matamaduranews.com-Menjelang tengah malam. Saya sempat dikagetkan dengan sebuah kabar yang mengabarkan bahwa istri tercinta dari teman-yang juga saya anggap sebagai guru saya-Kiai M. Faizi.
Saat itu. Sontak pikiran dan perasaan saya jadi kacau balau.
Dalam benak pikiran saya. Kiai Faizi adalah seorang penyair yang juga kiai harus menerima kenyataan yang barangkali sangat pahit dalam sejarah hidupnya.
Nyai Makkiyah sang istri tercintanya telah dipanggil oleh Yang Maha Segalanya.
Saya yakin. Kiai Faizi akan sabar dan tabah menghadapinya.
Lalu saya teringat buku kumpulan puisi Kiai Faizi yang bertajuk "MADAH MAKKIYAH" yang terbit pada tahun 2006 lalu.
Itu merupakan buku kumpulan puisi yang memang dikhususkan untuk sang istri, Neng Makkiyah-yang saat itu baru dipinangnya.
Dalam buku itu ada sebuah puisi yang berjudul "Makkiyah 17". Baitnya sungguh menyentuh. Walau hanya dua baris.
engkau memang bukan Segalanya bagiku tapi nyaris
Tentu, puisi pendek itu menjadi ruh dari beberapa puisi yang ada di dalam buku itu.
Saya membayangkan. Begitu membuncah gelora cinta Kiai Faizi terhadap sosok gadis bernama Makkiyah.
Mendadak berhenti mencurahkan isi cintanya. Terbentur spiritualitas cinta yang lebih agung dari segalanya. Yang Maha Segalanya.
Wajar jika kata 'segalanya' diimbui kata 'nyaris' sebagai pemisahan sublim cinta yang dimiliki untuk manusia.
Kini, sepeninggal istri tercintanya. Kiai Faizi mencoba merangkai estetika meski tidak pada keindahan.
Dari tulisan singkat Kiai Faizi di akun FB-nya, saya merasa. Begitu terasa sekali kegalauan imajinya. Bisa jadi itu sesaat sebagai bagian dari letupan cinta yang membuncah.
engkau memang bukan Segalanya bagiku tapi nyaris
Begitu persoalan cinta, sebagai sebuah lanskap semesta. Yang mengajak kita untuk merenungi tentang sebentuk takdir dari sebuah perpisahan.
Seperti kata penyair Lebanon Kahlil Gibran,"Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia, karena cinta membangkitkan semangat yang hukum-hukum kemanusiaan dan gejala-gejala alami pun tak bisa mengubah perjalanannya"
Banyak kisah Kiai Faizi yang menyertai saya dalam perjalanan sastra. Kiai Faizi-lah yang memberikan epilog buku kumpulan puisi tunggal saya yang pertama dengan judul 'Tak Ada Cinta Buat Penyair" terbit 2004.
Sebagai penyair, jauh sebelum kepergian istrinya menghadap Sang Pencipta. Kiai Faizi telah membangun monumen cinta untuk Makkiyah.
Kematangan Kiai Faizi dalam menjalani hidup dalam bingkai cintanya, terasa menorehkan puisi abadi bagi para pencinta, yang tak bisa ditafsirkan dengan dalil kasih sayang dalan literatur apapun.
Sejumput rindu, luka dan perasaan yang (mungkin) kacau saat Makkiyah menghadap Allah Swt.
Saya yakin, Kiai Faizi telah membangun sorga cintanya.
Kiai Faizi...saya yakin ada selaksa doa dan puisi abadi mengiringi Nyai Makkiyah...
Sebab sorga yang engkau bangun untuk kalian berdua telah menantinya.
Dan sembab matamu akan melautkan cinta kalian walau di tempat yang berbeda. (Ibnu Hajar)
Sumenep, 2 Muharram 1443 Hijriyah (11 Agutustus 2021)
Write your comment
Cancel Reply