Blog Details Page

Post Images
Adik bungsu Gus Dur yang satu ini memang lain dari keluarga Wahid yang lain. Selain mengenal kehidupan di Menteng, sementara keluarga Wahid lainnya umumnya lebih lekat dengan kehidupan pesantren, juga ia penggemar seni. Suka musik rock, dan suatu ketika menyanyi lagu Bon Jovi yang paling dia suka, “It’s My Life” dalam sebuah gelaran musik hidup di sebuah lobi hotel di Solo pasca Pemilu Presiden 1999. Saya mengenal Gus Im, panggilan akrab Kiai Haji Hasyim Wahid bukan di panggung politik. Akan tetapi di sebuah pasar keris dan batu tradisional Rawabening, ketika masih menempati bangunan lama di lantai dasar gedung pasar berlantai tiga di seberang Stasiun Jatinegara Jakarta Timur sekitar 1992. Gus Im sangat sering singgah di kios keris milik mranggi (ahli bikin warangka keris) terkenal asal Madura, Pak Roem dan anaknya Hoesnan Dani (keduanya kini sudah almarhum) di Rawabening. Juga sangat sering bertemu di kios keris milik Haji Kholik, ataupun kios keris Toni Junus di pasar yang sama. Tetapi teramat sering, bahkan nyaris dua tiga kali dalam seminggu, kami ngobrol berempat berlima di rumah seorang mranggi asal Madura di pinggiran Kali Malang, Zaenal. Bicara dari sore sampai pagi subuh, dari soal keris, sampai politik. Dari soal pemimpin partai, sampai gossip di seputar pemimpin-pemimpin negeri. Gus Im dikenal sangat dekat (bahkan pernah menjabat bidang Litbang) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, meskipun lebih banyak dikenal sebagai “tokoh klandestin” yang bergerak di bawah tanah. Melobi dari tokoh ke tokoh, karena Gus Im ini memang sangat supel dan banyak kenal tokoh politik elit. Suatu ketika, terkejut juga mendengar seorang teman senior perkerisan di Angkatan Udara, tiba-tiba diangkat menjadi Kapuspen (Kepala Pusat Penerangan) ABRI. Padahal saya baru satu dua bulan mengenalkannya pada Gus Im, dalam sebuah rapat penyusunan buku “Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar” di sebuah rumah di Jalan Kepiting Raya, Rawamangun suatu malam setelah Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia pada Oktober 1999. Tetapi suatu ketika, Gus Im mendatangi saya di Redaksi Kompas di Palmerah Selatan, ketika di Gedung MPR-DPR RI tengah berlangsung voting pemilihan Presiden, antara pemimpin partai pemenang Pemilu, Megawati Soekarnoputri vs Gus Dur dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didukung Poros Tengah (Amien Rais dkk) dan juga Golkar. Gus Im sama sekali tidak berniat membisikkan berita politik. Karena pada saat itu saya tidak menulis bidang politik nasional, akan tetapi menjadi Redaktur Internasional…. urusan saya berita internasional. Kalau toh politik pun politik luar negeri, bukan dalam negeri. Gus Im datang di depan meja saya (saya sibuk mengetik berita internasional di lantai III Gedung Kompas Gramedia), untuk merayu, memaksa beli tombak saya yang dia sebut sebagai “Nenggala” yang saya peroleh dari seseorang di wilayah Kebumen, Jawa Tengah. Tombak saya itu, diperoleh teman dari seorang petani, yang memakai tombak (lurus ujungnya, akan tetapi memiliki lengkungan panjang satu sisi ke kanan) untuk memotong ‘tuntut’ (ujung buah pisang berwarna merah hati) dan juga ujung tombaknya yang kekar sering dipakai si petani pemilik tombak untuk mencabuti rumput di kebonnya. Karena begitu kokohnya tombak yang disebutnya Nenggala itu, sampai ujung tombaknya tidak lagi runcing, akan tetapi runcingnya pepat, kekar. Seperti pucuk linggis yang diperuncing. Sementara ujung satunya lagi yang melengkung, dua sisinya tajam. Tuntut gedhang (ujung buah pisang yang warna merah), pasti langsung putus dengan satu kali sendhal pakai lengkung tajam tombak Nenggala itu. “Udahlah, untuk saya saja. Demi kepentingan politik…,” kata Gus Im, di depan meja saya. “Urusan politik apa sih Gus?” kata saya, sembari terus mengetik. Maklum, tidak mau dikejar deadline saat menulis berita, jika ditulis malam hari. Dan sudah berkali-kali aku bilang padanya, tombak itu tidak kujual. “Nanti aku kasih tahu…,” katanya. Kenapa tombak Nenggala yang dia incar? Nah, inilah keunikan Gus Im. Pertarungan politik di Gedung MPR-DPR RI saat itu (Oktober 1999), ternyata menurut dia, disimbolkan dengan tombak Nenggala – yang ketika saya dapat, wujudnya hitam kelam, lekat dengan lapisan tebal hitam (mungkin karena terlalu sering dipakai memotong tuntut gedhang), sehingga tidak terlihat, apakah tombak Nenggala itu berpamor atau tidak. “Berani bertaruh rokok sebungkus, nggak bakal ada pamornya,” kata Gus Im suatu suatu ketika saya titip mewarangi tombak tersebut pada Zaenal di pinggir Kali Malang di Bekasi. Ternyata, tombak Nenggala itu ketika sudah diwarangi oleh Zaenal, memunculkan pamor yang diluar dugaan. Yang di sisi lurus, tegak menjulang, berpamor Pandhita Abala Pandhita (salah satu motif pamor berbentuk gunungan-gunungan tinggi, berlapis sampai ke dasar bilah) dan yang melengkung tajam ke bawah seperti busur, berpamor Raja Abala Raja. Dalam pengertian tradisional perkerisan di Jawa, pamor Pandhita Abala Pandhita adalah “pendhetanya pendheta”. Alias pendeta atau pemimpin agama yang berbala pemimpin-pemimpin agama lainnya. Sementara Raja Abala Raja, adalah Raja yang berbala atau memiliki pengikut raja-raja. “Ha, ha, ha….. Urusan pemimpin negeri kok seperti tombaknya Jimmy,” kelakar Gus Im, kepada Zaenal, juga kepada sobat dekatnya di perkerisan, Budiarto Danujaya yang kebetulan juga wartawan Kompas. Ternyata, setelah dimahari paksa (dibeli paksa oleh Gus Im), perkiraan “politik negeri kok seperti tombaknya Jimmy” itu jadi kenyataan. Gus Dur yang partainya PKB hanya meraih 12 persen pada Pemilu 1999, mengalahkan Megawati di Pilpres, padahal pemimpin partai pemenang pemilu (PDI Perjuangan) ini menang di Pemilu 33 persen. Lha kok di sidang MPR, Gus Dur yang didaulat Poros Tengah ini menang 60 suara, 373 lawan Megawati 313 suara! Berapa nilai mahar Nenggala “simbol pemimpin negeri” ini? Ketika saya peroleh dari petani di desa Kebumen, tombak itu saya mahari Rp 400 ribu. Ketika dibeli paksa Gus Im? Saya tidak menghitung uang yang diselipkan di “singep” (kain pembungkus) Nenggala saya, lantaran saya sangat kehilangan tombak kesayangan saya yang pernah ikut dipamerkan di Pameran Seni Tosan Aji di Bentara Budaya Agustus 1996 itu. Saya padahal hanya meminta ditukar dengan satu pak rokok putih, merek apa saja. Eh, ternyata yang diselipkan di singep ada Rp 10 juta. “Beli rokok putihnya saja sendiri….,” kata Gus Im. Cerita tentang Nenggala Pemimpin Negeri ini belum berhenti di situ. Suatu ketika Gus Im bermuka muram, mendung. Dan bertutur, “sedang tidak sependapat dengan ‘suheng’ nih..,” gerutu Gus Im. Suheng alias Guru Besar adalah sebutan jika Gus Im mengunjuk Gus Dur, abangnya. Kepada Zaenal, tombak Nenggala itu minta diubah. Bagian yang lurus, yang berpamor Pandhita Abala Pandhita, diminta untuk ditempa melengkung di Madura. Sedangkan yang semula melengkung ke bawah, berpamor Raja Abala Raja, diminta untuk diubah, ditempa lurus. Tegak ke atas. “Urusan pemimpin negeri kok seperti tombaknya Jimmy,” kata Gus Im, pada Zaenal. Yang disuruh menempa, Zaenal, sampai geleng-geleng kepala. Tombak bagus-bagus, besar dan gagah, utuh, malah diotak-atik. Diubah seperti kemauan Gus Im. Dan rupanya, di panggung politik, sang Pandhita Abala Pandita ternyata turun tahta. Seperti tombak Nenggala. Gus Dur diganti oleh Wakil Presidennya, Megawati Soekarnoputri. Kabarnya, menurut Gus Im, tombak Raja Abala Raja si Nenggala itu diberikan pada pemimpin negeri yang baru tersebut. Wallahualam…. Dan sebenarnya tidak hanya satu kali itu saja, Gus Im yang memang sangat klandestin tak mau tampil di depan publik itu, menunjukkan intuisi politik melalui simbol tosan aji. Sebelum peristiwa Pandhita Abala Pandhita dan juga Raja Abala Raja itu, Gus Im pernah bertingkah aneh. Suatu ketika sebelum 1998, Gus Im menitipkan banyak sekali senjata tradisional, dari anak panah dari Papua, sampai pedang, tombak dan segala macam senjata tajam di sebuah pojokan ruang tamu rumah kontrakan Zaenal, ahli warangan asal Madura itu. Kebiasaan, Gus Im selalu “meramalkan” situasi politik melalui tosan aji, kepada teman-teman perkerisan, tidaklah asing. Dan ternyata, beberapa bulan setelah titipan berbagai senjata itu terjadilah kerusuhan Mei 1998 yang mengerikan itu. “Aku titipkan senjata-senjata ini ya Nal,” kata Gus Im, pada Zaenal, sobat dekatnya di perkerisan, seperti juga teman dekat kami berempat, berlima yang sering ngumpul di pinggiran Kali Malang. Juga dokter Ben, yang ketika Gus Dur naik tahta jadi Presiden, dokter militer penggemar tosan aji ini pun beruntung naik pangkat di lingkungan Departemen Hankam. Sekitar dua atau tiga tahun silam, sekitar 2017, Gus Im menelpon saya, menanyakan nomor telpon sobat kerisnya, Zaenal. Selama ini, Zaenal sudah menyelesaikan berbagai pesanan tempa keris maupun tombak Gus Im, yang selalu tidak lazim dan serba diukur persis. Baik hari saat menempa, bahkan menit detik mengayunkan palu, sampai ukuran panjang bilah, Gus Im selalu pakai hitungan njlimet . Kudu persis, nggak boleh lebih, nggak boleh kurang. Saya pun siang itu bergegas ke rumah Gus Im di Jalan Radio Dalam, tak jauh dari pasar Mayestik di Jakarta Selatan. Ngobrol lama, sembari menanyakan juga, sobat perkerisan dia nun di Solo sana, Benny Hatmantoro. Benny, adalah juga teman yang sangat sering diajak tukar pikiran, baik soal politik maupun tentang tosan aji sembari ngopi dan nanting keris. “Saya sakit mas, salam saya untuk Benny dan Zaenal,” tuturnya. Ketika itu, Gus Im banyak cerita soal berbagai peristiwa menyangkut rekanan dekat politiknya. Prabowo Subianto. Baik Prabowo dan Megawati, adalah lingkar terdekat dia di politik, di samping juga berbagai tokoh terkenal militer, dari sejak M Jusuf. Rupanya itu adalah pertemuan terakhir saya dengan Gus Im, yang di perkerisan meninggalkan berbagai jejak eksperimen pembuatan keris, baik eksperimen bentuk, eksperimen tempa meteorite, titanium, sampai…. pistol dengan laras berpamor yang dibuat khusus di Pindad, Bandung. Selamat jalan Gus Im, yang pagi di awal Bulan Agustus (Sabtu 1 Agustus 2020) ini menghadap Sang Khalik. Semoga dilapangkan jalan. Tulisan ini sudah tayang di kompas.com *Wartawan Kompas 1975-2012
Kegemaran Gus Im di Dunia Pusaka Gus Im adik Gus Dur Keris dan Batu
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Featured Blogs

Newsletter

Sign up and receive recent blog and article in your inbox every week.

Recent Blogs

Most Commented Blogs