Oleh: Akhmad Kholil*
Pemilihan Bupati (Pilbup) Sumenep bisa dipastikan hanya akan diikuti dua pasangan calon kandidat, yakni Achmad Fauzi dan Nyai Dewi Khalifah berhadapan dengan Fattah Jasin dan Kiai Ali Fikri. Jika dilihat dari partai-partai yang sudah menyatakan diri mengusung atau mendukung masing-masing dari dua calon di atas, cukup mustahil akan muncul kubu ketiga sebagai penantang.
Pada pelaksanaan Pemilu belakangan, isu-isu yang berkaitan dengan SARA memang seksi dan seringkali dijadikan jalan mulus oleh calon pemimpin untuk memantik perasaan rakyat. Sering kita menyebutnya dengan politik identitas.
Tak dapat dipungkiri, jika pada Pemilihan Presiden Jokowi Vs Prabowo atau Pilgub DKI Jakarta yang lalu itu, para politikus menggunakan isu SARA untuk menggerus suara rakyat. Isu-isu SARA secara santer digunakan oleh masing-masing kubu.
Jika kedua kasus Pemilu tersebut menggunakan isu SARA, sedikit berbeda dengan Pilbup Sumenep. Para kandidat calon bupati merekrut pendampingnya dari kalangan kaum kiai dan nyai. Sebut saja, Nyai Hj Dewi Khalifah atau Nyai Eva adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Usymuni Tarate dan KH Mohammad Ali Fikri sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Raya Guluk-Guluk. Maka tidak salah jika kemudian muncul persepsi Pilbup Sumenep kali ini menjual nama kiai dan nyai untuk mendulang suara rakyat. Politisasi Kiai dan Nyai?
Para kandidat calon Bupati Sumenep rupanya tak hanya menggandeng wakil dari kalangan kaum kiai saja, tapi mereka juga menggandeng ulama untuk dijadikan marketing promotion dalam kampanyenya. Bahkan menggandeng ulama dari luar Kabupaten Sumenep. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan, hanya demi meraih suara rakyat.
Seperti diketahui, daerah yang dikenal dengan sebutan Pulau Garam ini begitu banyak berdiri pesantren-pesantren. Termasuk di Kabupaten Sumenep. Berdasarkan data yang ada, Sumenep terdiri dari 230 pesantren, baik pesantren salafiyah, ashriyah atau kombinasi.
Dari sekian banyak pesantren yang ada, sebagian pengasuh atau sang kiai terjun langsung kedalam dunia politik. Sebagian pengasuh pesantren yang lain ditokohkan dan tetap memberi pengaruh pada berlangsungnya pemilu.
Apalagi bagi orang Madura terkenal dengan rasa hormat atau "takdhim" pada guru. Istilah bapha' babhu' guru rato (bapak, ibu, guru, pemimpin) benar-benar diterapkan oleh masyarakat Madura. Artinya, penghormatan dan rasa takdhim setelah orang tua adalah guru, baru kemudian pemimpin. Situasi inilah yang kemudian digunakan oleh para calon Bupati Sumenep untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Sebab, kiai atau nyai tadi merupakan pusat dari segalanya bagi masyarakat Madura.
Rasa hormat dan takdhim orang madura begitu kuat. Tentu, dimensi rasa tersebut sangat banyak indikatornya. Namun yang jelas, masyarakat madura akan manut (sami'na wa atha'na) pada dawuh-dawuh gurunya atau ulama. Pengaruh guru, kiai atau ulama inilah yang dimanfaatkan para politisi saat ini.
Saking rasa takdhimnya, pernyataan atau bisa disebut sebagai maklumat apapun seorang pengasuh pondok pesantren, akan diikuti oleh sebagian besar para santri dan juga para alumni-alumni pesantren tersebut.
Sebab itu tadi, sosok kiai ibarat laboratorium. Tidak hanya menjadi tempat bertawassul persoalan tentang keagamaan semata, bahkan soal perjodohan sampai urusan tanam-menanam seperti halnya padi, jagung dan tembakau pun, masyarakat Madura mendatangi kiai. Apalagi persoalan politik, termasuk memilih pemimpin.
Dalam dunia akademis, tentu banyak teori yang menjelaskan kenapa kiai menjadi pendongkrak perolehan suara pada saat pilkada. Sebagaimana yang dijelaskan Weber, bahwa terdapat otoritas kharismatik yang melakat pada diri seseorang, dalam hal ini tentu kiai dan nyai. Sehingga atas dasar adanya otoritas kharismatik tersebut, maka apapun yang dikatakan oleh kiai tadi akan ditaati sepenuhnya.
Rupanya, sosok kiai tetap efektif untuk mendulang suara serta mendongkrak popularitas dan elektabilitas seorang calon pemimpin, khususnya di Sumenep. Ia mempunyai magnet elektoral yang begitu kuat. Ironi memang, kiai hanya dijadikan Vote Getter. Ini politisasi kiai dan nyai, menjual nama ulama demi kepentingan politik kekuasaan!
Suka tidak suka memang dengan istilah "menjual kiai dan nyai". Bagi yang tak suka tentu sudah punya alasan tersendiri, bahwasanya menggandeng kiai dan ulama hanya demi meminta doa restu dan ngambri barokah. Namun, sebagian yang lain akan protes, itu adalah bentuk kecangkolangan (ketidaksopanan) dan mendegradasi marwah ulama atau kiai.
Kemudian menyelinap sebuah pertanyaan. Bolehkah memperjualbelikan nama kiai atau ulama untuk kepentingan tertentu, termasuk dalam pemilihan pemimpin demi mendulang suara-suara? Silakan gunakan persepsi kalian masing-masing.
Ke depan, sepanjang kampanye hingga berlangsungnya pemilihan Desember nanti, bisa dipastikan akan banyak dijumpai poster-poster, baliho dan spanduk dari dua pasangan Cabub-Cawabup Sumenep. Namun tak hanya akan terpajang gambar para kandidat, di sana pasti terlihat gambar ulama yang dianggap sebagai pendukung sang calon.
*Anak petani asli Sumenep, saat ini sedang menyelesaikan pendidikan S2 di salah satu universitas Jakarta
Write your comment
Cancel Reply