matamaduranews.com-SURABAYA-Hilangnya nama Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari dari Kamus Sejarah Indonesia I dan II yang disusun oleh Kemendikbud RI menuai polemik berkepanjangan di seantero negeri.
Kamus sejarah bangsa Indonesia 1900-1998 tersebut menuai kontroversi karena tidak ada nama dan keterangan tentang KH Hasyim Asy'ari di dalamnya. Lebih ironis lagi pada jilid II tidak ada nama Soekarno dan Muhammad data dalam entri khusus.
Bendahara Umum PW IKA PMII Jatim, Firman Syah Ali yang akrab disapa Cak Firman justru melihat hiruk pikuk ini dari sisi yang berbeda. Menurut Cak Firman hal tersebut terjadi akibat minimnya kader NU-PMII di dalam jajaran birokrasi pemerintahan RI.
"Ini terjadi karena distribusi kader NU dan PMII di jajaran birokrasi pemerintahan Indonesia sangat minim. Kader NU dan PMII rata-rata hanya numpuk di dalam birokrasi Kementerian Agama RI dan sisanya terjun ke dalam Partai-partai politik. Partai Politik, Presiden dan Menteri tidak tahu hal-hal teknis yang kecil, dan dari situlah birokrat yang anti NKRI diam-diam memasukkan pemahaman anti NKRI ke dalam kebijakan publik yang ditandatangani oleh para pejabat politik. Bisa jadi pejabat politiknya tidak tahu apa-apa, asal setuju saja terhadap semua berkas yang numpuk di atas mejanya" ucap Pengurus Harian PW LP Ma'arif NU Jatim ini.
Koordinator Sahabat Mahfud MD Jawa Timur tersebut menjelaskan bahwa akar sejarah lemahnya pejabat birokrasi dari kalangan NU dan PMII ada pada tahun 1950-an.
"Akar sejarah kekurangan kader NU dan PMII di dalam tubuh birokrasi berasal dari tahun 1950-an. Saat itu hanya Masyumi, PNI, PSI dan PKI yang gencar memasukkan kader-kadernya ke dalam birokrasi pemerintahan, sedangkan NU kurang peduli, NU lebih asyik ngurusi pondok pesantren. Salah satu penyebabnya adalah karena sedikit sekali kader NU yang lulusan sekolah umum, rata-rata mereka lulusan pondok pesantren yang tidak diakui oleh panitia rekrutmen PNS, TNI dan Kepolisian. Saat Kabinet Hatta menerapkan kebijakan Rera Angkatan Perang 1948, banyak warga NU terbuang dari Angkatan Perang Negara karena tidak memenuhi syarat pendidikan formal yaitu pendidikan umum ala barat. Sedangkan pendidikan pesantren saat itu dianggap informal" lanjut BPO HKTI Jatim ini.
Sebagai pamungkas, Cak Firman yang merupakan aktivis IPNU tahun 1990-an meminta warga NU dan PMII untuk mulai peduli terhadap birokrasi pemerintahan.
"Ada salah seorang ulama besar berdiskusi di grup WA dengan saya, hingga detik ini beliau menilai tidak penting warga NU masuk birokrasi, yang penting langsung kuasai politik. Saat terjadi kasus hilangnya nama KH Hasyim Asy'ari dari Kamus Sejarah Nasional Indonesia, dan salah satu Dirjen mengakui kesalahannya, saya japri kyai tersebut apakah tetap berpendirian NU tidak penting masuk birokrasi, beliau menjawab ternyata sangat penting. Birokrasi pemerintahan itu mesin negara, sebaiknya distribusi kader NU dan PMII mulai memperhatikan hal tersebut. Persiapkan kader-kader NU dan PMII untuk masuk ke dalam birokrasi dari berbagai kementerian dan Pemerintah Daerah, jangan hanya di Kementerian Agama," pungkas Birokrat Pemerintah Provinsi Jawa Timur ini.
Hadi, Mata Jatim
Write your comment
Cancel Reply