matamaduranews.com-Ècangcang ta' èpangger, èpèngkot ta'atalè. Secara bahasa, peribahasa tersebut memiliki arti, diikat tapi tak ditautkan atau diikat tapi tidak ada talinya.
Kalau kita membayangkan, makna kiasan tersebut tentu aneh, tak masuk akal. Masa iya, seseorang yang diikat tapi tidak ada barang atau benda yang membuatnya menjadi terikat.
Ya, itulah kehidupan. Peribahasa yang tidak asing di telinga masyarakat Madura itu menggambarkan sisi kehidupan yang berbeda antara yang tampak di permukaan dengan yang tersembunyi.
Dalam dunia politik, kiasan tersebut berarti seseorang yang tak kuasa dengan kekuasaannya. Meski memiliki kekuasaan, tapi ia tidak dapat menjalankan kekuasaannya secara independen.
Tanpa harus disebutkan satu per satu siapa saja penguasa di negeri ini yang èpèngkot ta'atalè, dari tingkat pusat hingga daerah, tapi dari aktivitas mereka, tentunya kita sudah bisa menebaknya.
Entah karena penguasa itu berangkat dari partai yang tidak dipimpinnya, sehingga tak kuasa dengan kekuasaannya ataupun karena dalam proses pencalonannya, si pemimpin itu memang tidak mengeluarkan biaya sendiri.
Orang yang tak berkuasa dengan kekuasaannya biasanya lebih memilih peran yang dianggapnya aman, yaitu dengan acètak dua' (berkepala dua).
Kiasan acètak dua' juga dikenal dengan sebutan bersayap, standar ganda, dua kaki, dan lain sebagainya. Pemilihan dua karakter yang berbeda dalam satu lakon itu dilakukan dengan maksud untuk tetap menguatkan manuver politiknya.
Bahkan dalam ungkapan yang lagi populer dalam panggung perpolitikan nasional, yaitu berdiri di banyak kaki. Tentu yang saya maksud bukan rèngbirèng (hewan kaki seribu), tapi penguasa yang menjalin hubungan baik dengan banyak kelompok untuk mengamankan eksistensinya saat berkuasa maupun pascakekuasaannya.
Èpèngkot ta'atalè juga dapat disandingkan dengan Teori Dramatisme Kenneth Burke (dalam Richard West dan Lynn H. Turner, 2014), terutama untuk menguak sandiwara politik dalam ingar bingar Pemilu 2024.
Baik dalam hal dukungan penguasa terhadap calon presiden yang tampak di masyarakat (front stage), di balik dukungannya (back stage), maupun nanti ketika si penguasa sudah menanggalkan kekuasaannya (off stage). Wallahuaklam.
Zarnuji
Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Wiraraja Madura
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply