matamaduranews.com-Perlambang lain yang dipakai dalam ritual peret kandung adalah buah kelapa kuning, atau lebih dikenal dengan sebutan nyeor gadding.
Kedua, Nyeor Gadding
Nyeor gadding adalah salah satu jenis pohon kelapa yang biasanya pohonnya lebih kecil dan pendek, buahnya juga lebih kecil dari buah kelapa hijau, dengan kulit berwarna kuning dan bentuk yang tampak lebih menarik dari buah kelapa yang lain.
Pada umumnya, nyeor gadding ditanam oleh orang-orang Madura di samping rumah atau di pekarangan terdekat, yang sesekali juga dapat berfungsi sebagai pohon hias.
Nyeor gadding dalam proses ritual peret kandung dilambangkan sebagai anak yang hendak lahir yang digendong oleh pasangan suami-istri saat proses pemandian.
Setelah itu, diletakkan pada tempat yang bisa terjaga dan terpelihara dengan baik sebagai latihan awal untuk mengasuh anak kelak sampai anak yang ada dalam kandungan benar-benar lahir dengan selamat.
Dijelaskan oleh Arham Syaudi, Ketua Komunitas Nuun yang punya perhatian besar terhadap kebudayaan Madura, bahwa “buah kelapa merupakan lambang dari beragam manfaat yang harus dimiliki oleh seorang anak dalam kehidupan sosialnya, yang harus diperhatikan oleh seluruh orang tua!â€.
Buah adalah komponen terpenting dalam rangkaian pohon kelapa, sehingga buah yang diambil sebagai perlambang dalam ritual peret kandung, bukan bagian pohon yang lain.
Bukan hanya buah, hampir seluruh bagian pohon kelapa punya manfaat yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat Madura.
Akarnya dapat dijadikan kayu bakar, batangnya sebagai bahan bangunan, pelepahnya yang masih hijau bisa dibuat sebagai makanan sapi dan bila sudah kering dapat pula dibuat kayu bakar, lidinya sebagai sapu, janurnya sebagai atap dan seterusnya.
Sementara buah kelapa, seringkali dijadikan sebagai analogi dari perjalanan religiusitas manusia yang terdari dari empat lapisan: serabut, batok, biji dan air, serupa dengan syariat, thariqat, hakikat dan ma’rifat.
Bahkan kadang diumpamakan sebagai daging, tulang, sumsum dan darah, baik darah cair atau darah beku (hati). Asumsi ini kemudian dijadikan salah satu alasan, mengapa yang diambil dari seluruh komponen pohon kelapa adalah buahnya, bukan komponen yang lain.
Oleh karena itu, sugesti yang dibangun untuk orang tua yang memproyeksikan anak sebagai buah kelapa adalah menjadikan anak sebagai manusia penabur manfaat, dalam setiap kata dan perbuatannya.
Bahkan secara khusus, setiap orang tua harus mampu menjaga kesucian fitrah anak sebagaimana kesucian air kelapa yang selalu terjaga dari pengaruh buruk lingkungan di luarnya, dengan sistem proteksi yang sangat kuat.
Selain itu, Arham Syaudi menegaskan bahwa “penggunaan nyeor gadding, bukan buah kelapa jenis yang lain, karena nyeor gadding memiliki nilai estetika yang lebih tinggi, sehingga anak diharapkan juga punya nilai estetika tinggi yang mampu menebarkan keindahan bagi orang lain dan lingkungannya!â€.
Ketiga, Telur Ayam Kampung
Selain nyeor gadding, salah satu piranti yang digunakan dalam ritual peret kandung adalah telur ayam kampung yang ditelakkan pada pangkuan istri, tepat diantara kedua pahanya, lurus dengan jalan keluarnya si anak, saat proses pemandian bersama suami.
Begitu selesai, telur ayam kampung tersebut dibiarkan jatuh dan pecah, saat si istri berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju ruangan untuk meletakkan nyeor gadding yang digendong.
Telur ayam kampung yang dibiarkan jatuh dan pecah, disampakan oleh Arham Syaudi, atau lebih dikenal dengan nama Syaudi Lebah dalam beberapa puisi yang beliau tulis, mengisyaratkan bahwa “proses kelahiran anak diharapkan juga akan segera jatuh (keluar/lahir) dari rahim ibunya dan pecah dengan tangisnya sebagai tanda kesuksesan kehamilan!â€.
Apabila telur yang jatuh tersebut tidak pecah, maka harus diinjak oleh si istri sampai pecah dan tumpah semua isinya. Sebagaimana bayi yang baru lahir kalau tidak menangis, maka ia harus dicubit supaya menangis, karena tangis seorang bayi yang baru lahir adalah isyarat bahwa bayi itu sehat dan selamat yang membuat semua orang bahagia dengan tangis pertamanya.
Sementara di sisi lain, telur ayam kampung adalah lambang kesehatan dan kegagahan orang-orang Madura. Telur ayam kampung dianggap sedikit keramat karena mengandung banyak hal yang dapat menambah gairah hidup, sehingga sering dijadikan bahan jamu alami, yang boleh langsung ditelan atau dicampur dengan bahan-bahan yang lain.
Maka, anak yang akan lahir, pada masanya nanti, diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi sosok manusia yang jadi pemancar spirit dan etos kerja masyarakatnya, karena ia sendiri memiliki kekuatan dan keberanian moral yang tinggi dalam menjalani hidup dan kehidupannya.
Catatan Akhir
Tulisan ini hanya awal untuk memulai sebuah renungan panjang tentang ritual peret kandung sebagai salah satu kekayaan budaya orang Madura. Sebagai generasi Madura, tulisan ini menjadi bentuk perhatian penulis terhadap karya kebudayaan yang sudah berlangsung cukup lama, khususnya di daerah penulis, di bagian daratan pesisir timur daya Kabupaten Sumenep, yang belakangan ini ritual peret kandung sering didakwa sebagai peninggalan nenek moyang yang tidak bernuansa religius, sehingga diperlukan penafsiran yang komprehensif dan bijaksana.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa penggunaan istilah peret kandung dalam tulisan ini hanyalah sekedar menyesuaikan dengan kultur daerah tempat penulis tinggal, yang memang menggunakan istilah tersebut dalam tradisi mensyukuri kehamilan pertama di bulan ke tujuh.
Tidak menutup kemungkinan, terdapat istilah yang berbeda di lain tempat, sesuai bahasa Madura yang digunakan berdasarkan kesepakatan masyarakat, sebagai bagian dari keragaman budaya. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya peristilahan yang berbeda, tetapi juga tata cara dan proses ritual yang berbeda pula, sehingga dalam satu tradisi, masyarakat Madura bisa memiliki pranata sosial yang berlainan, dengan sistem perlambang yang tidak sama, dan itu semua menunjukkan betapa Madura sangat kaya dengan nilai-nilai kebudayaan.
Terlepas dari berbagai tuduhan dan anggapan yang bermunculan, ritual peret kandung hanyalah sebuah tradisi dalam kompleksitas kebudayaan Madura, yang perlu direnungi pesan simboliknya. Ia sama sekali bukan bagian dari sistem kepercayaan dalam agama tertentu, sehingga tidak perlu dicurigai sebagai sebuah ajaran yang benar-salah. Apalagi, kebenaran adalah barang yang hilang, dimanapun tempat ia ditemukan, maka kita harus mengambilnya. (habis)
*Syarwini Syair adalah alumni STIT Al Karimiyyah Beraji Gapura Sumenep, dan sekarang tinggal di Pesantren Alam Raya (PEARA) Lapa Daya Dungkek Sumenep.
Write your comment
Cancel Reply