matamaduranews.com-Ritual peret kandung merupakan sebagian tradisi masyarakat Madura yang sangat popular dan sudah berlangsung lintas generasi.
Istilah peret kandung secara teoritis digunakan untuk acara selamatan kandungan, khusus bagi sepasang suami istri dalam menyambut kelahiran anak pertama.
Sementara untuk kehamilan kedua dan seterusnya, tidak perlu lagi diadakan ritual peret kandung, sebab nilai-nilai universal yang terkandung dalam peret kandung seharusnya sudah diamalkan sejak masa kehamilan pertama, sehingga tidak perlu diulang-diualang bersamaan dengan berulang-ulangnya anugerah kehamilan.
Sedangkan penyelelenggaraan upacara peret kandung, umumnya dilaksanakan pada usia kehamilan memasuki tujuh bulan, yang menjadi fase kehamilan terdekat dengan masa kelahiran, sehingga diperlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi dan kesiapan yang matang bagi calon orang tua.
Ada pula yang melaksanakan pada masa empat bulan kandungan, dengan sebuah keyakinan yang didasarkan pada agama bahwa di masa kandungan berumur empat bulan, Allah SWT meniupkan roh dan menetapkan takdir si anak.
Peret kandung tujuh bulanan, fokus utamanya adalah orang tua mengandung dengan anak yang dikandungnya, sementara peret kandung empat bulanan, titik perhatiannya bertumpu pada anak dalam kandungan dengan orang tua yang mengandungnya.
Perlu dipahami bahwa ritual peret kandung adalah ritual kebudayaan yang penuh dengan simbolisasi nilai-nilai keagamaan. Bukan dibalik sebagai ritual keagamaan yang termanefestasi ke dalam sebuah bentuk kebudayaan.
Karena sebagai ritual kebudayaan, kegiatan upara peret kandung akan selamat dari tuduhan- tuduhan negatif seperti bid’ah, sesat dan saudara-saudaranya.
Beda halnya ketika dipandang sebagai ritual keagamaan, sebagaimana juga tahlilan dan maulidan, maka orang akan mudah menuduhnya sebagai bid’ah, syirik dan tuduhan lain yang serupa, karena sejarah memang belum pernah mencatat bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau datang ke Madura untuk menghadiri acara peret kandung.
Meskipun bukan sunnah rasul, ritual peret kandung merupakan hasil rekayasa budaya yang diciptakan oleh para kreator ulama terdahulu sebagai siasat menyusupkan nilai-nilai keislaman ke dalam berbagai kebudayaan masyarakat Madura.
Namun penyiasatan tersebut tidak sampai menimbulkan sinkretisme, karena yang disusupkan adalah nilai keislamannya, bukan ajaran Islamnya. Sebagai sebuah nilai, tentu Islam tidak bisa berdiri dan akan berbaur dengan nilai-nilai yang lain yang berkembang di lapisan masyarakat sebagai pluralitas sosial.
Apalagi, dilihat secara praktis, proses ritual peret kandung diawali dengan pengajian Al-Quran, biasanya berupa surat Yusuf dan Maryam, atau Yasin, yang dilakukan bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang kiai yang memang menjadi icon kebudayaan masyarakat Madura.
Sesuai tuntutan Islam, anak yang masih berada di alam kandungan hendaknya senantiasa dibacakan surat Yusuf dan Maryam agar kelak menjadi pribadi yang serupa dengan mereka, lahir dan batin. Yusuf dan Maryam adalah contoh sosok remaja yang mampu menjaga kesucian diri di tengah godaan birahi yang menguat di masanya.
Spirit ini sangat cocok dengan kondisi sekarang, dengan munculnya pola kehidupan remaja yang serba permisive yang telah menganulir nilai-nilai fitroh kemanusiaan menjadi sebatas ambisi hewani yang diterjemahkan dalam bentuk free sex, dugem, konsumtivisme dan hasrat hedonistik yang lain.
Menerjemahkan Simbol
Sebagai sebuah ritual dan tradisi, peret kandung menyimpan aneka ragam simbol yang penuh dengan kearifan lokal, baik yang berhubungan dengan orang tua atau calon anak yang hendak lahir.
Simbol-simbol tersebut harus diterjemahkan ke dalam bentuk nilai-nilai dan tindakan nyata, sehingga tidak hanya berupa sistem perlambang yang abstrak, irasional dan berbau mistik serta tidak punya lahan aplikatif sama sekali.
Proses penerjemahan ini harus didasarkan pada paradigma awal bahwa munculnya ritual peret kandung sebagai tradisi menyambut kehamilan, khususnya pada kehamilan pertama, tidak terlepas dari konteks kebudayaan secara umum, yang berperan sebagai pandangan hidup dan sistem bertindak.
Sebagaimana diungkapkan oleh Arham Syaudi, Ketua Komunitas Nuun, Dungkek, Sumenep, bahwa “peret kandung adalah salah satu cara orang Madura dalam mensyukuri kehamilan dan sekaligus persiapan menyambut kelahiranâ€.
Cara ini kemudian dilaksanakan dalam bentuk ritual tertentu, dengan teknik-teknik seremonial dan sistem perlambang (simbol) yang kompleks, sesuai pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, sebagaimana uraian berikut:
Pertama, Mandi Kembang
Sepasang suami istri dalam ritual peret kandung harus dimandikan oleh para kerabat dan tetangga dekat, dengan menggunakan air suci yang ditaburi aneka kembang. Air suci yang harum adalah sebuah pesan simbolik tentang sosok orang tua yang memiliki integritas personal dan sosial sebagai bekal mendidik anak kelak.
Tidak cukup hanya dengan air suci tanpa keharuman kembang, sebagaimana juga tidak cukup dengan hanya mandi sendiri tanpa dimandikan oleh orang-orang di sekitar, baik karena faktor kekerabatan atau kedekatan.
Kesucian adalah lambang integritas personal (pribadi) yang dibentuk oleh faktor intern, seperti keilmuan, kedewasaan, keberanian, ketenangan dan sejenisnya. Kesucian adalah wilayah privasi sebagai pembangunan jati diri yang shaleh bagi laki-laki (suami) dan shalehah bagi perempuan (istri).
Kesucian harus disandingkan dengan keharuman sebagai wujud integritas sosial yang ditandai dengan sikap saling bertegur sapa, tolong-menolong, gotong royong, suka bermusyawarah, menghargai perbedaan, welas asih dan selalu menjadi teladan dalam kebaikan-kebaikan.
Pribadi suci dan harum seperti ini yang harus dimiliki oleh sepasang suami-istri, sebagai bekal utama melahirkan dan menumbuhkembangkan generai penerus bangsa dan umat, agar kesucian dan keharuman jiwa mereka terserap ke dalam kepribadian seorang anak.
Sementara di sisi lain, proses pemandian dengan air suci yang harum harus melalui “orang lain†yang masih punya hubungan nasab (baik orang tua, kakek-nenek, saudara, paman-bibi, dan kerabat yang lain), atau hubungan nasib (seperti tetangga dekat dan teman akrab).
Secara rasional, mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang kelebihan dan kekurangan kita (baca: calon orang tua), karena sering terjalin interaksi sosial sebagai sesama anggota masyarakat paguyuban.
Asumsi ini mengisyaratkan bahwa proses pembangunan jati diri yang suci dan harum tidak bisa serta merta dilakukan secara individual, tanpa melibatkan orang lain, sesuai posisi dan peran mereka masing-masing.
Ini pula yang ditegaskan oleh Arham Syaudi, budayawan asal Giliyang yang berdarah Daeng, bahwa “keterlibatan kerabat dan tetangga dalam proses pemandian dengan memberikan uang terlebih dahulu menunjukkan sikap kepedulian sosial, sehingga anak yang dilahirkan nanti tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tuanya, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama!â€. (Syarwini Syair)
bersambung.....
Write your comment
Cancel Reply