matamaduranews.com-Perilaku korup Profesor Karomani beserta “geng-nyaâ€, bukan hanya melukai hati dan jiwa para tokoh Lampung yang menggagas pendirian Universitas Lampung (Unila), tetapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi yang bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi azas kejujuran, keteladanan dan moralitas.
Para tokoh pendiri Unila seperti Datuk Zainal Abidin Pagaralam (penggagas, Ketua Pendiri dan yang membelikan tanah lokasi kampus Unila), atau Rozali Daud, yang menggambar logo Unila (dikutip dari akun facebook Rilda A Oe Taneko), serta para tokoh penting Lampung lainnya yang turut berjasa mendirikan Unila, mungkin sedang murung bahkan menangis melihat “badai†korupsi menjijikkan yang sedang menimpa Unila.
Tindakan Karomani yang diduga mematok angka kisaran 100 juta sampai 350 juta setiap orang tua peserta seleksi mahasiswa jalur mandiri Unila, benar-benar telah menciderai akal sehat. Bukan hanya karena posisinya sebagai rektor; pemimpin! Tetapi juga karena tanggungjawabnya sebagai guru besar yang seharusnya menjadi panutan dan pembimbing dalam institusi pendidikan, tempat manusia menempa diri dan menimba ilmu.
Ironis sekaligus tragis jika melihat sepak terjang Prof Karomani selama ini yang banyak terlibat dalam program pembentukan karakter bangsa dan membangun karakter manusia Pancasila. Bahkan, ketika di cokok KPK di Bandung, Karomani sedang mengikuti acara lokakarya peningkatan karakter dan integritas!
Kasus Karomani ini mungkin (bukan) yang pertama, bisa jadi praktik curang dalam penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sudah ada dan terjadi sebelumnya. Namun sukar di endus dan tidak muncul kepermukaan. Seperti gunung es, karena “rapinya†jaringan pelaku kecurangan seperti ini.
Berkaca dari kasus Karomani ini, Kemendikbud Ristek Dikti harus bertindak cepat, segera melakukan evaluasi kebijakan dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN, khususnya seleksi jalur mandiri yang sangat rentan dengan praktik kecurangan dan tipu-tipu, karena tidak terukur dan tidak transparan.
Seperti diketahui, Seleksi Mandiri (SM) merupakan salah satu jalur (jalur ketiga/terakhir) masuk ke PTN. Setelah yang pertama, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan kedua Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Jalur seleksi mandiri masuk PTN ini sesungguhnya “reinkarnasi†dari jalur seleksi ekstensi (tambahan) masuk PTN di era tahun 90-an hingga 2000-an. Namun saat pelaksanaan kuliah mahasiswa jalur ekstensi ini dulu ada pembedaan dengan mahasiswa yang masuk dari jalur PMDK atau jalur UMPTN. Namun jalur seleksi mandiri yang diterapkan sekarang tidak ada pembedaan dengan mahasiswa yang masuk PTN melalui jalur SNMPTN atau SBMPTN.
Jalur seleksi mandiri masuk PTN ini sampai hari ini masih diprotes keras oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI). APTISI menilai jalur seleksi mandiri adalah swastanisasi PTN yang mengarah pada komersialisme dan secara perlahan akan “membunuh†eksistensi PTS.
PTN, yang jor-joran menerima mahasiswa baru dari jalur seleksi yang “tidak seharusnya†dilakukan, karena keuangannya sudah ditanggung negara melalui APBN. Oleh karena itu, PTN tidak seharusnya mati-matian menerima mahasiswa baru sebanyak-banyaknya dengan menggunakan berbagai jalur seleksi masuk.
Seharusnya, PTN lebih fokus mengejar status sebagai perguruan tinggi kelas dunia. Bahkan, Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan akan membatasi kuota mahasiswa baru di PTN. Harapannya, PTN tidak berorientasi mengejar kuantitas mahasiswa, tetapi fokus pada peningkatan kualitas pembelajarannya. Sayangnya, sampai sekarang keinginan itu belum terlaksana.
Sebelum semuanya semakin kusut dan meluas, lalu memunculkan Karomani-Karomani lainnya, maka Kemendikbud Ristek Dikti harus bertindak cepat. Melakukan evaluasi menyeluruh terkait dengan model dan proses seleksi mahasiswa baru di PTN, khususnya mengevaluasi seleksi jalur mandiri. Bahkan bila perlu menghapuskannya!
Termasuk mengevaluasi mekanisme dan proses pemilihan rektor di PTN yang diduga juga syarat dengan praktik-praktik transaksional yang curang. Sehingga ketika terpilih menjadi rektor, menjadi rakus bahkan tamak dengan menggunakan kewenangan kekuasaannya sebagai rektor.
Cukuplah Karomani menjadi contoh kasus, jangan sampai ada lagi yang lain. Karomani (dalam kasus ini) seolah telah berubah menjadi “Karomoney†(karo dalam bahasa Jawa artinya: dengan, sedangkan money dalam bahasa Inggris artinya: uang, yang ketika diucapkan berbunyi: mani). Karomani telah melakukan aksi praktik tipu-tipu, kongkalingkong masuk Unila dengan uang! (*)
*Dosen FISIP Universitas Baturaja, Sumatera Selatan
Sumber: kempalan
Write your comment
Cancel Reply