Oleh: Syarifah Isnaini*
Pernikahan dan tradisi nyumbang mewujud dalam hubungan erat di kalangan masyarakat Nusantara bahkan dunia. Perilaku nyumbang atau memberikan sejumlah benda atau alat standar pengukur nilai yang sah mencerminkan kepedulian sesama akan penyelenggara kenduri pernikahan. Pun perilaku ini menjadi bukti partisipasi seseorang dalam adat yang menyatukan dua keluarga mempelai.
Menyoal perkara sumbang menyumbang, manusia Madura tidak ketinggalan turut merepresentasikan eratnya persaudaraan mereka ketika terdapat upacara pernikahan. Bukan rahasia lagi apabila dikatakan persaudaraan orang Madura terkadang lebih erat daripada saudara kandung, sehingga upacara sakral seperti pernikahan juga tidak luput dari bantuan dan campur tangan sesama.
Jika masyarakat Jawa di Luar Madura memiliki istilah buwuh untuk menamakan pemberian atau bawaan yang diperuntukkan bagi shohibul hajah, maka manusia Madura biasa menyebut on-so’on. Penggunaan istilah on-so’on selaras dengan arti daripada terma di mana ia bermakna benda yang dijunjung di atas kepala. Benda yang digunakan berupa panci blirik dari bahan enamel dengan model klasik biasanya berwarna biru. Seiring banyaknya pembaharuan budaya, corak panci blirik lantas bertransformasi menjadi putih dengan motif kembang-kembang.
Memperhitungkan bentuk daripada panci yang cukup besar dengan diameter lingkaran, maka posisi yang paling sentosa untuk membawanya memang dengan cara diletakkan di atas kepala. Inilah mengapa kemudian istilah bawaan yang diperuntukkan bagi keluarga yang menghelat hajatan adalah on-so’on sebagai tafsir bagi benda yang diletakkan di atas kepala. Secara spesifik, pemandangan masyarakat Madura yang tetap bersenyawa dengan budaya on-so’on ketika menghadiri pernikahan bisa ditemui di Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan.
Seyogyanya sebuah wadah yang dibawa ke sebuah pernikahan, dapat dipastikan terdapat isi atau bawaan sebagai unsur penting yang dihaturkan tamu undangan. Secara kultural, lazimnya panci blirik berisi sejumlah beras yang tidak boleh kurang dari takaran tiga kilogram. Bagi golongan yang kenyir menyumbang lebih dari sekadar beras, mereka akan menambahkan bahan pokok lain seperti gula, telur atau minyak goreng. Klasifikasi manusia terakhir biasanya merupakan kerabat dekat dari pemilik acara pernikahan atau sekedar memiliki jiwa derma yang terbilang tinggi. Golongan ini pula yang biasanya dicatat sebagai tamu undangan dengan buah tangan lebih agar kelak bisa digantkan kembali apabila di kemudian hari mereka mengadakan hajatan.
Tradisi on-so’on manusia Madura dengan beragam unsur di dalamnya laksana siraman es di tengah memanasnya perubahan gaya hidup yang mengarah pada money oriented. Pemilihan beras selaku hasil alam dari masyarakat Pasean yang sebagian besar berprofesi petani menjelma angin segar mengingat banyak sekali tradisi nyumbang yang beralih dari hasil alam menuju bilangan uang. Banyak lapisan masyarakat di luar masyarakat Pasean yang tidak lagi membawa hasil panen pertanian namun memilih menyumbangkan sejumlah ‘fulus.’ Perilaku ini pulalah yang lantas menyuburkan monetisasi di ruang komunal.
Monetisasi sebagai istilah dari meng-uang-kan segala hal memang hampir merambah segala sisi kehidupan tidak terbatas pada sumbangan pernikahan. Hanya saja lekatnya budaya komersil dengan kehidupan sosial yang identik dengan gemah ripah loh jinawi terasa mengganjal dan barangkali hampir mematikan nilai-nilai filosofis pedesaan sendiri. Pernyataan ini cukup beralasan mengingat tradisi nyumbang dalam bentuk amplop biasanya bergelayut mesra dengan notulen sebagai rekam jejak para penyumbang. Tidak jarang pula isi amplop yang mereka berikan akan ditagih dan dicocokkan jumlahnya ketika penyumbang kebetulan menghelat perayaan nikah.
Berbeda dengan tradisi on-so’on pada kondangan masyarakat Pasean. Seolah alam dan manusia di sana telah bersatu padu menyepakati hasil panen sebagai komponen yang bisa disumbangkan dalam hajatan pernikahan. Tidak terbatas pada beras biasa, terkadang beberapa warga yang digawangi oleh para emak ini juga membawa beras ketan putih sebagai isi dari panci blirik mereka. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia Madura senantiasa mengantongi beberapa alternatif dengan keputusan yang didasarkan pada peraturan yang berlaku di lingkungan Madura.
Tidak berhenti sampai di situ, poin yang tidak kalah penting dari bawaan pokok berupa beras tiga kilogram orang Madura sebab tidak akan dianggap sebagai hutang yang perlu dikembalikan. Bahkan sisi altruisme sebagian manusia Madura dapat dipelajari dari ketidakhadiran mereka jika tidak diperoleh undangan jamuan pernikahan seberapapun dekatnya rumah mereka dengan lokasi. Di sisi lain terdapat beberapa kalangan yang tidak menyebarkan undangan namun membebaskan para handai tolan untuk menghadiri acara pernikahan sang empunya hajat.
Budaya on-so’on tidak lantas memarginalkan budaya lain seperti penggunaan uang sebagai bentuk sumbangan pernikahan. Hanya saja pada konteks pedesaan yang hidup berdampingan bahkan bergantung pada hasil tanam palawija, pemilihan komoditi beras cukup meringankan bagi sebagian lapisan. Setidak-tidaknya mereka bisa mengandalkan musim-musim panen untuk dialokasikan pada beberapa pesta rakyat seperti pernikahan.
Hal lain yang bisa diperoleh dari tradisi on-so’on tidak lain berpusat pada sifat kolektif yang mengeratkan persaudaraan (brotherhood) dan kebertetanggan (neighborhood) manusia Madura. Statemen ini berangkat dari fakta bahwa mayoritas masyarakat yang mendatangi sebuah hajatan pernikahan biasanya memilih berangkat dan pulang secara bersamaan. Hal ini didukung oleh fakta struktur rumah masyarakat Madura yang berbentuk taneyan lanjhang (halaman panjang) dan memudahkan mereka untuk bersepakat berangkat bersama menuju lokasi acara.
Tepatlah sudah apabila tradisi on-so’on mengekalkan hasil bumi sebagai bentuk sumbangan pernikahan terlebih membunuh budaya monetisasi desa yang mulai menggurita. Pada aspek ini bolehlah manusia Madura berbangga sebab telah mematahkan tesis Hans Sachs dalam ungkapannya yang paling masyhur: Money is the secular God of the World.
*Penulis merupakan mahasiswi Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam rangka proses purna studi, saat ini penulis berdomisili di Yogyakarta.
Write your comment
Cancel Reply