matamaduranews.com-Katanya demokrasi kita semakin dewasa, masyarakat gak perlu diajari atau dipengaruhi. Mereka sudah pintar, bisa memilih mana yang baik dan mana yang benar atau sudah bisa melihat mana yang buruk dan mana yang baik. Namun di tengah- tengah keyakinan tersebut muncul kekuatiran dari seorang nomer satu di negeri katualistiwa dalam sidang tahunan MPR-RI dan DPR-RI 2022, menyatakan agar jangan ada politik identitas dan politisasi agama pada pemilu 2024. Pasalnya politik identitas dianggap memecah belah keutuhan bangsa. Memiih pemimpin atas dasar etnis, agama, daerah asal provensi/kota dan lain-lainnya. Selain itu tidak sedikit pula memainkan isu politik identitas dan agama menjadi sasaran empuk untuk distigma. Apa sebenarnya makna identitas kok dibikin menakutkan? Identitas menurut Stella Ting Toomey merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Sedang pendapat Gardiner W, identitas berasal dari kata identity yang artinya memiliki tanda, ciri atau jati diri yang melekat pada suatu individu, kelompok atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Bertolak dari pemaparan tersebut tidak bisa dipungkiri namanya identitas selalu melekat pada manusia secara individu maupun kelompok dalam berbagai aspek kehidupan, serta dengan berbagai kepentingan di mana saja dan kapan saja. Identitas melekat di segala aspek kehidupan manusia adalah alami. Bagai mana bisa membayangkan hidup tanpa indentitas - siapa pun sulit bisa menerimanya. Seperti kita ketahui bersama gunanya identitas melekat di setiap individu, kelompok atau golongan. Secara alami hidup manusia di atas bumi terdiri dari berbagai golongan adalah keaneka ragaman hidup untuk saling menghargai dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai harkat kemanusia hidup bersama. Jadi politik melekat pada identitas kenapa diributkan, dicurigai dan ditakuti. Arti politik sendiri pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, bermasyarakat, berorganisasi, berkeluarga dan sebagainya (baca: Politik, KBBI W.J.S. Poerwadarminta). Misalnya dalam memilih pemimpin, selain memilih pemimpin yang memiliki kriteria jujur, adil, kredibel dan terpercaya, juga dijadikan pertimbangan asal suku, ras, agama, etnis dan proses sosialisasinya adalah alami. Jadi sangatlah wajar masyarakat jawa mimilih pemimpin dari jawa. Orang minang memilih pemimpin dari minang. Yang dari batak memilih pemimpin dari asal batak. Mereka yang muslim memilih pemimpin beragama islam. Begitu juga yang kristen memilih pemimpin beragama kristen dan seterusnya. Semuanya itu terjadi secara alami. Kenapa mesti terjadi kekuatiran atau ketakutan terhadap politik identitas dan mempolitisi agama - menunjukan kita tidak dewasa berdemokarasi dan menolak terhadap keraneka ragaman hidup. Menolak perbedaan. Selain itu menunjukan ada upaya memisahkan urusan politik dengan agama, pemikiran sekuler untuk memisahkan kehidupan di dunia tidak ada hubungannya dengan agama. Sementara agama dalam konteks maupun teks Pancasila (baca: Integritas sila-sila dalam Pancasila), perspektif agama tidak sekedar jadi tuntunan kehidupan bisa jadi ideologi, hukum, strategi, ilmu dan sebagainya. Maka tidak heran dalam hidup di negeri ini ada organisasi kristen, pendidikan kristen, masyarakat islam, ekonomi islam, pendidikan islam dan seterusnya. Semuanya berjalan secara alami, maka dari itu seyogyanya menghentikan eksploiter isu politik identitas dan politisasi agama jadi pembodohan, pembohongan, fitnah, adu domba dan sejenisnya, jadi mempersatu untuk memecah belah. *Pemerhati Budaya dan Politik Sumber: kempalan