Post Images
BANYAK bertebaran baliho di berbagai kota bergambar Puan Maharani dengan narasi ‘’Cucu Bung Karno’’. Setelah narasi ‘’Kepak Sayap Kebhinekaan’’ sekarang narasi yang ditempelkan kepada Puan langsung menghubungkannya dengan Presiden RI Pertama Soekarno. Momen 17 Agustus menjadi penting untuk mengidentifikasikan Puan sebagai pewaris Bung Karno sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia. Upaya ini merupakan ikhtiar PDIP untuk kesekian kalinya berusaha mengangkat elektabilitas Puan, yang masih macet di posisi buncit di antara para bacapres papan atas seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Kontestasi politik pada 2024 mendatang adalah perang nasib, nasab, dan nishab. Banyak yang percaya bahwa politik adalah takdir. Politik adalah garis tangan. Politik adalah nasib. Jokowi tidak punya nasab karena dia keturunan orang biasa. Tapi, dia punya nasib baik, sehingga bisa menjadi presiden dua periode. Malah, kalau nasib masih baik, ingin menambah satu periode lagi. Banyak yang percaya bahwa seseorang bernasib mujur atau hancur tergantung nasib. Nasib, bisa dimaknai positif sebagai takdir Ilahi yang harus dicari melalui kerja dan ikhtiar. Ada pula yang menganggap bahwa kekuasaan bisa turun dari langit begitu saja tanpa perlu susah-susah bekerja. Dalam politik pun itu berlaku. Ada yang percaya bahwa kalau sudah digariskan nasib, apapun bisa terjadi termasuk menjadi presiden sekalipun. Anda boleh mengupayakan apa saja, Anda boleh kepingin menjadi anggota dewan atau menjadi presiden. Anda boleh membeli lembaga poling untuk merekayasa hasil survei. Anda boleh pergi ke dukun politik yang paling ampuh. Tapi, pada akhirnya “nasib” yang menentukan Anda akan berhasil atau tidak. Itulah takdir Anda. Nasab juga memainkan peran penting dalam politik. Nasab adalah silsilah keturunan, cikal-bakal, tedak-turun, siapa keturunan siapa, siapa anak siapa, atau siapa, menantu siapa. Dalam budaya tradisional yang feodalistis, nasab mempunyai peran penting. Seseorang bisa mendapatkan perlakuan istimewa hanya karena kebetulan keturunan orang-orang tertentu. Seseorang menikmati privilege tertentu hanya karena menyandang gelar sosial tertentu. Seseorang menikmati hirarki sosial keagamaan tertentu karena keturunan orang-orang tertentu. Tanpa kerja keras, tanpa ikhtiar seseorang mendapatkan privilege sosial hanya karena kebetulan mengalir darah keturunan tertentu. Orang menyebutnya politik dinasti, politik keturunan, politik primordialisme. Semuanya adalah atribusi terhadap aktivitas politik yang dianggap tidak modern. Politik nasab, politik dinasti sudah ada sepanjang peradaban manusia, dan tetap ada di zaman milenial sekarang ini. Sudah ada demokrasi tapi masih tetap ada juga monarki. Di negara-negara demokrasi paling modern seperti Amerika Serikat pun politik dinasti masih ada. Mulai dari dinasti Kennedy, dinasti Bush, atau juga keluarga Clinton. Di Indonesia, politik nasab terasa sangat kental. Tuah Soekarno masih sangat kuat menjadi daya tarik. Anak-cucu Soekarno tetap menjadi daya tarik politik yang kuat. Soekarno, mungkin, tidak secara sengaja membangun dinasti politik. Tapi, sampai sekarang anak turunnya mendapatkan berkah dan tuah dari Soekarno. Orang lain yang tidak punya nasab politik harus kerja keras pontang-panting untuk mendapatkan jabatan politik. Tapi anak keturunan Soekarno bisa mendapatkannya tanpa harus bersusah-payah. Bahkan, banyak juga yang tidak perlu turun ke konstituen di daerah pemilihan, tapi tetap terpilih setiap lima tahun. Seorang bernama Guruh bisa memenangkan kontestasi DPRI-RI berkali-kali dari dapil Jawa Timur hanya karena ada tempelan nama Soekarno di belakang namanya. Ia tidak terlihat sekali pun berdiri di depan khalayak untuk berkampanye. Ia, bahkan, tidak memasang selembar gambar pun untuk memenangkan kontestasi yang bagi kebanyakan politisi dianggap berdarah-darah itu. Tentu, kita juga tidak tahu apa yang dilakukannya untuk konstituennya di Jawa Timur selama lima tahun ini. Bahkan, kita juga tidak pernah mendengar dia melakukan sesuatu selama menjadi anggota dewan. Tetapi, itulah dahsyatnya nasab. Tuah inilah yang coba dieksploitasi oleh PDIP yang sedang berada pada posisi krusial untuk segera menentukan calon presiden pilihannya. Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai sang supremo telah menyiapkan Puan sebagai putri mahkota. Tetapi, bayang-bayang Ganjar selalu menghantui, dan pada akhirnya Mega akan berhadapan dengan dilema buah simalakama. Nishab juga memainkan peran yang sangat penting dalam politik di Indonesia. Belakangan ini tengah ramai dibicarakan soal nishab politik. Nishab adalah batasan jumlah harta untuk mengukur seseorang sudah wajib mengeluarkan zakat atau tidak. Tentu, nishab tidak ada hubungannya dengan politik. Tuah inilah yang coba dieksploitasi oleh PDIP yang sedang berada pada posisi krusial untuk segera menentukan calon presiden pilihannya. Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai sang supremo telah menyiapkan Puan sebagai putri mahkota. Tetapi, bayang-bayang Ganjar selalu menghantui, dan pada akhirnya Mega akan berhadapan dengan dilema buah simalakama. Nishab juga memainkan peran yang sangat penting dalam politik di Indonesia. Belakangan ini tengah ramai dibicarakan soal nishab politik. Nishab adalah batasan jumlah harta untuk mengukur seseorang sudah wajib mengeluarkan zakat atau tidak. Tentu, nishab tidak ada hubungannya dengan politik. Yang kedua, adanya tim sukses. Cerita mengenai tim sukses dan broker politik tak akan ditemukan pada politik di mana pun seperti di Indonesia, karena kampanye calon dilakukan oleh jaringan partai politik, bukan jaringan informal tim sukses. Ketiga, adanya broker politik. Para kandidat di Indonesia membentuk jaringan broker politik mulai dari tingkat nasional hingga rukun tetangga. Jaringan inilah yang dimanfaatkan oleh kandidat untuk melakukan politik uang sebagai cara menjalin hubungan dan meraup dukungan dari masyarakat. Dengan model itu praktik politik di Indoneia menjadi sangat mahal. Apa yang terjadi dari pemilu ke pemilu menjadi saksi lagi bagaimana “nishab” benar-benar memainkan peran penting. Berbagai jargon muncul di tengah masyarakat. Ungkapan “wani piro” sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sebuah deal politik. Ada juga yang memakai istilah pajak “NPWP” untuk deal politik. Sebagaimana pajak yang selalu mencekik, NPWP politik ini juga mencekik. NPWP politik ini singkatan dari “nomer piro wani piro” (nomor berapa, berani berapa); Anda ada di nomor caleg berapa dan berani bayar berapa. Konotasinya menjadi lengkap. Untuk bisa mendapatkan nomor urut berapa di sebuah partai Anda harus “wani piro”. Lalu, untuk bisa mendapatkan suara pemilih, Anda juga ditantang “wani piro”. Kalau tidak ada “wani piro” orang lebih memilih golput alias golongan putih. Tapi, ada golput lain yang tidak kalah pragmatis. Itulah “Golongan Pencari Uang Tunai” (golput) yang sengaja menunggu serangan fajar dalam bentuk uang tunai untuk memberikan suaranya. Dan, masih ada lagi kelompok yang tidak “NPWP” dan tidak “Golput”. Kelompok ini tidak bertransaksi, tidak meminta deal politik. Tapi, untuk mendapatkan suara mereka tetap tidak bisa gratisan. Kelompok ini menyebut dirinya “Waspada” alias “Walau Sedikit yang Penting Ada”. Puan Maharani sudah punya ‘’nasab’’, dan sangat mungkin sudah mempersiapkan ‘’nishab’’ lebih dari cukup. Sekarang Puan tinggal menunggu ‘’nasib’’. (dhimam abror djuraid) sumber: kempalan
Dhimam Abror Djuraid Puan Maharani Perang Nasab Perang Nishab Politik 2024 Perang Nasib Baliho Puan Maharani Cucu Bung Karno

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru