matamaduranews.com-Tuan Guru Bajang atau TGB beberapa hari terakhir mengiasi jagat media setelah resmi dilantik Ketua Harian Nasional DPP Partai Perindo pada hari Sabtu (6/8/2022) di Jakarta.
Ketua Umum DPP Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo melantik dan memasangkan jaket Partai Perindo ke TGB waktu itu.
Banyak pengamat dan politisi mengomentari langkah politik TGB. Dari tokoh regional NTB. Menjadi tokoh nasional.
Perjalanan politik TGB, dari PBB, Demokrat ke Golkar. Kini berlabuh di Partai Perindo juga tak lepas dari bahasan pengamat.
Wartawan Senior, Dhimam Abror Djuraid mengulas langkah politik TGB yang kini berlabuh ke Partai Perindo. Berikut ulasannya:
Tuan Guru BajangÂ
MUHAMMADÂ Zainul Majdi, 50 tahun, lebih dikenal sebagai Tuan Guru Bajang atau TGB, menjadi sosok komplet di panggung politik Indonesia.
Perpaduan antara ulama dan umara, politisi sekaligus ulama ahli tafsir dan hafiz Alquran.
Ditambah lagi, sekarang menjadi wakil komisaris utama MNC Group milik Hary Tanoesoedibjo. Benar-benar paket komplet.
Lebih komplet lagi, TGB diangkat menjadi ketua harian Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang didirikan oleh Hary Tanoe yang sekaligus menjadi ketua umum. Komplet sudah paketnya.
MNC adalah perusahaan konglomerasi dengan core bisnis bidang media dengan laba bersih tahun ini sebesar Rp 2,5 triliun.
Dengan laba sebesar itu bisa dibayangkan—atau sukar dibayangkan—berapa dividen yang diterima seorang wakil komisaris utama.
TGB mundur dari komisaris Bank Syariah Indonesia supaya konsen di Perindo. Dia juga mundur dari Golkar untuk fokus di Perindo.
Dengan jabatan strategis di kelompok bisnis MNC dan di posisi ketua harian di Perindo TGB akan menjadi kader utama. Di Golkar TBG bisa disebut sebagai ‘’no body’’, tapi di Perindo dia menjadi ‘’somebody’’.
Perindo tidak lolos parliamentary threshold (PT) dan tidak punya anggota di DPR. Meski begitu Perindo sudah mendapat jatah tipis-tipis sebagai wakil menteri pariwisata yang sekarang diduduki oleh Angle Tanoesoedibjo, anak kandung Hary Tanoe.
Melihat urutan kacang di Perindo, TGB ada di posisi strategis kalau Perindo mendapat jatah menteri pada kabinet mendatang.
Kalau Hary Tanoe memutuskan menjadi the king maker yang bermain di balik layar, maka TGB akan menjadi pilihan utama ketika Perindo mendapat jatah menteri.
Tentu targetnya harus bisa lolos PT dan bisa mendapat kursi di DPR supaya bisa menjadi ‘’senior partner’’ dalam koalisi pemerintah.
Sekarang Perindo ikut dalam gerbong koalisi pemerintahan sebagai ‘’junior partner’’, bersama sesama partai gurem seperti PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan PBB (Partai Bulan Bintang).
Partai-partai penggembira ini masing-masing sudah diberi jatah wakil menteri di kabinet Jokowi.
TGB akan menjadi komandan utama di lapangan menjelang palagan 2024. Sangat mungkin Perindo akan tetap berada di barisan koalisi pro-Jokowi yang sekarang sudah lebih dulu membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Golkar, PAN (Partai Amanat Nasional), dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Tidak tertutup kemungkinan Perindo akan merapat ke KIB.
Perindo pernah berada pada posisi berseberangan dengan Jokowi, tapi kemudian balik badan mendukung Jokowi. Hary Tanoe pernah cukup vokal sebagai oposisi sebelum bergabung ke koalisi.
TGB juga pernah menjadi pendukung Prabowo Subianto berhadapan dengan Jokowi, tapi kemudian balik badan juga.
Rupanya sudah ada kemistri antara Hary Tanoe dan TGB. Pengamat ekonomi dan politik Rizal Ramli sering memakai istilah ‘’pasien luar KPK’’, untuk menggambarkan orang-orang yang punya urusan dengan KPK.
Mereka kemudian dipaksa untuk balik badan mendukung kekuasaan, karena kartunya sudah terpegang.
Hary Tanoe ingin menjadikan TGB sebagai kartu as yang bisa diandalkan untuk menjadi ‘’vote getter’’ atau pendulang suara. Reputasi TGB mentereng. Ia menjadi anggota DPR RI pada usia 32 tahun mewakili Partai Bulan Bintang dari daerah pemilihan NTB (Nusa Tenggara Barat), kampung halamannya.
Kakek TGB adalah pendiri organisasi Nahdlatul Wathan yang sangat kuat pengaruhnya di NTB. Karena pengaruh kakeknya ini TGB bisa melenggang ke Senayan.
Hanya setahun di DPR, TGB terpilih menjadi gubernur NTB dua periode 2008 sampai 2018. Sepeninggalan TGB kursi gubernur diduduki oleh Zulkieflimansyah dari PKS, tapi wakilnya adalah Siti Rohmi Djalilah, kakak kandung TGB dari partai Nasdem.
TGB tokoh yang punya pengaruh besar di NTB. Tapi, afiliasi politik keluarga TGB terpecah sehingga ‘’TGB effect’’ kemungkinan tidak akan dominan di NTB.
Sebagai vote getter TGB diharapkan mendongkrak perolehan suara Perindo di level nasional. TGB sudah bertransformasi dari tokoh lokal NTB menjadi figur nasional yang punya kredensial tinggi.
TGB menadi sosok ideal yang digadang oleh Hary Tanoe untuk mendongkrak suara Perindo.
Sejak mendirikan Perindo pada 2015 Hary Tanoe mengincar suara kantong-kantong muslim. Karena itu Perindo memasang tokoh dan aktivis muslim di jajaran pengurus pusat.
Sekjen Perindo, Ahmad Rofiq ialah kader Muhammadiyah yang punya banyak pengalaman organisasi politik mulai dari Nasdem dan Partai Matahari Bangsa pecahan dari PAN.
Di beberapa daerah Perindo juga merekrut kader-kader Muhammadiyah untuk menjadi pimpinan wilayah.
Dengan akses dari para aktivis muslim ini Hary Tanoe melakukan safari politik intensif dengan mengunjungi pesantren-pesantren di kantong-kantong suara muslim. Roadshow ini ia lakukan rutin selama Ramadhan dalam kemasan Safari Ramadhan.
Citra Hary Tanoe dengan memakai peci dan baju koko putih menyebar melalui jaringan media MNC Group.
Tetapi perolehan suara Perindo ternyata tidak naik dan masih belum bisa lolos ambang batas parlemen. Kali ini Perindo menggantungkan nasib kepada TGB untuk bisa mencapai suara 4 persen supaya lolos ambang batas parlemen. Tugas yang tidak mudah bagi TGB, karena suara pemilih muslim akan menjadi rebutan semua parpol.
Di level nasional nama TGB dikenal tetapi tidak mempunyai akar yang kuat sebagaimana di kampungnya di NTB. TGB bisa menjadi simbol bagi Perindo tapi hanya terbatas pada segmen pemilih muslim kota. Untuk bisa mencapai pemilih muslim akar rumput TGB harus bekerja ekstra keras.
Para poltisi muslim terpecah-pecah dalam banyak partai politik sehingga persaingan menjadi sangat keras. Di dalam gerakan politik Islam sendiri para politisi muslim tidak bisa bersatu. PKS yang dianggap sebagai partai Islam yang ‘’well-managed’’, dikelola dengan baik, sekarang pecah menjadi dua dengan munculnya Partai Gelora. PAN pecah menjadi dua dengan munculnya Partai Ummat pimpinan Amien Rais.
Ada upaya untuk kembali kepada romantisme sejarah dengan menghidupkan kembali Partai Masjumi, tapi sambutan dari para politisi muslim senior suam-suam kuku, kalau tidak disebut dingin. Politisi muslim senior punya ego masing-masing yang sulit dipersatukan.
Yusril Ihza Mahendra masih bertahan dengan Partai Bulan Bintang yang mengeklaim sebagai titisan Masjumi. Dien Syamsudin memilih mendirikan partai baru, Partai Pelita, yang akan berebut konstituen berbasis Muhammadiyah, bersaing dengan Amien Rais dan Zulkifli Hasan dari PAN. Suara pemilih tradisional Islam ditampung oleh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PPP.
Dengan polarisasi yang luas ini partai-partai berbasis Islam akan bersaing saling sikut untuk bisa lolos ambang batas parlemen. Catatan sejarah menunjukkan bahwa perolehan suara partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu tidak beranjak dari total 30 persen. Pada pemilu pertama 1955 Partai Masjumi mendapatkan 21 persen suara dan berada pada posisi runner up. Ini merupakan rekor perolehan suara partai Islam terbesar sepanjang masa dan tidak pernah bisa terulang lagi.
Partai Nasional Indonesia (PNI) menjadi pemenang pemilu dengan perolehan 23 persen, unggul tipis dari Masjumi. Pada posisi ketiga Partai Nahdlatul Ulama (NU) mengumpulkan 18 persen suara, dan PKI (Partai Komunis Indonesia) di urutan keempat dengan 16 persen suara.
Kalau NU tidak berpisah dari Masjumi, partai Isam bisa memenangkan pemilu dengan suara mayoritas hampir 40 persen. Jumlah ini bisa disebut sebagai ‘’landslide victory’’, kemenangan tanah longsor alias menang besar.
Itulah kenyataannya. Perpecahan politik Islam sudah terjadi sejak pemilu pertama sampai sekarang. Jumlah penduduk muslim Indonesia yang mencapai 85 persen tidak tercermin dalam perolehan suara dari pemilu ke pemilu.
Suara muslim yang 30 persen diperebutkan oleh sekian banyak partai-partai Islam yang masing-masing sudah punya tokoh muslim yang sudah dikenal. Dibanding tokoh-tokoh politik Islam itu TGB masih berada di klasmen bawah.
Upaya TGB untuk menambang suara dari kantong Islam butuh perjuangan ekstrakeras. (*)
sumber: kempalan
Write your comment
Cancel Reply