matamaduranews.com-SAMPANG-Dari debu ke puncak kejayaan, lalu kembali lagi ke asalnya. Sehingga di dunia fana ini, yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Berawal dari sebuah legenda, seni musik asli kota Bahari ini sempat berjalan tanpa ada yang tahu sejak kapan. Kini, setelah tenggelam, seni yang satu ini kembali menjadi purnama malam.
Ba’beng, sebutan bagi seni musik tradisional dengan alat berupa bambu ini. Bambu itu sebelumnya dipotong sampai ukuran antara 1-2 meter.
Bambu itu dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa menghasilkan bunyi yang enak didengar dengan diketuk-ketuk memakai sebuah stick berbahan bambu juga.
Terkait kata ba’beng ini, menurut salah satu budayawan di Sampang, Abah Dohri, berasal dari nama seorang tokoh seniman kuna Sampang yang disebut Mbah Jhubeng. Disebut Jhubeng, karena si mbah ini adalah seorang laki-laki yang sudah beristri namun tidak mempunyai anak. Jhubeng adalah bahasa Madura yang jika diindonesiakan bermakna mandul.
â€Mbah Jhubeng ini mempunyai hobi, yaitu kesenian musik,†kata Abah Dohri selaku generasi kelima pemegang estafet yang melestarikan kesenian Mbah Jhubeng tersebut, pada Mata Madura beberapa waktu silam.
Awal-mulanya musik ba’beng ini digunakan sebagai media dakwah dengan menggunakan syair-syair bahasa Madura yang mengandung pesan agama bagi kehidupan manusia. Beberapa bagian ba’beng memang mengandung banyak filosofi tentang ketuhanan, seperti pamokolan atau stick yang digunakan untuk mengetuk ba’bengnya mengandung makna “tunggal†sebagai refleksi ketuhanan Yang Maha Esa.
Kemudian keplak, yaitu sebuah bagian di ujung ba’beng yang dipukul untuk mengiringi irama pamokolan yang memiliki makna untuk nabi Muhammad dimana umat Islam harus beriringan antara dzikir kepada Allah dan shalawat untuk nabi Muhammad.
“Yang ketiga yaitu leres perreng yang merupakan bambu yang diris tipis mirip dengan sebar pada gitar. Yang berbentuk lurus panjang mempunyai makna aqidah dan keyakinan harus lurus kepada Allah.Yang keempat yaitu pathek/paganjel yang berfungsi menjaga ketegangan dari leres perreng tadi mempunyai makna agar kita senantiasa menjaga keyakinan kepada Allah agar tetap kuat,†jelas salah satu seniman senior Sampang yang bernama lengkap KH Iksan Mawardi Dohri.
Sedang yang kelima, yaitu lubang yang ada di sisi sisi ba’beng mengandung makna memohon atau berdo’a kepada Allah Swt. Dan yang terakhir seperti yang disebut Dohri adalah tubuh atau batang dari ba’beng itu sendiri yang mengandung makna tiang agama.
Menantang Zaman Modern
Kenyataan tidak menampik tentang ancaman hilangnya kesenian alat musik tradisional ba’beng ini, jika tidak ada generasi yang turut menjaga dan melestarikan. Faktor penyebabnya, perkembangan alat musik yang semakin modern dan lebih menarik minat kaum muda atau generasi muda, sehingga mereka menjadi tak acuh.
â€Juga kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesenian di daerahnya sendiri bisa jadi penyebab. Jadi kalau khawatir sudah pasti ada, takut ba’beng ini punah. Lebih-lebih dengan perkembangan alat musik yang semakin canggih serta anak muda yang kadang malas belajar alat musik tradisional,†ungkap Abah Dohri.
Dulu, ba’beng sering dimainkan setiap malam bulan purnama yang terang benderang untuk menghibur masyarakat, dan juga pada saat malam ketujuh pada ngen-tangngen. Namun hal semacam itu kini sulit dijumpai lagi seiring dengan perkembangan zaman.
â€Jadi memang dibutuhkan sebuah langkah yang serius untuk terus menjaga lestarinya sebuah kekayaan daerah, termasuk kesenian alat musik ba’beng ini,†tukas Abah.
Demi menjaga lestarinya ba’beng, Abah Dohri membuat grup musik ba’beng dengan mengajak masyarakat di sekitarnya untuk bermain alat musik ini bersama. Bak gayung bersambut, dengan kegigihannya, Abah Dohri mendapatkan banyak undangan tampil serta apresiasi dari pemerintah setempat bahkan ke daerah lain di Jawa Timur. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa piagam penghargaan yang terpajang di dinding ruang tamu Abah Dohri.
â€Alhamdulillah, kemarin diundang ke berbagai tempat semisal Surabaya, Jember hingga sampai Yogyakarta. Dan juga sudah dapat piagam penghargaan dari Pak Bupati sampai ke level provinsi,†beliau bercerita dengan semangat.
Dohri juga berharap agar musik ba’beng ini terus lestari. Karena merupakan salah satu warisan kekayaan daerah yang bisa menjadi simbol identitas suatu daerah di Sampang. â€Saya harap ba’beng bisa terus ada hingga ke generasi berikutnya,†ungkapnya.
Putra Dohri, Hasan Sadili mengaku bangga akan apa yang dilakukan sang ayah, dan berkeinginan untuk menjadi penerus perjuangannya. Meski itu disebutnya tantangan tersendiri. â€Karena dari karena menjaga dan melestarikan perjuangan itu lebih berat. Namun karena saya senang musik, saya berkeinginan agar ba’beng ini tidak punah dan akan mengajak generasi muda mencintai musik tradisonal ini,†katanya.
Saat ditanya kendala, Hasan Sadili mengaku sulit mendapatkan bambu yang pas untuk membuat alat musik ba’beng, karena kualitas bambu menentukan kualitas suara yang akan dihasilkan. Yang jadi pilihan ialah bambu Probolinggo.
Nah, ibaratnya saat ini Ba’beng menantang zaman yang serba modern. Sampai kapan bertahan? Yang jelas meski perubahan itu abadi, namun ada kalanya hidup memang membutuhkan upaya untuk tidak tunduk di hadapan sang perubahan.
RM Farhan
Write your comment
Cancel Reply