matamaduranews.com-Sontak candaan Megawati soal tukang bakso viral di media sosial. Saat pembukaan Rakernas PDIP, Megawati sempat melempar guyon kepada anaknya, Puan Maharani jika mencari pasangan.
"Awas lho kalau nyarinya yang kayak tukang bakso'. Ha-ha-ha..., Mbak Puan ketawa, ha-ha-ha," ujar Megawati, Selasa lalu.
Warganet di twitter kemudian menganggap pernyataan Megawati merendahkan tukang bakso.
Politikus PDIP Junimart Girsang menjelaskan konteks pernyataan Megawati sebatas candaan internal.
"Jadi masalah tukang bakso itu, saya kira itu tidak terlalu perlu dipermasalahkan. Itu kan internal sifatnya, pembicaraan Ibu dengan anak-anaknya," kata dia.
Kendati demikian. Tukang bakso menjadi trending topic di media sosial. Netizen disahut beramai-ramai. Viral dan trending topic berhari-hari dinilai pernyataan Megawati dan PDIPÂ tidak sensitif dan kurang peka terhadap realitas sosial.
Wartawan senior, Dhimam Abror Djuraid menulis dalam bentuk catatan seperti diposting di kempalan:
Partai Bakso
Tukang bakso identik dengan wong cilik, dan bakso juga identik sebagai makanan wong cilik. Bakso murah harganya dan cukup bergizi. Tidak terhitung berapa banyak tukang bakso di sekitar kita. Tidak ada asosiasi tukang bakso yang tercatat resmi yang bisa memberi data jumlah tukang bakso. Tapi, dengan melakukan observasi di jalan selama satu jam kita bisa tahu betapa banyaknya tukang bakso di sekitar kita. Bakso jelas menjadi salah satu sektor informal yang menyelamatkan ekonomi rakyat.
Ketika pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja, maka sektor informal akan berfungsi sebagai katup penyelamat atau safety valve ekonomi. Angka-angka statistik hanya bisa mencatat pekerja-pekerja resmi yang bekerja di sektor formal. Mereka yang bekerja di sektor informal seperti tukang bakso biasanya luput dari amatan statistik.
Jarang-jarang tukang bakso menjadi perbincangan nasional. Tapi kali ini tukang bakso naik kelas karena jadi perbincangan di arena rapat kerja nasional (rakernas) PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), partai besar yang menjadi pemenang pemilu dan menjadi partai penguasa atau the ruling party.
Adalah Megawati Sukarnoputri yang menyebut tukang bakso dalam sambutannya ketika membuka rakernas (22/6). Berbicara di luar teks Megawati bercerita mengenai kepemimpinan nasional. Lalu ia menceritakan pengalaman pribadinya ketika mencari menantu untuk anak dan cucunya. Saat itulah Mega bercanda dengan menyebut bahwa ia mengingatkan anak cucunya jangan sampai mencari jodoh seperti tukang bakso.
Sebelum video itu beredar, terlebih dahulu beredar video yang menunjukkan menunjukkan Mega murka karena ada kader-kader PDIP yang disebutnya bermanuver untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas supaya bisa menjadi calon presiden. Dengan nada tinggi Mega mengingatkan supaya manuver-manuver itu dihentikan. Mega mengingatkan bahwa hak preogratif untuk menentukan calon presiden maupun calon wakil presiden PDIP ada di tangannya.
Dengan geram Mega mengultimatum kader-kadernya supaya berhenti bermanuver atau menghadapi risiko dipecat dari partai. Tidak ada nama yang disebut oleh Mega, tetapi semua mafhum ultimatumnya ditujukan kepada Ganjar dan Jokowi yang hadir mengikuti acara itu.
Di sela pidato yang penuh api itu Mega melunak, sempat mematikan mike, lalu berbicara lagi. Potongan ucapan Mega mengenai tukang bakso itu mendapat perhatian serius dari banyak netizen. Maunya bercanda, tapi sekalangan netizen menyebut Mega rasis dan diskriminatif terhadap orang miskin.
Salah satu netizen menyindir dengan mengatakan bahwa PDIP selalu mengklaim sebagai partai wong cilik tetapi ternyata rasis terhadap rakyat kecil. Lainnya menyebut lebih baik jadi tukang oskab—bakso dibaca terbalik, gaya Malang—ketimbang jadi menteri tapi mengembat dana bansos.
Seharian tukang bakso menjadi trending topic di media sosial. Tim monitoring media PDIP rupanya mengetahui gelagat buruk ini dan melapor kepada Mega. Setelah upacara penutupan rekernas (23/6) ritual public relation dilakukan dengan beramai-ramai makan bakso dari gerobak bakso yang diundang ke kantor PDIP di Lenteng Agung. Tidak disinggung sama sekali soal pernyataan Mega soal tukang bakso. Awak media lebih suka bertanya mengenai siapa calon presiden yang diusung PDIP ketimbang mempertanyakan bakso kepada Megawati.
Ini bukan insiden pertama netizen ramai-ramai merundung Mega. Ketika krisis minyak goreng tengah memuncak Maret lalu Mega mempertanyakan emak-emak yang bersusah-payah antre minyak goreng sampai berdesak-desakan. Mega mengatakan prihatin terhadap emak-emak yang disebutnya ‘’njelimet’’. Mega mengaku heran mengapa emak-emak memburu minyak goreng, padahal seharusnya makanan bisa diolah dengan mengukus dan tidak selalu memakai minyak goreng.
Sontak komentar Mega ini disahut beramai-ramai oleh netizen. Viral dan trending topic berhari-hari menjadikan Megawati dan PDIP bertahan total dari serangan netizen. Pundit politik menganggap pernyataan Mega tidak sensitif dan kurang peka terhadap realitas sosial. Ketika rakyat menjerit karena kelangkaan minyak goreng akibat kesalahan kebijakan pemerintah, Mega malah menyalahkan rakyat yang sudah susah.
PDIP kelabakan dan cepat melakukan ritual public relation dengan mengadakan tutorial memasak makanan berbagai resep tanpa menggunakan minyak goreng. Chef-chef terkenal diundang dan para elite politik dikumpulkan dan bersama-sama pamer cara masak tanpa menggunakan minyak goreng. Acara selesai, dan urusan dianggap selesai juga.
Penyelesaian yang dilakukan lebih banyak pencitraan ketimbang menyelesaikan persoalan yang substansial. Pernyataan Puan Maharani di Bali yang mengusulkan masyarakat berpuasa untuk mengurangi konsumsi minyak juga dianggap kurang peka dan cenderung makin membebani masyarakat yang sudah susah.
Hal ini dianggap seperti melakukan ‘’victimizing the victim’’ mengorbankan korban yang sudah menjadi korban. Rakyat sudah menderita akibat kesalahan kebijakan pemerintah, tapi solusinya masih dibebankan lagi kepada rakyat dengan cara mengurangi konsumsi migor dengan berpuasa maupun memasak tanpa migor.
Komitmen PDIP sebagai the ruling party terhadap wong cilik banyak dipertanyakan. Kebijakan pemerintah Jokowi–yang dalam beberapa hal dianggap tidak pro terhadap wong cilik–membawa dampak ‘’damaging’’ terhadap citra PDIP sebagai partai wong cilik. Undang-Undang Cipta Kerja, yang cenderung dipaksakan, menjadi salah satu simbol pembelaan terhadap pemodal ketimbang kepada buruh sebagai representasi wong cilik.
Otoritas dan legitimasi Megawati di PDIP sangat kuat dan nyaris mutlak. Hal itu terlihat dalam pelaksanaan rakernas selama dua hari. Mega benar-benar ingin menunjukkan bahwa dia berada dalam ‘’full control’’ terhadap PDIP. Mega menunjukkan kepada publik ‘’who’s the boss’’, dialah bos dan sang supremo yang sesungguhnya.
Mega memanggil Jokowi ke ruangannya sebelum pembukaan rakernas. Video yang beredar menunjukkan Puan Maharani mengevlog dan menunjukkan Jokowi duduk di kursi menghadap Megawati yang duduk di kursi kulit menghadapi sebuah Mega besar. Jokowi kelihatan seperti seseorang yang sedang menghadap atasan, atau seseorang yang sedang mengurus surat ke kelurahan.
Show of force oleh Mega juga dipamerkan pada penutupan rapat dengan menunjuk Ganjar Pranowo sebagai prmbaca hasil rekomendasi rakernas. Salah satu poin utama adalah bahwa keputusan calon presiden dan wakil presiden dari PDIP adalah hak preogratif mutlak sang ketua umum. Ganjar diperlakukan seperti anak SD yang suka membolos dan disetrap maju ke depan kelas.
Banyak kritikus yang menyayangkan ‘’show of force’’ terhadap Jokowi. Megawati dianggap kurang respek terhadap Jokowi sebagai presiden. Cara Mega memperlakukan Jokowi sebagai petugas partai mendegradasikan wibawa Jokowi sebagai orang nomor satu di Republik.
Cara Puan Maharani membuat vlog dengan memunggungi Jokowi dianggap kurang memberi respek kepada presiden. Bocornya video itu ke publik dan menjadi viral dianggap sebagai kesengajaan untuk pamer kekuatan kepada publik. Seorang aktivis medsos yang pro-Jokowi bahkan menyebut Puan tidak layak menjadi calon presiden atau wakil presiden.
Megawati memang anak bilogis Bung Karno. Tetapi banyak kritikus yang menyebut Megawati bukan anak ideologis dari bapaknya. Komitmen terhadap wong cilik yang menjadi tonggak perjuangan Bung Karno sudah semakin luntur pada PDIP. Bung Karno merumuskan komitmennya terhadap wong cilik melalui ‘’Marhaenisme’’ yang menjadi ciri khas sosialisme Indonesia yang berbeda dari sosialisme di negara-negar lain.
Sudah sangat lama Megawati tidak terdengar berbicara mengenai Marhaenisme. Momen makan bakso kemarin harusnya dipakai untuk merefresh pemahaman mengenai Marhaenisme, supaya Mbak Mega tidak lupa. (*)
sumber: kempalan.com
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply