Konser langit adalah nama yang diberikan oleh anak-anak milenial di Jawa Timur untuk serangkaian acara dakwah yang diisi oleh pendakwah milenial Ustadz Hanan Attaki (UHA), dalam rangka Festival Muharam memeringati tahun baru hijriyah akhir Juli ini.
Konser itu akan diadakan di beberapa kota seperti Jember, Situbondo, Sidoarjo, dan Gresik. Tapi, karena otoritas setempat menolak memberi izin maka rangkaian konser itu pun dibatalkan.
UHA menjadi ikon bagi anak-anak milenial yang melakukan hijrah. Ia mendirikan lembaga yang menampung anak-anak milenial yang berhijrah. Gaya berdakwahnya menyasar pada berbagai kelompok hobi anak-anak milenial seperti bikers, breakdancers, penggemar parkour, dan kelompok-kelompok hobi lainnya. Gaya dakwahnya sangat khas melinial dengan idiom-idiom esoterik yang biasanya hanya dipahami di lingkungan anak-anak milenial saja.
UHA menjadi representasi ustaz gaul yang betul-betul integrated dengan gaya anak-anak milenial. Kalau biasanya para ustaz identik dengan surban, gamis, sarung, kopiah, dan tasbih, UHA tampil modis dengan jins, kaos oblong, penutup kepala dari wool, plus gajet keluaran terbaru. Tema ceramah UHA disukai oleh anak-anak milenial karena tidak hanya berbicara soal surga dan neraka, tapi membahas persoalan-persoalan kekinian yang dihadapi remaja milenial.
Dengan gaya dakwah yang khas seperti itu UHA mendapatkan pengikut yang sangat luas. Kajian-kajian yang diadakannya selalu membludak oleh ratusan milenial. Ceramahnya yang diunggah di kanal Youtube dilanggani jutaan milenial. Tak pelak UHA menjadi pendakwah milenial paling terkemuka di Indonesia.
UHA menjadi representasi pendakwah gaul yang masuk dalam kategori ‘’technological savvy’’ atau fasih teknologi. Dalam klasifikasi Everret Rogers kelompok ini dikatgorikan sebagai ‘’early adopters’’ yang dengan cepat bisa mengadopsi dan memanfaatkan teknologi mutakhir untuk kepentingan sehari-hari. Keberadaan pendakwah seperti UHA ini bisa mengancam pendakwah tradisional yang selama ini mengandalkan metode dakwah tatap muka yang konvensional.
Teknologi informasi yang pesat telah mengubah lanskap dakwah di Indonesia. Pada zaman dulu yang disebut santri adalah mereka yang memondok di pesantren dan mengaji dengan sistem sorogan, membaca kitab kuning dan langsung berhadapan dengan kiainya.
Model tradisional ini disebut sebagai pengajaran yang ‘’mutawatir’’ atau menyambung langsung kepada para ulama salaf. Dalam tradisi Islam para ulama disebut sebagai pewaris nabi, dan karena itu, mengaji langsung kepada ulama disebut sebagai ‘’mutawatir’’ karena langsung menyambung sampai ke Rasulullah.
Filosof muslim Imam Al-Ghazali bahkan mewajibkan adanya guru langsung bagi seorang santri yang ingin belajar agama Islam. Tanpa guru yang melakukan supervisi langsung dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam transfer pemahaman. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar munculnya metode pengajian sorogan yang langsung diasuh oleh para kiai.
Pandangan Al-Ghazali ini sampai sekarang masih tetap kuat dan dianut secara luas di kalangan Islam tradisional, terutama dalam sistem pengajaran pesantren. Model pengajaran Al-Ghazali ini disebut sebagai bagian dari ortodoksi Islam.
Para pengritik Al-Ghazali menyebut ajaran ini sebagai penghalang bagi munculnya kreatifitas dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer. Metode pengajaran Al-Ghazali ini dianggap menghalangi kemampuan melakukan ijtihad untuk merespons berbagai persoalan mutakhir.
Penganut Al-Ghazali berpendapat bahwa justru metode pengajaran konvensional inilah yang bisa menjaga originalitas ajaran Islam. Dalam pandangan ini Islam telah memberikan ajaran yang ‘’kaffah’’ komprehensif, yang sesuai dengan segala keadaan tempat dan waktu, ‘’shalihun likulli zaman wa makan’’, dan karenanya tidak perlu ada yang ditambah atau dikurangi.
Para ulama memerankan posisi sentral dalam tatanan masyarakat tradisional. Mereka bukan hanya menjadi tumpuan untuk bertanya mengenai persoalan-persoalan agama, tetapi juga menjadi tumpuan untuk bertanya mengenai masalah-masalah kehidupan seperti ekonomi, pertanian, perdagangan, kesehatan, dan juga perjodohan. Banyak sekali masyarakat yang datang ke kiai untuk meminta berkah sebelum menanam padi dan meminta doa supaya anaknya segera mendapatkan jodoh.
Para kiai menjadi opinion maker dan opinion leader yang ditaati dengan sepenuh hati. Para kiai ini tidak jarang kemudian menjadi ‘’kiai politik’’ yang mengarahkan umatnya untuk melakukan pilihan politik tertentu. Di beberapa daerah mudah ditemui seorang kiai yang kemudian menjadi politisi, atau anak-anaknya menduduki jabatan-jabatan politik seperti anggota DPR atau menjadi kepala daerah.
Kondisi ini berubah dengan munculnya teknologi informasi yang berkembang sangat cepat. Perubahan sosial besar terjadi karena teknologi. Masyarakat tidak lagi menjadikan kiai sebagai opinion leader dan opinion maker. Sebagai gantinya, mereka mendengarkan ceramah melalui Youtube dan bertanya mengenai berbagai hal melalui mesin peramban Google.
Di masa lalu pengajian seorang ustaz atau guru mengaji mungkin akan didengar oleh puluhan santri saja. Di masa 1990-an, sebuah pengajian di kampung yang dihadiri oleh seribu jamaah saja sudah pasti akan disebut sebagai ‘’Pengajian Akbar’’.
Sekarang, di era digital, pengajian UHA ditonton oleh jutaan santri digital melalui streaming. Gus Baha, Ustaz Abdul Somad, Ustaz Dasad Latief, Gus Nadjih Maimoen, Buya Yahya, Ustaz Adi Hidayat, Ustaz Khalid Basalamah, , dan sebutlah semua ustad zaman now. Mereka semua mendapatkan berkah dari internet, sehingga bisa melakukan dakwah digital dengan murah dan efektif, serta menjangkau puluhan juta ummat dalam sekali tayang.
Para santri digital ini tumbuh dimana-mana dan menjadi jaringan santri digital yang kuat dan solid. Mereka menjadi komunitas santri digital global baru yang menjadi bagian dari ‘’the network society’’ atau masyarakat berjaringan ala Manuel Castells.
Digitalisasi dakwah menjadi fenomena mutakhir yang membawa berkah bagi dakwah Islam. Hal ini menimbulkan kegalauan di kalangan tradisionalis, yang mengkhawatirkan lunturnya tradisi pengajaran Islam tradisional seperti yang selama ini hidup di pesantren.
Ada kekhawatiran munculnya santri digital ini akan menimbulkan trivialisasi, pendangkalan, pemahaman Islam. Ajaran Islam memang menyebar dengan sangat masif. Tapi, penyebaran itu hanya bersifat kulit saja tanpa pendalaman isi. Para tradisionalis menghkawatirkan, pengajian digital tidak akan mutawatir, tidak menyambung kepada sumber yang otoritatif dan dikhawatirkan akan menimbulkan radikalisme dan ekstremisme.
Perubahan sosial itu akan membawa konsekuensi perubahan tradisi, yang pada akhirnya akan menghilangkan otoritas elite agama. Dengan munculnya teknologi digital otoritas itu berpidah dari para kiai tradisional kepada para kiai digital generasi UHA dan kawan-kawan.
Penolakan terhadap Konser Langit dikaitkan dengan sinyalemen bahwa UHA adalah pendukung HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang sudah dibubarkan pemerintah. Tuduhan ini tidak pernah diverifikasi langsung kepada UHA atau pun dibuktikan melalui pengadilan. Beberapa waktu yang lalu di media sosial beredar daftar gelap mengenai ustaz-ustaz yang dikategorikan sebagai radikal. Nama UHA masuk dalam list itu bersama-sama dengan Ustaz Abdul Somad, Ustaz Felix Siauw, dan beberapa lainnya.
Kemunculan para ustaz digital ini menjadi ancaman bagi status quo sosial dan politik yang selama ini sudah mapan. Cara-cara dakwah tradisional dan konvensional berubah total dengan munculnya dakwah digital yang diperkenalkan oleh para ustaz digital generasi UHA dan kawan-kawan. Model dakwah ‘’personalized’’ dan ‘’customized’’ ala UHA ini lebih mangkus dan sangkil, efektif dan efisien bagi generasi milenial.
Sebaiknya generasi milenial ini dibiarkan mencari Tuhan dengan cara mereka sendiri. (*)
sumber: kempalan
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply