matamaduranews.com-PUNCAK peringatan Satu Abad NU (Nahdlatul Ulama) sukses digelar di Sidoarjo, hari ini (7/2). Puluhan ribu warga Nahdliyyin dari seluruh Indonesia tumpek blek di Stadion Gelora Delta Sidoarjo. Jamaah yang tidak kebagian tempat di stadion menyaksikan rangkaian acara dari berbagai tempat di sekitar stadion. Ratusan ribu jamaah—ada yang mengklaim jumlahnya jutaan—membuat Sidoarjo dan Surabaya macet total.
Presiden Joko Widodo hadir memberikan sambutan. Seperti menyesuaikan dengan tradisi Nahdliyyin yang suka guyon, Jokowi juga membuka pidato dengan canda. Setelah menyaksikan atraksi ribuan Banser (Barisan Ansor Serba Guna) berparade menyanyikan lagu ‘’We Will Rock You’’ dar Queen, Jokowi memberikan pujian. Kata Jokowi, setelah berusia satu abad, NU semakin maju karena mulai menyukai lagu-lagu rock yang dinyanyikan Freddy Mercury, vokalis grup rock Queen.
Hadirin tertawa dan bertepuk tangan mendengar canda Jokowi. Mungkin ada yang tersenyum kecut karena merasa agak tersindir. Dalam bahasa mafhum mukholafah, atau pengertian terbalik, Jokowi menyiratkan bahwa dulu NU hanya sholawatan dan marhabanan—sebagai simbol tradisionalisme–tapi sekarang sudah mulai menyukai lagu-lagu rock sebagai simbol modernisme.
Yang paling banyak ditunggu orang adalah sambutan dari Menteri BUMN Erick Thohir. Maklum, beberapa hari menjelang puncak acara Erick menjadi sorotan dan menjadi bahan kontroversi, karena fotonya tersebar luas melalui baliho yang terpasang sampai ke sudut-sudut kota.
Sebagai ketua panitia peringatan hari lahir satu abad NU Erick diberi kesempatan untuk memberi kata sambutan. Erick Thohir sudah resmi menjadi anggota Banser sejak 2021 yang lalu dan sudah mengikuti pendidikan dan latihan dasar. Karena itu Erick disebut sebagai ‘’Banser Bersertifikat’’ dan dianggap layak menjadi ketua panitia.
Ketika ada yang meragukan ke-NU-an Erick, wakil sekjen PBNU Sulaeman Tanjung membela dengan menegaskan bahwa Erick Thohir berasal dari NU. Keluarga dan kedua orang tuanya NU. Karena itu ke-NU-an Erick tidak perlu diragukan lagi.
Pidato Erick Thohir pun disimak dengan khusyuk. Sayangnya, sewaktu mengakhiri pidato, Erick Thohir terlihat agak gugup sehingga salah mengucapkan kalimat penutup sebelum salam. Biasanya, para Nahdliyyin menutup pidato dengan ucapan ‘’Wallahul muwaffiq ila aqwamit thoriq’’ yang artinya ‘’Dan Allah-lah Dzat yang memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus’’. Mungkin karena agak grogi, Erick terdengar mengucapkan ‘’Wak Min Thoriq’’.
Keseleo lidah kecil ini kontan menyebar di media sosial dan mendapat tanggapan luas dari netizen. Ada yang mengiritik dengan menyebut Erick sebagai ‘’NU anyaran’’, tapi banyak juga yang membelanya dengan mengatakan hanya orang nyinyir saja yang mempersoalkan keselo lidah itu.
Selain acara pertunjukan yang meriah dan penuh ingar-bingar itu, NU juga mengadakan acara halaqah internasional bertema ‘’Muktamar Fikih Peradaban’’. Beberapa ulama, mufti, dan ahli fikih internasional dikumpulkan untuk membahas reorientasi fikih dari wawasan tradisional menuju wawasan yang global yang berkesusian dengan kebutuhan dunia internasional.
Di masa lalu halaqah fikih di kalangan NU membahas masalah-masalah tradisional seputar amalan ibadah keseharian warga NU. Fikih tradisional NU berupaya menjawab pertanyaan terhadap praktik keagamaan keseharian yang di amalkan warga NU, yang dianggap bid’ah karena menyimpang dari tuntunan syariah Islam.
Isu-isu yang dibahas dalam fikih tradisionalis seputar membaca basmalah dalam surat Alfatihah, melafalkan ‘’sayyidina’’ dalam tasyahud, qunut shalat subuh, mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud, mengusap wajah setelah shalat, ziarah kubur, tahlilan, manakiban, shlawatan, dan praktik-praktik lain yang bisa dilakukan oleh warga NU.
Pada era kepemimpinan K.H Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, energi pembahasan fikih diarahkan kepada rekontekstualisasi fikih untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer. Di era Gus Dur muncul gagasan pribumisasi Islam yang berusaha mempribumikan berbagai ajaran Islam untuk menyesuaikan diri dengan tradisi lokal
Gus Dur antara lain mengajukan gagasan untuk mengganti kalimat salam ‘’Assalamu alaikum’’ menjadi ‘’selamat pagi’’ atau ‘’selamat siang’’ dan ‘’selamat malam. Gagasan ini tidak sepenuhnya bisa diterima oleh seluruh kalangan ulama NU. Bahkan karena gagasan-gagasannya dianggap nyeleneh, K.H.R As’ad Samsul Arifin dari Situbondo menyatakan mufaroqoh, memisahkan diri, dari kepemimpinan Gus Dur.
Halaqah fikih peradaban internasional yang digagas Ketua PBNU K.H Yahya Cholil Staquf kali ini melanjutkan gagasan-gagasan Gus Dur. Selama kepemipinan Gus Yahya NU sudah ‘’goes international’’ dengan mengadakan pertemuan R-20 yang mengumpulkan tokoh-tokoh lintas agama di Bali, 2022 yang lalu.
Kali ini Gus Yahya ingin merumuskan fikih baru supaya sesuai dengan kebutuhan geopolitik internasional yang sudah berubah karena globalisasi. Dalam forum internasional ini, para mufti dan ahli hukum Islam mengulas berbagai persoalan kontemporer dari sudut pandang Islam, mulai dari format negara-bangsa, relasi dengan non-Muslim, hingga tata politik global.
Salah satu fokus pembahasan pentingnya adalah tentang posisi Piagam PBB di mata syariat Islam. Piagam ini dilihat dari dua sisi, yaitu di lingkungan internal umat Islam dan di lingkungan pergaulan internasional. Pada aras pertama, Muktamar Fikih Peradaban memberi ajakan dan dorongan kepada para ulama dan fuqaha untuk membangun konstruksi fiqhiyah yang solid dan diterima luas, perihal legitimasi syariah bagi konstruksi negara-bangsa dan kesepakatan negara-bangsa dalam bentuk kelembagaan dan piagam PBB.
Setelah piagam ini dideklarasikan oleh PBB diharapkan seluruh dunia akan mengadopsinya menjadi bentuk baku pemerintahan di seluruh negara anggota PBB. Bentuk negara itu adalah ‘’nation-state’’ negara bangsa yang berdasarkan pada nasionalisme sekuler.
Ini berarti menjadi anti-tesa terhadap gagasan khilafah atau pan-islamisme yang muncul pada masa sebelum Perang Dunia Kedua. Muktamar Fikih Peradaban bertujuan untuk menjadikan Piagam PBB sebagai dasar tunggal pembentukan negara di seluruh dunia. Dengan demikian, pembentukan negara berdasarkan Islam dianggap tidak sesuai dengan Piagam PBB.
Pada aras kedua, ajakan dan dorongan untuk menengok dan memperkuat legitimasi terhadap Piagam PBB merupakan bagian dari ikhtiar untuk memperkuat multilateralisme dalam pergaulan internasional.
K.H Yahya Cholil Staquf mengatakan, pembicaraan tentang tata dunia damai baru muncul setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Piagam PBB. Sebelum itu, masyarakat dunia masih diliputi sektariaisme yang syarat konflik, termasuk di internal umat Islam sendiri. Menurut dia, apabila hendak mengembangkan wacana syariat tentang perdamaian dan toleransi maka harus bermuara dari Piagam PBB. Untuk itulah, hal pertama yang harus disepakati adalah soal kejelasan kedudukan Piagam PBB di mata syariat.
Lembaga PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) didirikan oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II yang terdiri dari Amerika, Eropa, dan Uni Soviet. Negara-negara yang kalah seperti Jerman dan Jepang dilucuti kekuatan militernya dan menjadi tawanan politik internasional.
Meskipun sama-sama berkumpul di PBB, Amerika dan Uni Soviet tidak pernah rukun. Perang panas pada Perang Dunia II berakhir, tetapi kemudian muncul Perang Dingin antara dua blok kekuatan dunia, Amerika Serikat yang kapitalis-liberal vs Uni Soviet yang sosialis-komunis. Perang Dingin tidak kalah menegangkan dibanding perang panas karena kedua pihak terlibat dalam perlombaan senjata—termasuk nuklir—yang setiap saat bisa menghancurkan dunia.
Uni Soviet runtuh pada 1990 dan Amerika Serikat menjadi kekuatan superpower satu-satunya di dunia. Amerika pun menjadikan PBB sebagai instrumen untuk memaksakan nilai-nilai demokrasi liberal ke seluruh dunia.
Salah satunya adalah konsep mengenai HAM, hak asasi manusia, yang dipaksakan untuk diterima di seluruh dunia. Piagam PBB mengenai bentuk negara-bangsa juga merupakan bentuk dari penyeragaman yang dipaksakan oleh Amerika dan sekutunya ke seluruh dunia.
Penyeragaman itu mendapat tentangan keras dari banyak elemen. Perang Rusia-Ukraina adalah salah satu bukti bahwa penyeragaman demokrasi liberal yang dipaksakan oleh Amerika ditentang oleh Rusia. Perang sudah berlangsung lebih setahun tetapi belum ada solusi. Amerika dan sekutunya tidak berani terjun langsung ke dalam perang karena takut akan risiko penghancuran oleh senjata nuklir Rusia.
Samuel Huntington dengan tepat memprediksi munculnya ‘’Perang Peradaban’’ setelah runtuhnya komunisme. Konflik-konflik yang terjadi sekarang merupakan cermin dari perang peradaban antar beberapa peradaban besar. Empat peradaban besar yang diprediksi akan saling berkonflik adalah Kristen Barat, Islam, Konfusianisme, dan Kristen Ortodoks di Eropa Timur.
Keseragaman yang dipaksakan oleh Amerika mendapatkan tantangan yang sangat serius dalam bentuk pengelompokan peradaban yang saling bersaing. Universalime demokrasi-liberal, universalisme konsep HAM, dan universalisme bentuk negara bangsa adalah bentuk arogansi peradaban Barat yang dipaksakan ke seluruh dunia oleh Amerika. Upaya penyeragaman ini mendapat penentangan yang sangat keras.
Muktamar Fikih Peradaban yang digagas PBNU berusaha memberi legitimasi fiqhiyah terhadap universalisme peradaban sekuler-liberal Amerika yang dirumuskan dalam Piagam PBB itu.
PBNU sedang menggarap proyek besar, dan akan menghadapi gelombang penentangan besar, karena ada arus besar yang melawan gagasan universalisme itu.
Kelihatannya Gus Yahya siap menantang arus besar itu. Mungkin itu pula sebabnya Gus Yahya menginstruksikan Banser untuk menyanyikan lagu ‘’We Will Rock You’’. (*)
sumber: kempalan
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply