Blog Details Page

Post Images
Tagline “Menghidupkan Gus Dur” yang sempat dikampanyekan Ketum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) membawa konsekuensi politik. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai politik yang pernah “berseteru” dengan Gus Dur, oleh sejumlah pihak dinilai akan semakin jauh posisinya dengan NU. Itu bisa dipahami dari komitmen Gus Yahya agar NU, di bawah kepemimpinannya, tak lagi menjadi “pihak” dalam helatan politik praktis, serta tidak terkooptasi oleh partai politik bahkan oleh PKB sekalipun. Tak ayal, sejumlah pengamat politik menilai kehadiran Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU akan menjadi “ancaman” tersendiri bagi agenda politik Muhaimin Iskandar pada 2024 mendatang. Tantangan Internal Meski demikian, berbagai upaya politik untuk “merebut” kembali legitimasi Gus Dur dan NU terus digelorakan. Deklasi pen-capresan Muhaimin Iskandar kian digelar, dengan glorifikasi bahwa ia (Muhaimin) merupakan representasi NU yang karenanya harus didukung secara total. Celakanya, manuver politik barisan ini kadang juga berdalih “atas nama Gus Dur”. Lebih celaka lagi, upaya-upaya politik macam ini bukan dilakukan oleh pihak luar, melainkan oleh pihak dalam (internal) yang masih terikat bukan saja secara kultural, tapi juga secara struktural dengan NU. Dukungan politik PCNU Kabupaten Banyuwangi dan Sidoarjo terhadap pen-capresan Muhaimin beberapa bulan yang lalu adalah salah satu contoh nyata. Belum lagi soal aksi-aksi sporadis kaum nahdliyin di level kultural, yang tak segan-segan merebut “klaim” ke-NU-an sembari memberi dukungan politik terhadap Ketum PKB, Muhaimin Iskandar. Ini semua menandakan bahwa komitmen PBNU untuk mengambil jarak dari politik praktis belum sepenuhnya diterima dalam pikiran kolektif kaum nahdliyin. Fragmentasi itu tidak bisa dikesampingkan sebagai persoalan sederhana di tubuh NU. Melainkan harus dipandang sebagai persoalan serius yang bersifat internal dan, jika terus dibiarkan, hanya akan menjadi “api dalam sekam”. Ini yang perlu dihayati oleh kaum nahdliyin di jajaran struktural maupun kultural. Sebab, “menyeret-nyeret” NU ke pusaran politik praktis, apa pun bentuknya, tidak merugikan Muhaimin, PKB, atau nahdliyin sebagai individu maupun kelompok. Melainkan NU sebagai organisasi kemasyarakatan-keagamaan terbesar lah yang harus menanggung kerugiannya. Menyadari dampak buruk itu, seluruh nahdliyin yang tua, muda, laki-laki, perempuan, struktural maupun kultural, perlu kiranya membangun konsensus bersama bahwa menghidupkan Gus Dur bukan soal politik lima tahunan, dan apalagi soal Muhaimin Iskandar dengan kendaraan politiknya. Tapi menghidupkan Gus Dur adalah soal politik kebangsaan yang bermuara pada kemaslahatan universal dalam jangka waktu yang panjang. Politik Nahdliyin Lantas, bagaimana kaum nahdliyin mengekspresikan hak-hak politiknya sebagai jalan keluar dari prahara ini? Pertama, menyudahi perseteruan politik antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar terkait PKB. Caranya? Menghentikan manuver-manuver politik yang hanya mengedepankan kepentingan politik Muhaimin dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Secara historis, bahwa PKB lahir dari rahim Gus Dur bersama-sama kaum nahdliyin lainnya memang benar adanya. Tapi mengakuisisi kebesaran nama NU dan Gus Dur menjadi “hak milik” PKB (hari ini), tentulah sangat tidak benar. Padahal secara prinsip, masalah ini harusnya sudah selesai sejak 03 November 2008, di mana Gus Dur melayangkan surat intruksi kepada Muhaimin yang berisi larangan penggunaan foto/gambar maupun suara dirinya dalam kegiatan-kegiatan politik PKB versi Muhaimin. Kedua, politik NU adalah politik kebangsaan. Politik kebangsaan tidak lantas menghilangkan otonomi nahdliyin untuk menentukan sikap politik yang sesuai suara hatinya. Memilih calon-calon pemimpin politik adalah hak prerogatif mereka atas nama individu, bukan atas nama kelompok NU yang dipandu oleh konsensus khittah 1926 pada tahun 1984 di Situbondo. KH Sahal Mahfudh, Rais ‘Am PBNU 1999-2014, mengklasifikasi dua model politik di atas dengan “Politik Tingkat Tinggi” (siyasah ‘aliyah samiyah) dan “Politik Tingkat Rendah/Praktis” (siyasah safilah) dalam Rapat Pleno PBNU tahun 2013 di Wonosobo, Jawa Tengah. Klasifikasi pertama menjadi porsi NU secara struktural, sedangkan yang kedua menjadi porsi warga NU secara individual. Politik Tingkat Tinggi bisa dipahami dalam tiga varian: politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik. Tiga hal yang ditawarkan KH Sahal ini masih sangat relevan dijadikan titik pijak dalam upaya menghidupkan kembali spirit perjuangan Gus Dur di wilayah politik. Peristiwa pemakzulan (impeachment) Presiden Gus Dur oleh DPR dan MPR merupakan manifesto politik tingkat tinggi nahdliyin. Meski tidak pernah terbukti bersalah secara hukum dan konstitusi, tidak lantas Gus Dur bersikap opurtunistik demi jabatan politik-kekuasaan. Situasi politik nasional yang memanas kala itu justru memperkuat komitmennya untuk melakukan konsiliasi yang utuh. Alih-alih Gus Dur memobilisasi para pendukungnya untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya. Ia justru menggagalkan rencana pembelaan mereka yang menamakan diri sebagai “Pasukan Berani Mati” semata-mata demi integritas nasional. Dalam bahasa Gus Dur, agar tidak terjadi pertumpahan darah di antara anak bangsa. Dalam keadaaan dizalimi sekalipun, cucu pendiri NU itu rela melepaskan jabatan politiknya hanya untuk menghindari pertikaian antar anak bangsa. Ini sebuah prinsip sekaligus etika politik tingkat tinggi seorang Gus Dur yang sangat mahal harganya. Sebuah heroisme seorang pemimpin besar yang tidak tersandera oleh pragmatisme politik-kekuasaan. Mendekati tahun-tahun politik dan di tengah perebutan klaim ke-NU-an juga ke-Gus Dur-an yang tak pernah usai, nahdliyin di bawah kepemimpinan Gus Yahya-yang memegang semangat menghidupkan Gus Dur-perlu belajar pada bagaimana Gus Dur memperaktikkan politik tingkat tinggi itu secara nyata. Karakteristik politik NU sangat khas, berbasis kerakyatan dan kebangsaan, serta bertolak dari konsensus khittah yang semata-mata mengedepankan kepentingan rakyat serta integritas bangsa Indonesia, daripada kepentingan segelintir pihak saja. Integritas politik nahdliyin ini mesti dipertahankan, agar moralitas politik warisan para pendahulunya tidak kehilangan integritasnya di tengah jalan. *Tulisan ini pernah dimuat di Tribun Jateng, Kamis 17 Maret 2022
Gus Dur Moh. Rasyid Politik Nahdliyin Menghidupkan Gus Dur
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Featured Blogs

Newsletter

Sign up and receive recent blog and article in your inbox every week.

Recent Blogs

Most Commented Blogs