Dunia Islam tidak melulu berisi doktrin dan teologi, yang merangkum ensiklopedi perang, melainkan tentang sebuah prestasi. Hal tersebut tentu merupakan sebuah keberhasilan luar biasa dalam sejarah umat Islam. Keberhasilan dimaksud adalah merubah senjata pedang menjadi senjata pena.
Secara historis, perjuangan bangsa Arab, untuk memerdekakan bangsanya, pada dasarnya bukanlah perjuangan dalam bentuk kekerasan. Seperti yang kita yakini, Islam mengajarkan pemeluknya urgensinya sikap ramah. Baik terhadap sesama muslim maupun antar sesama. Jika ada sekelompok orang yang mengaku muslim namun dalam kesehariannya masih tampak kasar pada sesamanya, sejatinya keimanannya masih perlu dipertanyakan.
Sudah banyak yang membuktikan bahwa perang tidak dapat memecahkan masalah, mampu membebaskan manusia dari jeratan penindasan dan penjajahan, serta mampu menundukkan manusia pada derajat sebagai insan. Sebab itulah, senjata yang paling ampuh bangsa ini, yang membuatnya mulia, adalah senjata pemikiran, rasional, dan spiritual.
Imam Al-Ghazali termasuk salah satu tokoh muslim yang ikut memainkan peran penting dalam memajukan Islam. Dia telah ikut meramaikan literatur-literatur keislaman setelah Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khaldun. Ia representasi cendekiawan dari kalangan ulama. Kehebatannya telah diakui semua kalangan. Belum pernah ditemukan ulama hebat selain Al-Ghazali pada masanya. Saking hebatnya, gurunya, Al-Juwaini, mengaguminya sembari menyinggung kelebihan Al-Ghazali, sehingga ia menyipatinya seperti lautan yang sangat dalam.
Tidak seperti cendekiawan muslim pada umumnya yang ketika mendalami sebuah ilmu cukup berhenti pada tataran teoritis tetapi tidak berlanjut pada tataran praksisnya, Al-Ghazali justru tidak demikian. Mempelajari Ilmu menurutnya tidak sekadar semata-mata petualangan-petualangan yang dibacanya dalam buku. Akan tetapi, bagaimana ilmu tersebut dapat menyingkap fenomena yang sangat prinsipil dan khusus. Buku ini menjelaskan trik Al-Ghazali berhasil menemukan ilmu yang dapat memuaskan akalnya di samping menjelaskan pula tentang kekeliruan-kekeliruan para penuntut ilmu.
Menurut Al-Ghazali, untuk menemukan hakikat kebenaran, seseorang harus bisa memisahkan antara ruh dan akalnya sebelum mencapai hakikat kebenaran. Tanpa melalui proses jangka panjang dan kontinuitas, yang terdiri dari fase bertanya, meneliti, menyelidiki, dan menyingkap, keimanan akan menjadi sulit dicapainya. Sebab, hanya melalui proses demikian itulah keimanan seseorang akan selalu datang (hlm. 45).
Buku biografi ini Imam Al-Ghazali ditulis oleh Dr. Izzudin Ismail. Di dalamnya juga dilengkapi terjemah dari kitab al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan), mengantarkan kita pada lebih mengenal sosok Sang Hujjatul Islam. Apa yang telah diperjuangkan beliau semasa hidupnya telah memberikan kontribusi luar biasa untuk menunjukkan kematangan pemikiran. Karena pemikiran (rasional) menurutnya adalah sebagai komandan perilaku dan penopang keimanan. Dialah yang telah meletakkan rasio untuk melayani keimanan.
Tak jemawa buku ini akademis. Pembaca dari latar belakang pendidikan manapun boleh membacanya. Buku ini bisa dijadikan referensi bagi intelektual baik dosen maupun mahasiswa agar terhindar dari bahaya atau kesesatan dari pemikiran-pemikiran ahli pikir yang tidak tahu Islam, serta mengagumi para filosof secara berlebihan—yang berpotensi menyesatkan. (hlm. 112).
*Ashimuddin Musa merupakan mahasiswa IAT UIN Jakarta.
Write your comment
Cancel Reply