Oleh: Syarifah Isnaini*
“You can discover more about a person in an hour of play than in a year of conversation.â€
Richard Lindgard
Lindgard bisa saja benar, namun juga tidak menutup kemungkinan berada di ambang kekeliruan terkait pernyataannya di atas terkait urgensi permainan. Betapa pentingnya peran sebuah permainan dalam kehidupan manusia sampai Lindgard memprioritaskan permainan berdurasi satu jam daripada percakapan selama setahun untuk lebih mengenal pribadi di sekitarnya.
Permainan dan masa kecil menjadi dua hal yang tidak terpisahkan. Walaupun memang terdapat beberapa permainan yang tetap digeluti orang dewasa, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa permainan acap dekat dengan sangkala belia. Hampir di seluruh lapisan sosial, usia kanak-kanak banyak diisi oleh beraneka permainan sesuai dengan karakter daerah masing-masing.
Demikian halnya dengan generasi belia Madura. Kanak-kanak pulau yang identik dengan komoditi garam ini tentu pula memiliki selaksa cerita berkenaan dengan jenis permainan yang mereka geluti dalam proses kembang menuju dewasa. Rupa-rupa permainan banyak yang diakrabi generasi muda Madura layaknya petak umpet, kelereng, egrang, lompat tali atau gobak sodor.
Dari sekian macam permainan tersebut, terdapat satu unsur pembuka permainan yang menjadi penentu siapa anak yang memulai pertama terlebih menentukan urutan dalam sebuah permainan. Dialah hompimpa, ritual pembuka permainan yang barangkali paling populer di seantaro Nusantara. Dapat dipastikan bahwa hompimpa menjadi preferensi yang cukup diperhitungkan bagi anak-anak dalam menetapkan urutan aktor yang akan memulai sebuah permainan.
Hompimpa alaium gambreng sebagai versi lengkap dari istilah hompimpa konon berasal dari bahasa Sanskerta. Hompimpa alaium bermakna ‘dari Tuhan Kembali ke Tuhan’ di mana kata Hom-lah yang memiliki pengertian Dzat Yang Maha Kekal. Adapun gambreng menjadi kidung penutup yang menandakan ajakan pada permainan yang akan segera dimulai. Dari sini kita dipahamkan bahwa permainan memang tidak pernah benar-benar sederhana. Anasir ketuhanan senantiasa dilekatkan pada dada-dada makhluk kecil yang seyogyanya belum begitu paham kata-kata yang mereka lontarkan.
Membincang hompimpa, terdapat aspek menarik apabila dihubungkan dengan manusia Madura. Berbeda dengan bentuk mainstream, permainan hompimpa di kalangan bocah Madura ditambahkan kata khas di depannya yakni Laapilala. Jadilah kalimat pembuka sebuah permainan yang dipraktikkan mereka menjadi Laapilala hompimpa. Menurut pengakuan beberapa narasumber yang merupakan bagian dari manusia Madura, setidak-tidaknya jenis Laapilala hompimpa masih dikenal oleh rakyat Madura sampai awal tahun 2000-an.
Bahasa dan istilah tidak pernah sesederhana bentuknya, sebagaimana telah diungkapkan oleh banyak ahli pada masanya. Boleh jadi demikian pula dengan kata Laapilala yang disisipkan sebelum kata hompimpa. Apalagi mengacu pada teori kontekstual makna yang dipopulerkan oleh John Rupert Firth yang memaparkan bahwa fakta terpenting dalam sebuah bahasa bertumpu pada fungsi sosialnya. Dari sini dipahami bahwa sebuah bahasa tidak pernah muncul begitu saja akan tetapi berselirat erat dengan kondisi kemasyarakatan di mana sebuah ujaran lahir.
Berpatokan pada tesis Firth, teranglah bahwa kata Laapilala tidak mungkin sunyi makna. Sebaliknya, ia lahir di tengah-tengah kondisi sosial manusia Madura yang menghendaki adanya takrif di dalamnya. Jikalau Sunan Kalijaga berupaya memasukkan unsur Islam dalam permainan wayang dengan mengisahkan kepemilikan jimat Kalimasada (kalimat syahadat) atas tokoh Yudishtira, agaknya tidak berlebihan kalau kata laapilala dicurigai sebagai gubahan kalimat Laa ilaaha illallah.
Asumsi laapilala selaku anggitan kalimat Laa ilaaha illallah dapat pula didukung oleh fakta kegemaran manusia Madura dalam mengubah kata-kata berbahasa Arab sesuai dengan mother tongue mereka. Sebagai tambahan contoh sebut saja penggunaan kata pora-Alla oleh orang Madura yang merupakan manifestasi dari kalimat Astaghfirullah. Kamus Madura-Indonesia Kontemporer mendefinisikan pora-Alla sebagai eskpresi keterperanjatan yang berakar dari bentuk Astaghfirullah. Pora-Alla sekali lagi menegaskan bahwa masyarakat Madura rekat dengan keilahian tanpa rela kehilangan identitas yang terwujud dalam roman linguistik mereka.
Kembali pada kata Laapilalla pada permainan hompimpa, tampaknya Islam menjelma dalam wujud taghyir di mana ia merekonstruksi budaya pakem Madura demi menyisipkan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad di dalamnya. Taghyir menggambarkan sebuah model proses di mana Islam hadir di tengah-tengah budaya dengan sedikit mengubah suatu adat agar sesuai dan bernaskan Islam dalam pelaksanaannya. Mengekor teori yang mengelaborasi interaksi Islam dengan budaya termaksud, sekali lagi Laapilalla memiliki kemungkinan untuk diduga berasal dari terma Laa ilaaha illallah.
Interpolasi Laapilala pada kaul hompimpa yang mana dalam hal ini ditengarai sebagai bagian dari kalimat syahadat diperkuat oleh arti daripada kata Hom yang bermakna Tuhan. Hom atau Om dalam bahasa Sanskerta bermakna Sanghyang Widhi Wasa yakni Tuhan bagi orang Hindu. Dari sinilah religiusitas manusia Madura bekerja di mana terdapat probabilitas penambahan Laapilala/ Laa ilaaha illallah untuk menegasikan kata Hom agar sesuai dengan keberislaman mereka.
Hipotesa terkait Laapilala dalam permainan hompimpa individu Madura memang bukanlah satu-satunya kemungkinan. Terdapat beraneka tafsiran yang turut pula dapat mengandung kebenaran. Satu hal yang pasti dalam hal ini bahwa keberagamaan sebuah etnis akan selalu terpaku pada jaring-jaring budaya yang mereka ciptakan sebagaimana ditegaskan oleh antropolog Clifford Geertz. Begitu pula halnya dengan aktivitas bermain kanak-kanak Madura, sedikit banyak ekpresi kepercayaan mereka akan dipengaruhi budaya dan juga berlaku sebaliknya. Berpegang pada prinsip ini, lahirlah sejumput harapan akan validitas Laapilala sebagai gubahan dari kalimat Laa ilaaha illallah.
Sebagai pledoi paling lemah, setidak-tidaknya dari Laapilala hompimpa manusia Madura, setiap lapisan diajarkan untuk menyematkan Khalikuljabbar bahkan dalam hal paling jenaka sejak belia. Sekaligus pula sebagai renungan, pada hal-hal yang kadang bersifat permainan manusia tidak lupa menyertakan unsur ketuhanan, namun luput melibatkan Tuhan pada hal-hal yang serius dalam kehidupan.
*Penulis merupakan mahasiswi Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam rangka proses purna studi, saat ini penulis berdomisili di Yogyakarta.
Write your comment
Cancel Reply