Blog Details Page

Post Images
Oleh: Syarifah Isnaini* Virus Corona atau Covid-19; salah satu topik paling mengemuka di kalangan masyarakat baik nasional maupun internasional sejak akhir tahun 2019 sampai hari ini ketika masyarakat dunia sudah memasuki akhir Ramadan. Di Indonesia, imbas virus satu ini bukan lagi sekadar isapan jempol. Dalam waktu yang relatif cepat, Corona membatasi kegiatan sosial masyarakat bumi pertiwi dan menempatkan mereka di rumah masing-masing. Peraturan seperti Work From Home (WFH) dan Study For Home (SFH) menjadi akrab bagi segenap kalangan yang ditugaskan menunaikan rutinitas seperti bekerja dan belajar dari rumah. Corona benar-benar merubah wajah Indonesia dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Peraturan yang cukup menarik perhatian masyarakat Indonesia menjelang awal Ramadan barangkali dengan diundangkannya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang larangan mudik pada 23 April lalu. Peraturan ini melengkapi perubahan budaya Ramadan yang biasanya identik dengan mudik menjelang akhir puasa demi bisa merayakan Idul Fitri bersama sanak keluarga di kampung halaman. Beragam reaksi terhadap peraturan mudik dilayangkan berbagai kalangan mulai dari yang paling ekstrim sampai yang paling pasrah. Apabila tindakan ekstrim bisa ditemui pada nekatnya beberapa pemudik menerobos pos penyekatan maka reaksi kepasrahan dipilih seorang manusia Madura yang menciptakan lagu Cerrengan Anak Rantau. Aa DJ menjadi vokalis bagi lagu sendu dengan judul Cerrengan Anak Rantau yang belakangan viral dan di-share oleh salah satu kerabat di grup WhatsApp keluarga. Saya tidak tahu pasti mengenai resmi tidaknya perilisan lagu yang mana bait-baitnya penuh ungkapan keresahan disebabkan pupusnya harapan mudik tersebut. Ketika saya mencoba memperoleh info tentang lagu ini di kanal Youtube, terdapat beberapa channel yang telah meng-upload dengan perolehan view tertinggi oleh akun Aziz Uchiza sebanyak 2,1 ribu (ketika artikel ini ditulis tanggal 17 Mei 2020). Mengambil latar suasana Suramadu pada malam hari, lagu yang dirilis di Youtube pada 13 Mei 2020 ini seolah menjadi ungkapan kesedihan sebagian besar manusia Madura yang terkendala larangan mudik. Hal ini dapat dilihat dari respon-respon bernada pilu pada beberapa kolom komentar Youtube yang mengunggah lagu Cerrengan Anak Rantau. Isu virus Corona disertai komponen larangan mudiknya juga menjadi bagian dari lirik lagu sebagai penegas misi terciptanya langgam tersebut. Secara heurestik, awal lirik lagu Cerrengan Anak Rantau menjadi ungkapan kejujuran akan fenomena pelarangan mudik yang cukup ketat dengan variasi penjagaan oleh petugas Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Penggunaan bahasa yang sopan demi meminta maaf kepada sanak kerabat di kampung halaman juga merefleksikan eratnya budaya sopan santun yang tetap digenggam para manusia Madura kendati berada di perantauan. Dek keluaga e madureh Buleh nyo’on saporah Jelenan cek kettaddeh Duh, deeemah se moleyah Budaya mudik manusia Madura memang bukan merupakan hal baru. Sedari dulu masyarakat terbiasa akrab dengan istilah toron sebagai perwujudan dari tradisi pulang kampung yang jika diartikan secara harfiah bermakna turun. Saya tidak paham persis apakah pemilihan istilah ini sekaligus bermakna turun dari tempat dengan kedudukan tinggi sebagai metafora dari daerah luar Madura dengan segala keadaban yang lebih tinggi pula. Hanya saja Triyuwono dalam Spiritualitas Etos Kerja dan Etika Bisnis Oreng Meddhurah menyatakan bahwa istilah toron menggambarkan karakter manusia Madura yang mengagungkan praktik haji. Selepas purna ibadah haji, perjalanan kembali dari tanah suci dianggap sedang toron menuju tempat yang lebih rendah. Tentu saja rendah dalam hal ini dapat dilihat dari beragam konstruk seperti budaya, sosial dan agama. Maka tidak heran jika Permenhub tentang larangan mudik mengguncang banyak pihak termasuk manusia Madura. Budaya toron yang termasuk di dalamnya berdasarkan motif hari raya atau tellasan tergeser paksa sebab kehadiran virus Corona. Upacara sakral yang diselenggarakan berabad-abad lamanya menjadi terpinggirkan demi sebuah virus yang bahkan berusia belia. Maka kehadiran lagu Cerrengan Anak Rantau mewakili salah satu sikap manusia Madura hari ini. Ia berbicara tentang bagaimana menerima tanpa harus bersikap anarkis. Dan pula, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Najwa Shihab pada sebuah kesempatan: ‘barangsiapa yang bernyanyi pada dasarnya sedang berdoa dua kali’. *Mahasiswi Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam rangka proses purna studi, saat ini penulis berdomisili di Yogyakarta.
Virus Corona Cerrengan Anak Rantau Langgam Manusia Madura Budaya Mudik
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Featured Blogs

Newsletter

Sign up and receive recent blog and article in your inbox every week.

Recent Blogs

Most Commented Blogs