LAMA tidak terdengar isu kudeta, beberapa waktu belakangan ini isu itu muncul lagi. Bukan kudeta mengambil alih kekuasaan resmi di pemerintahan, tapi kudeta merebut posisi ketua umum partai politik.
Kali ini yang menjadi sasaran isu kudeta politik adalah PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).
Sebuah organisasi relawan pendukung Ganjar Pranowo, dalam sebuah kesempatan, mendoakan supaya Ganjar menjadi presiden, dan Joko Widodo menjadi ketua umum PDIP.
Pernyataan ini mendapatkan reaksi ramai dan keras dari banyak kalangan, terutama dari elite-elite politik PDIP.
Isu ini menjadi sensitif karena kondisi internal PDIP sendiri sekarang tidak terlihat kondusif.
Partai pemenang pemilu ini seolah sedang menghadapi krisis kepercayaan diri menjelang pemilihan presiden 2024. Sebagai satu-satunya partai yang mengantongi tiket presidential threshold 20 persen, secara teoretis harusnya PDIP menjadi partai yang paling siap menghadapi perhelatan pilpres 2024.
Tetapi, yang terjadi kemudian adalah PDIP justru terlihat sebagai partai sedang panik dan mengalami dilema yang paling sulit yang pernah dihadapi oleh partai ini sepanjang sejarah.
Sampai sekarang PDIP terperangkap dalam perdebatan keras untuk memilih calon presiden, antara Puan Maharani sang putri mahkota vs Ganjar Pranowo yang menjadi unggulan berbagai survei elektibilitas calon presiden.
Dilema ini tidak pernah terjadi sepanjang sejarah berdirinya PDIP 20 tahun terkhir.
Dalam pemilu presiden sebelumnya PDIP dengan mudah bisa memilih Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden.
Dua kali pilpres, dua kali pula Megawati dimajukan sebagai calon presiden. Pada dua kali even itu Mega gagal menjadi presiden.
Tidak ada pilihan lain bagi PDIP kecuali harus melirik jago lain yang lebih berpeluang menang. Maka, pada pilpres 2014 dengan berat hati Megawati memberikan tiket gratis kepada Jokowi.
Momen inilah yang banyak disebut sebagai ‘’the creeping coup’’ atau ‘’kudeta merangkak’’ yang dialami oleh Megawati. Disebut sebagai kudeta merangkak, karena kudeta itu dilakukan secara mengendap-endap sambil merangkak, sehingga gerakannya tidak terdeteksi.
Kudeta merangkak itu dilakukan Jokowi dengan jalan melakukan kampanye pencitraan yang masif menjelang pemilu presiden. Masa jabatannya yang singkat selama menjadi gubernur DKI Jakarta dimanfaatkan secara maksimal untuk menggalang pencitraan untuk mendongkrak popularitas.
Megawati--yang pada waktu itu sebenarnya masih menyimpan keinginan untuk maju lagi—tidak bisa berkutik ketika disodori data-data mengenai elektabilitas Jokowi yang melejit tak terbendung. Tidak ada pilihan lain bagi Megawati kecuali menyerahkan tiket capres kepada Jokowi.
Sikap berat hati itu terlihat dari pernyataan Megawati yang menyebut Jokowi sebagai ‘’petugas partai’’. Istilah itu kemudian menjadi kosa kata politik yang sering disebut dalam berbagai kesempatan.
Kali ini Mega sedang menghadapi persoalan yang sama. Kalau pada 2014 Mega seolah tidak menyadari terjadinya kudeta merangkak itu, kali ini Mega menyadari, tetapi tidak bisa menangkalnya secara efektif. Kudeta merangkak kali ini dilakukan oleh Ganjar Pranowo dengan mendapatkan ‘’tacit support’’ dukungan diam-diam dari Jokowi.
Modusnya sama dengan yang dilakukan oleh Jokowi pada 2014. Kali ini Ganjar menggenjot elektabilitas dan popularitas melalui kampanye media sosial yang masif.
Megawati berusaha menghentikan gerakan Ganjar dengan berbagai cara, tetapi senantiasa gagal.
Ganjar disindir sebagai gubernur medsos, kemudian diserang langsung oleh sesama kader PDIP, bahkan Ganjar juga sudah ‘’disetrap’’ di depan kelas di markas PDIP Lenteng Agung.
Semuanya tidak bisa menghentikan Ganjar. Dan tiba-tiba saja Mega dihadapkan pada pilihan yang pahit dan sulit. Tiba-tiba saja Mega di-fait accompli oleh waktu. Ia dihadapkan pada dilema yang lebih rumit dibanding dengan kondisi 2014.
Mega yang sudah mempersiapkan diri untuk pensiun telah mempersiapkan putri mahkota Puan Maharani sebagai pengganti. Tapi, sampai sekarang kinerja Puan masih sangat mengkhawatirkan. PDIP tentu tidak mau melakukan ‘’political suicide’’ bunuh diri politik dengan membabi buta mencalonkan Puan Maharani, yang tingkat elektabilitasnya masih ‘’nasakom’’ alias nasib satu koma.
Di sisi lain Megawati terus menerus diteror oleh manuver Ganjar Pranowo. Elektabilitas Ganjar yang konsisten di 3 besar menjadi teror yang paling mengerikan bagi Mega. Dengan waktu yang semakin mepet dan PDIP dipaksa untuk secepatnya memutuskan calon presiden, tekanan terhadap Mega semakin terasa berat.
Perkembangan terbaru menunjukkan keterbelahan yang makin nyata di internal PDIP. Kemunculan sekelompok anggota DPR dari PDIP yang membentuk ‘’Dewan Kolonel’’ semula hanya disebut sebagai canda politik. Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul loyalis senior Puan Maharani semula mengatakan pembentukan Dewan Kolonel itu hanya iseng.
Sekumpulan legislator PDIP dengan disponsori oleh Johan Budi Sapto Pribowo membentuk Dewan Kolonel untuk mendorong elektabilitas Puan Maharani di daerah pemilihan masing-masing. Bambang Pacul dan Utut Adianto sebagai ketua fraksi PDIP mengetahui manuver itu. Bambang Pacul malah mengatakan Dewan Kolonel bertugas mewangikan nama Puan Maharani di daerah-daerah.
Ternyata pembentukan Dewan Kolonel bukan sekadar tindakan iseng. DPP PDIP melalui Sekjen Hasto Kristiyanto menganggapnya sebagai manuver yang serius. Malah Hasto menyebut pembentukan dewan itu melanggar aturan partai dan karena itu harus diberi sanksi. Johan Budi dan kawan-kawan pun terkena kartu kuning dan peringatan terakhir.
Tidak sampai di situ saja, yang terbaru, Johan Budi dicopot dari jabatannya sebagai wakil ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI. Ini menunjukkan telah terjadi ‘’crack down’’ perburan terhadap para pendukung Puan Maharani di internal PDIP.
Bersamaan dengan itu, Ganjar Pranowo mengetes air dengan membuat pernyataan publik bahwa dia siap dicalonkan sebagai presiden RI. Pernyataan ini tidak pernah dikeluarkan sebelumnya oleh Ganjar Pranowo. Pernyataan ini langsung direspons oleh FX Rudyatmo, ketua PDIP Solo yang dikenal sebagai loyalis Ganjar Pranowo. Rudy mengatakan akan mendukung Ganjar seribu persen.
Ganjar dan Rudy dipanggil ke DPP PDIP dan dijatuhi sanksi. Tetapi, perlakuan terhadap Ganjar dan Rudy bertolak belakang dengan perlakuan terhadap Johan Budi dan kawan-kawan. Terhadap Ganjar dan Rudy juga dijatuhkan peringatan, tetapi sikap DPP PDIP terlihat sekali sangat lunak.
Setelah disidang oleh Hasto Kristiyanto dan Ketua Dewan Kehormatan PDIP Komarudin Watubun, acara diakhiri dengan foto bersama sambil berpose salam komando dan saling tersenyum cerah. Sementara itu terhadap Johan Budi dan kawan-kawan tidak ada foto-foto dengan salam komando sambil saling senyum.
Isu kudeta terhadap Megawati muncul dari sekelompok relawan pendukung Jokowi yang mendoakan agar Jokowi bisa menjadi ketua umum PDIP dan Ganjar bisa menjadi presiden RI. Manuver ini mendapat reaksi luas dari elite PDIP. Kelompok relawan itu sudah meminta maaf, tapi isu kudeta sudah telanjur menyebar seperti jin yang telanjur keluar dari botol.
Megawati Soekarnoputri masih belum bersuara terhadap perkembangan ini. Isu kudeta membuat posisi politik Megawati semakin sulit. Ia akan dipaksa menerima Ganjar sebagai calon presiden PDIP, dan dengan begitu cita-cita terakhirnya untuk menjadikan trah Sukarno sebagai presiden RI kandas sudah.
Belum cukup sampai di situ. Jika Ganjar sukses menjadi presiden RI, sangat mungkin Jokowi akan diangkat menjadi ketua PDIP mendongkel Megawati. Begituah skenario yang sekarang beredar luas sekarang ini.
Kudeta merangkak ini bisa jadi akan membawa akhir yang tragis bagi karir politik Megawati Soekarnoputri. Sangat mungkin akan muncul Brutus yang menikam Mega dari belakang. (*)
sumber: kempalan
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply