Hambali Rasidi
ADA yang nanya kabar politik Sumenep. Terutama terkait geopolitik.
Pertanyaan itu sering disampaikan. Tapi saya tak berani menjawab.
Maklum. Anda kan ngerti. Saya ini siapa? Bukan doktor politik. Juga tak berlatar sarajana politik.
Karena keseringan. Saya akan coba jawab berdasar cerita cerita netizen.
Lho kok netizen? Ya.. anda kan ngerti. Netizen itu sekarang orang yang selalu ngerti. Perkembangan informasi kalah sama netizen. Termasuk kondisi terkini politik lokal Sumenep.
Versi netizen: Kekuatan politik di Sumenep mengikuti arus zaman. Zaman lah yang mencipta kondisi politik.
"Setiap masa, ada orangnya. Setiap orang ada masanya, " begitu jargon netizen.
So. Saya baru ngerti.
Betul kata netizen.
Setiap masa ada orangnya. Dan sekarang masa digital. Orangnya adalah netizen.
Yang masuk ke alam digital yang harus ikut kehidupan netizen.
Begitu kira-kira tafsirnya.
Begitu juga dengan politik yang bermadzhab demokrasi liberalis. Suara terbanyak dia pemenangnya.
Nah. Bagi yang hendak masuk ke alam politik demokrasi liberal. Siap-siap berhadap-hadapan. Karena sudah jadi arena tarung bebas. Tak kenal saudara. Juga tak kenal guru murid.
Adagium bhapa' babhu' ghuru rato sudah tak lagi releven bila diterapkan dalam kehidupan politik praktis saat ini.
Pernyataan di atas saya kutip dari hasil wawancara dengan pengamat politik UGM kelahiran Sumenep, Gaffar Karim.
Beberapa waktu lalu. Sengaja saya wawancara via WhatsApp. Bertanya kondisi politik Madura. Termasuk masa depan dan nilai-nilai Madura bila dihadapkan dengan sistem politik saat ini.
Kata Gaffar, nilai-nilai bhapa' bhabu' guru rato terlalu profan. Private. Tak bisa dipaksa hadir dalam kehidupan yang kapitalis liberalis.
"Biarkan nilai-nilai itu cukup diterapkan sebagai practical values di semua aspek kehidupan. Dan menjadi guiding principle sebagai orientasi dasar masyarakat Madura," tulisnya via WhatsApp.
Gaffar menyebut, istilah bhapa’, bhabu’, guru, rato itu sangat komunitarian. Sementara, Pemilu dan Pilkada cenderung libertian. Prinsip one person, one vote, one values dalam pemilu sangat liberal. Ditambah, kehidupan masyarakat Madura yang terus bergerak dan berubah.
Masyarakat Madura emang sudah banyak bertransformasi. Itu seiring perkembangan situasi dan kondisi.
Kehidupan sehari-hari orang Madura selalu bergerak dan berubah. Nilai-nilai dasar kehidupannya sudah tak melulu berkiblat ke guru (kiai).
Saya teringat revolusi Iran, 43 tahun lalu. Ruhollah Khomeini, seorang ulama dan politisi Iran berhasil mendirikan Republik Islam Iran.
Tapi Revolusi Iran itu tak berlangsung sekejap. Sejak 1960. Gerakan revolusi sudah didengungkan oleh para kaum intelektual Iran.
Ali Shari’ati, Murtadha Muthahari dan Bani Sadr, salah satu intelektual Iran yang selalu mengkampanyekan Revolusi Iran.
Wacana revolusi mendapat angin segar setelah Ayatollah Khomeini ikut bersuars melalui khotbah-khotbahnya.
Kampanye Khomeini mendapat hati di warga Iran. Para ulama (kiai) se antero Iran bersatu. Bergerak. Hingga revolusi Iran meletus, 1 Februari 1979.
Embrio revolusi mendapat sambutan dari kekuatan kultur. Para mullah. Para kiai (ulama) Iran bersatu.
Tapi di Sumenep. Kekuatan politik NU terlihat bersebelahan. Para kiai tak bersatu. Kiai satu bergerak ke arah barat. Kiai satu bergerak ke arah timur.
Situasi ini yang mengantarkan figur Achmad Fauzi sebagai kader banteng berkuasa di kandang NU.
Di Pilkada 2020 itu awal kekuasaan PDIP di Sumenep. Fenomenanya masih belum beranjak. Saya lihat sampai sekarang.
Jika melihat peta politik hingga saat ini. Sepertinya Bupati Fauzi akan absolut. Kekuatan politiknya akan tunggal pada Pilkada 2024.
Atau para lawan tiarap atau masih ngintip. Atau menyerah pada kekuatan Fauzi.
Tapi, dengar bisik-bisik. Lawan tanding Fauzi di Pilkada Sumenep 2024 tetap PKB.
"Lawan Fauzi Hanya PKB," begitu bisikan hasil bocoran orang-orang PKB.
Bisikan itu saya sangkal. Saya ajukan dalil: Bagaimana bisa PKB menyaingi Bupati Fauzi jika hingga saat ini PKB tak melakukan konsolidasi. Membiarkan potensi-potensi itu berserakan.
"Potensi caleg dibiarkan. Kekuatan-kekuatan kultur dan pemilik suara eceran juga dibiarkan," ucap saya ke yang bisikin itu dalam suatu obrolan ringan.
Si teman lain dalam obrolan santai di salah satu cafe, malah menimpali begini:
"PDIP akan melakukan naturalisasi di Pileg 2024. Orang-orang berpotensi di NU dan PKB akan diajak ke gerbong PDIP, "
Adi Sajeged menengahi.
Adi emang punya saluran informasi langsung ke orang-orang DPP PKB. Dia bilang begini:
"Nunggu hasil Pilpres. Kalau Cak Imin Wapres. PKB Sumenep akan bertarung melawan Fauzi," ucap Adi.
Entah serius dapat bocoran dari DPP. Atau hanya ilusi pribadi.
Meski benar adanya. Yang jelas. Hasil Plpres dilantik akhir Oktober 2024. Sedangkan Pilkada Serentak digelar November 2024.
Wah seperti mimpi di siang bolong. Kecuali mulai sekarang, ada jeda waktu dua tahunan melakukan konsolidasi melawan Fauzi.
"Boro-boro konsolidasi," timpal si Eko.
Lalu?
Silahkan anda diskusikan.
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply