat sebagai sesuatu yang wajar. Tetapi, para skeptis melihat hal ini seperti politik raja-raja Jawa zaman dulu yang memakai hubungan pernikahan untuk memperluas kekuasaan. Keputusan MK inilah yang sudah diprediksi oleh GM akan menjadi puncak politik nepotisme Jokowi. Kemurkaan GM memuncak karena merasa dibohongi Jokowi. Ia menganggap Jokowi yang dulu dikagumi–seolah manusia tanpa cacat–sudah berubah. GM pernah terharu melihat anak-anak Jokowi berbisnis jualan pisang ketimbang mendompleng kemasyhuran bapaknya. Jokowi juga mengatakan anak-anaknya tidak ada yang tertarik kepada politik. Tapi, ternyata semuanya palsu. Dalam tempo singkat Jokowi mengatrol anak dan menantunya ke posisi-posisi politik penting. Kaesang Pangarep, si bungsu, mendapat privilege besar menjadi ketua umum PSI (Partai Solidaritas Indonesia) melalui jalur supercepat. Tidak pernah ada dalam sejarah Republik ini seorang anggota partai, yang baru bergabung beberapa hari, langsung bisa menjadi ketua umum. Tapi, tidak ada yang mustahil dalam politik Jokowi. Si Bungsu pun didapuk menjadi ketua umum PSI, cukup melalui mekanisme kopi darat tanpa keribetan kongres partai politik seperti yang selama ini terjadi. Jokowi mendapatkan brace dengan mencetak dua rekor dalam tempo sebulan. Kaesang memegang rekor sebagai ketua umum termuda partai politik di era reformasi. Dan–jika Gibran dipasangkan dengan Prabowo Subianto–dia akan memegang rekor sebagai calon wakil presiden termuda sepanjang sejarah pemilihan presiden langsung. Kekecewaan GM memuncak. Jokowi sudah bukan lagi idola yang disembah bak berhala. Penyebutan Jokowi sebagai berhala diungkapkan oleh Islah Bahrawi, salah seorang loyalis kelas kakap Jokowi yang ikut-ikutan kecewa seperti GM. Islah Bahrawi selama ini menjadi self-proclaimed crusader melawan apa yang dia sebut sebagai intoleranisme dan radikalisme dengan segala pernak-perniknya. Ia menghantam siapa saja yang dianggapnya intoleran dan radikal. Ia menjadi salah satu bemper Jokowi menghadapi serangan politik Islam. Tapi sekarang Islah Bahrawi masuk dalam barisan pecinta Jokowi yang rontok. Mengomentari unggahan GM di media sosial, Bahrawi menyebut Jokowi sebagai setengah berhala. Setengahnya lagi terpendam di bawah permukaan dan baru sekarang terbongkar kedoknya. Bahrawi mengatakan bahwa selama ini pendukung dan pengagum Jokowi seperti menyembah berhala. GM merasa dibodohi. Seorang intelektual sekelas GM ternyata bisa dibodohi oleh Jokowi. Islah Bahrawi yang banyak membaca referesni khazanah pemikiran Islam—setidaknya menurut pengakuannya—ternyata baru sadar bahwa dia menyembah berhala yang banyak kepalsuan. GM pasti sudah membaca buku Ben Blend ‘’Jokowi; The Man of Contradiction’’, Jokowi manusia Kontradiktif. Buku itu menggambarkan—dengan sangat tepat—bagaimana Jokowi penuh kontradiksi antara apa yang dia ucapkan dengan apa yang dia praktikkan. Blend menyebut kapasitas Jokowi sebagai presiden tidak mumpuni, dan lebih tepat disebut sebagai walikota yang berada di istana. Tentu GM sudah membaca, tapi menutup mata dan telinga. Majalah Tempo—yang didirikan oleh GM—pernah memuat karikatur Jokowi berhidung ala Pinokio sebagai cover. Karena kritik itu Tempo menjadi sasaran amarah pendukung Jokowi. Tetapi GM bergeming. Ia tetap die hard Jokowi. Tapi, kesabaran ada batasnya. Ketika Jokowi semakin jelas keberpihakannya kepada Prabowo Subianto, di titik itulah GM menyatakan berpisah dari Jokowi. GM—dan Majalah Tempo—punya sejarah permusuhan yang panjang dengan Prabowo Subianto. Permusuhan itu timbal balik dan permanen. Rasanya mustahil Tempo akan mendukung Prabowo. Rasanya mustahil pula bagi GM untuk mendukung Prabowo meskipun diendorse oleh Jokowi. Sebagai embahnya gerakan liberal di Indonesia GM memilih pisah jalan dari Jokowi. Dia bersumpah akan menghentikan ambisi politik Jokowi. Sangat mungkin sebentar lagi GM akan mengumumkan dukungannya kepada Ganjar Pranowo. (kempalan)
Setengah Berhala Jokowi Islah Bahrawi Goenawan Mohamad Loyalis Jokowi

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru