matamaduranews.com-Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan sudah menjadi tersangka atas dugaan suap agar meloloskan Calon Anggota Legislatif dari PDIP, Harun Masiku sebagai anggota DPR RI lewat jalur pergantian antar waktu (PAW).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wahyu setelah ditangkap KPK di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (8/1/2020) pukul 12.55 WIB.
Selain Wahyu, KPK juga menangkap Rahmat Tonidaya, asisten Wahyu, dalam rangkaian gelaran OTT di sejumlah lokasi yang menjaring sebanyak delapan orang.
"Dalam kegiatan tangkap tangan ini, KPK mengamankan delapan orang pada Rabu-Kamis, 8-9 Januari 2020 di Jakarta, Depok, dan Banyumas," kata Lili Pintauli Siregar dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (9/1/2020).
Lili bercerita, OTT bermula dari adanya informasi terkait dugaan permintaan uang dari Wahyu kepada Agustiani Tio Feidelina, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu yang juga merupakan orang kepercayaan Wahyu.
Setelah mendapat informasi tersebut, tim KPK mengamankan Wahyu dan Rahmat Tonidaya, asisten Wahyu, di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (8/1/2020) pukul 12.55 WIB.
"Kemudian secara paralel, tim terpisah KPK mengamankan ATF di rumah pribadinya di Depok pada pukul 13.14 WIB. Dari ATF, tim mengamankan uang setara dengan sekitar Rp 400 juta dalam bentuk mata uang SGD dan buku rekening yang diduga terkait perkara," kata Lili.
Uang yang sudah dikantongi Agustiani diduga merupakan suap untuk Wahyu untuk menetapkan Caleg PDIP Harun Masiku sebagai anggota DPR RI lewat jalur PAW.
Tim KPK terus mengamankan Saeful dan sopirnya bernama Ilham serta seorang advokat bernama Doni di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, Rabu siang pukul 13.26 WIB.
Dugaan Suap Wahyu dan Hasto Kristiyanto
Seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 11 Desember 2020 bertajuk "Di Bawah Lindungan Tirtayasa", pangkal kasus itu bermula ketika Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto memerintahkan tim hukum partai banteng dengan memberi kuasa kepada Donny Tri Istiqomah untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung pada Juni 2019.
Mereka menggugat materi Pasal 54 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang pemungutan dan penghitungan suara berkaitan dengan meninggalnya calon legislatif dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Nazaruddin Kiemas.
Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 54. Inti putusan itu, mahkamah menyerahkan suara calon legislatif yang meninggal ke partai.
Atas kemenangan gugatan tersebut, Harun diduga memberi uang ke Donny sejumlah Rp 100 juta.
PDIP kemudian menggelar rapat pleno dan terpilihlah Harun sebagai pengganti Nazarudin Kiemas. Padahal, Harun berada di urutan kelima.
Sedangkan urutan kedua yang berhak mewarisi kursi parlemen almarhum Nazaruddin adalah Riezky Aprilia.
KPU menggelar pleno untuk menetapkan calon legislatif terpilih periode 2019-2024 itu pada 31 Agustus. Bukan Harun sebagaimana surat rekomendasi dari PDI Perjuangan, KPU malah menetapkan Riezky yang berhak duduk di kursi parlemen.
Tak terima dengan keputusan KPU, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa Mahkamah Agung. Pada 23 September, partai banteng mengirim surat lagi ke KPU yang berisi mengenai penetapan calon legislatif yang meninggal merupakan kewenangan partai politik.
“Kami tiga kali menerima surat dari PDI Perjuangan," ujar Ketua KPU Arief Budiman.
Masih dikutip dari Majalah Tempo, tak hanya jalur resmi melalui surat, Hasto diduga memerintahkan salah satu stafnya, Saeful Bahri, untuk bermanuver melobi KPU.
Saeful lantas menghubungi orang kepercayaan Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu.
Saeful mengirim dokumen penetapan calon legislatif dan fatwa MA. Tio kemudian meneruskan dokumen itu ke Wahyu melalui pesan WhatsApp agar membantu proses penetapan Harun.
Wahyu pun membalas pesan Tio, “siap mainkan.â€
Belakangan, Wahyu meminta imbalan untuk operasional sebesar Rp 900 juta.
“Saeful mengatakan ke Hasto bahwa butuh Rp 1,5 miliar untuk lobi KPU,†ujar penegak hukum yang mengetahui kasus ini.
Hasto juga diduga tahu ada permintaan dari Tio kepada Saeful soal uang muka untuk lobi.
“Hasto bilang siap menyediakan dana. Harun juga akan menyediakan dana karena dia caleg yang berkepentingan,†ujar tiga penegak hukum yang mengetahui proses ini.
Belakangan salah satu ajudan Hasto menyerahkan uang sebesar Rp 400 juta kepada Donny di salah satu ruang DPP PDI Perjuangan pada 16 Desember 2019.
Ajudan itu sembari menyampaikan, “Mas, ini perintah dari Sekjen untuk operasional Saeful Bahri.â€
Hasto membantah terlibat dalam perkara ini. Ia menuturkan sejumlah informasi yang mengaitkan dirinya dengan operasi tangkap tangan terhadap Wahyu cs ini sebagai pembingkaian alias framing.
“Dengan berita ini menunjukkan adanya berbagai kepentingan untuk membuat framing,†kata Hasto di arena Rakernas I PDI Perjuangan di Jiexpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat, 10 Januari 2020.
sumber: tempo.co
Write your comment
Cancel Reply