matamaduranews.com-SUMENEP-Sumenep banyak melahirkan tokoh-tokoh penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, semenjak berupa “bayi†kedaulatan. Hanya sayang, nama-nama mereka banyak yang tidak dikupas dalam sejarah Madura.
Berikut ini Mata Madura mengulasnya dalam tulisan singkat-padat. Beberapa di antara para bunga bangsa, anak-anak Pertiwi Sumenep.
K. H. Abisyuja’
Bagi banyak orang Sumenep, nama Kiai Haji Abisyuja' lebih dikenal sebagai salah satu ulama pendiri pesantren di Kampung Banasokon, desa Kebunagung, kecamatan Kota Sumenep. Di kalangan Nahdliyin Sumenep, Kiai Abisyuja' juga dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU) di Sumenep.
Namun tidak banyak orang yang tahu bahwa beliau adalah salah satu tokoh pejuang yang memiliki peranan penting dalam perlawanan mengusir penjajah di Sumenep.
"Beliau adalah pimpinan barisan pejuang dari kalangan santri di Sumenep," kata Ainul Ashim, salah satu kerabat Kiai Abisyuja'
Kiai Haji Abisyuja' lahir di Sumenep tahun 1885 Masehi. Tidak ada catatan tertulis mengenai tanggal dan bulannya. Bahkan wafatnya pun hanya tecatat tahunnya, yakni 1948, tanpa ada keterangan lain.
Kiai Abisyuja' adalah putra Kiai Haji Jamaluddin Kebunagung. Ayahnya adalah putra Kiai Maghfur bin Kiai Muhammad Aqib atau Kiai Anju'. Kiai Anju' ini juga kakek dari Kiai Haji Ahmad Bakri Pandian, salah satu ulama ahli tauhid di Sumenep.
Kiai Anju' adalah keturunan kelima dari Kiai Abdul Allam, Prajjan, Sampang, dari putranya yang berjuluk Kiai Prajjan Lor Sampang. Kiai Abdul Allam tercatat sebagai keturunan keempat dari Sunan Giri.
Urutannya, Nyai Ageng Sawo putri Sunan Giri berputra Pangeran Waringin. Pangeran Waringin berputra Isteri dari Bagus Palatuk, ayah Kiai Abdul Allam.
Dalam sejarah hidupnya Kiai Abisyuja' tercatat nyantri ke Kiai Muhammad Khalil Bangkalan. Beliau juga tercatat nyantri di Pesantren Loteng Sarsore dan juga pada Raden Ario Abdul Ghani Atmowijoyo, Trate Bangselok.
Selepas dari menuntut ilmu, beliau mendirikan sebuah pesantren di atas bukit di kampung Banasokon. Lokasi tersebut selanjutnya berubah menjadi dwi fungsi, yakni sekaligus juga sebagai markas pejuang di Sumenep.
"Kiai Abisyuja' lalu memutuskan untuk berjuang secara total. Aktivitas di pesantren pun macet total, karena beliau selalu melakukan hubungan rahasia dengan para pejuang di Sumenep," kata Ashim.
Lokasi pesantren Kiai Abisyuja' sangat strategis sebagai markas perjuangan. Di situ juga dijadikan pusat latihan termasuk pembekalan para pejuang seperti latihan bela diri, kekebalan, dan lainnya.
Menurut Moh Faqih Mursyid, kerabat lainnya, posisi kiai atau ulama di waktu itu sebagai tempat meminta nasihat, petunjuk dan do'a. Sementara Kiai Abisyuja' disebut Faqih memilih langsung bergabung termasuk juga dalam kontak fisik dengan penjajah.
"Namun beliau memang sosok yang low profile. Sehingga memang banyak kalangan yang tidak mencatat sejarah perjuangan beliau sebagai salah satu pejuang di Sumenep," tambahnya.
Kini pesantren peninggalan Kiai Abisyuja' sudah tidak berjalan karena tidak ada yang meneruskan. Banyak keturunannya yang sudah tidak berdomisili di Banasokon.
Salah satu putrinya menikah dengan Kiai Haji Usymuni dan menetap di Tarate. Namun sisa-sisa bangunan pesantren dan kediamannya saat ini masih utuh, berdekatan dengan makam beliau di puncak bukit Banasokon.
Mayor R. A. Mangkuadiningrat
Nama Mayor Raden Ario Mangkuadiningrat di Sumenep sangatlah populer. Bagi kalangan masyarakat Madura, khususnya Sumenep, Ja Mangko—panggilan beliau, merupakan salah satu tokoh yang banyak berperan dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan RI yang waktu itu masih berupa “bayi†kemerdekaan.
Ya, meski sudah mengumandangkan teks proklamasi yang menunjukkan pada dunia bahwa ada Negara baru yang bardaulat bernama Indonesia, tidak lantas menjadikan negeri ini bisa menjalankan roda pemerintahan secara efektif.
Rongrongan bangsa Belanda yang tidak terima jika Indonesia berdaulat sendiri terus menerus datang dalam bentuk upaya penjajahan jilid selanjutnya.
Madura yang waktu itu sudah mulai menata kedaaan di dalamnya juga tidak bisa lepas dari kedatangan bangsa asing yang seakaan tidak puas menjajah selama tiga abad lebih. Barisan-barisan militer yang baru terbentuk, dan jaringan pejuang yang dikenal dengan barisan Sabilillah dan berbasis kalangan pesantren bahu membahu mengusir Belanda untuk kedua kalinya.
Nah, ketika clash kembali terjadi, yakni di tahun 1947, Mayor Mangkuadiningrat merupakan salah satu tokoh penting yang berada di balik perjuangan tersebut. Posisinya di militer kala itu dan latar belakangnya sebagai anggota kalangan bangsawan di Sumenep membuat pengaruhnya di kalangan pejuang kita sangat besar. Sehingga buah pikiran dan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya sangat dibutuhkan di saat-saat genting waktu itu.
Raden Bagus Ahmad Murtadla atau yang selanjutnya berubah menjadi Raden Ario Mangkuadiningrat lahir di Sumenep pada tahun 1904 Masehi. Ayahnya bernama Raden Ario Mangkuamijoyo (Amir), dan ibunya bernama Raden Ajeng Zamzamiyah.
Ja Mangko atau Pak Mangku (panggilan akrabnya di kalangan militer) merupakan anak pertama dari 7 bersaudara. Selepas menjalani pendidikan umum di masa kecilnya, Pak Mangku mengikuti pendidikan militer di Malang.
“Mengenai riwayat pendidikan bapak itu catatan tertulisnya sebenarnya dulu ada. bapak sendiri yang menulisnya, namun ada yang pinjam dari pihak angkatan perang RI yang ingin mendokumentasikan. Dan sampai sekarang tak kembali,†kata RP Mohammad Mangkuadiningrat, putra bungsu Pak Mangku.
Selepas pendidikan, Pak Mangku bergabung di kemiliteran hingga Indonesia lepas dari Belanda dan Jepang dengan adanya proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Pak Mangku selanjutnya ditempatkan di Resimen 35 Jokotole Madura yang waktu itu berkedudukan di Pamekasan.
“Jabatan Bapak waktu itu Kepala Staf Resimen dengan pangkat Mayor. Sedangkan komandan resimennya ialah pak Letnan Kolonel R Candra Hasan,†kata Mohammad.
Namun saat terjadi clash dengan Belanda tahun 1947, Candra Hasan bertolak ke Jogjakarta (ibukota Negara waktu itu) untuk meminta bantuan peralatan senjata dan amunisi. Sebagai Komandann sementara ditunjuklah Pak Mangku.
Tahun 1947 sejatinya adalah titik awal kiprah Pak Mangku dalam militer. Karena di saat itulah sepak terjangnya dalam perang terbuka atau kontak fisik langsung dengan penjajah dirasakannya.
Kala itu, pertama kali dimulai dari peristiwa Bangkalan, saat Belanda dengan membonceng Inggris mendarat di Madura. Dalam peristiwa itu, gugur sebagai syahid Letnan R Mohammad Ramli di Kamal.
Pak Mangku selaku pimpinan segera menarik pasukannya mundur menyusuri pesisir utara hingga berhasil kembali ke markas Resimen di Pamekasan. Belanda terus menyusul sehingga kontak fisik terjadi lagi di Pamekasan hingga dua kali. Peristiwa itu mengakibatkan gugurnya banyak personel resimen, salah satunya Kapten Tesna.
Akhirnya Pak Mangku memerintahkan anak buahnya mundur ke Timur. Dalam perjalanan mundur beliau berkali-kali hampir terbunuh. Hingga akhirnya persembunyiannya di desa Karduluk diketahui. Saat itu beliau hanya ditemani ajudannya, Salam.
Belanda kemudian meminta salah satu keluarga Pak Mangku untuk membujuknya menyerah, namun ditolaknya. Akhirnya kontak fisik terjadi di Karduluk. Pak Mangku berhasil lolos dan terus kea rah utara.
â€Bapak turun ke utara. Namun akhirnya tertangkap di kampung Leke dalam, desa Bilapora. Selanjutnya beliau ditawan di tangsi (saat ini kodim), selama beberapa bulan. Dan tepatnya bulan Maret 1948 beliau dibawa ke Pamekasan dan di sana dilepaskan dengan syarat tak boleh mengangkat senjata lagi,†cerita Mohammad Mangku.
Setelah itu terjadi perundingan di Pamekasan. Dari Pihak Belanda diwakili Mayor D Swemel dan di pihak Indonesia diwakili oleh Mayor Mangkuadiningrat. Hasilnya pihak Belanda bersedia keluar dari Madura, dengan ditandai dengan dinaikkannya Bendera Merah Putih di Karesidenan Madura.
Tahun 1950 merupakan tahun terakhir Pak Mangku di militer. Beliau mengundurkan diri dengan alasan Indonesia sudah aman dari perang. Beliau banyak menyibukkan diri dengan aktivitas niaga, dan juga mengurus organisasi perkumpulan family keturunan bangsawan di Sumenep.
Beliau wafat tanggal 25 januari 1980 dengan meninggalkan seorang isteri dan 9 putra putri. Jenazahnya di makamkan di pemakaman Asta Tinggi Sumenep.
RM Farhan
Write your comment
Cancel Reply