Berawal dari kelahiran ‘’Ipod’’ dan demam ‘’broadcast on demand’’ pada awal tahun 2000, jadilah podcast yang popular dewasa ini. Mau tahu ceritanya? Baca ya.
Sebelum dikenal dengan istilah ‘’podcast’’ masyarakat sudah akrab dengan industri penyiaran radio. Konten audio yang disiarkan melalui pemancar AM/FM itulah yang menginspirasi masyarakat untuk menciptakan ‘’content on demand’’ berformat audio setelah Apple merilis produk baru: ‘’Ipod’’ pada awal tahun 2000.
Ipod adalah produk tersukses pada zamannya. Alat pemutar audio (musik) berukuran kecil itu segera mengubur ketenaran produk buatan Sony: Walkman. Melalui Walkman, Sony berhasil menenggelamkan alat pemutar musik yang sangat terkenal sebelumnya: Mini compo.
Anda yang sudah remaja pada era 80-an hingga 90-an pasti ingat film ‘’Breakdance’’. Film layar lebar itu berkisah tentang ‘wabah’ gaya hidup baru anak-anak muda Amerika yang mendadak gemar pamer kelihaian menari di public area diiringi musik disko menggunakan mini compo. Seiring dengan popularnya film itu, virus breakdance pun menjangkiti remaja di Tanah Air.
Saat duduk kelas 3 SMA (1986), saya sering nongkrong di alun-alun kota menunggu ‘’jam pertunjukan’’ breakdance yang dibawakan remaja seusia saya. Umumnya, remaja dari keluarga kaya.
Padahal, saya tinggal di kota kecil: Purwodadi. Ibukota Kabupaten Grobogan. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana virus breakdance di kota-kota yang lebih besar: Semarang, Bandung, Surabaya dan Jakarta.
Lima tahun kemudian (1991), saya menjadi wartawan ‘’Jawa Pos’’ di Surabaya. Saat itu virus breakdance kian menjadi-jadi.
Di IGD RSUD Dr Soetomo, pos liputan saya, hampir setiap akhir pekan ada pasien yang patah tulang lehernya gara-gara breakdance, baik breakdance jalanan maupun kompetisi resmi. Breakdance akhirnya menjadi isu besar di Jawa Timur. Seminar-seminar yang membahas bahaya breakdance marak. Ujungnya, breakdance dilarang polisi.
Begitu breakdance dilarang, mini compo pun ikut menghilang. Gaya remaja di Surabaya berubah dari menenteng mini compo menjadi memakai headset dengan tas pinggang berisi Walkman dan beberapa buah kaset rekaman menggunakan pita.
Walkman akhirnya lenyap setelah Apple memperkenalkan produk baru: IPod yang jauh lebih menyenangkan dibanding Walkman. Ukurannya lebih kecil. Hanya sebesar bungkus rokok. Sebagai gadget digital, Ipod bisa menyimpan dan memutar ribuan file lagu.
Yang paling fenomenal, pengguna Ipod tidak perlu membawa kaset lagi. Bayangkan, dulu untuk memutar 1.000 lagu, pemilik Walkman harus membawa kurang lebih 80 kaset. Perlu satu tas besar tersendiri untuk membawa kaset-kaset itu.
Dengan bantuan laptop, pemilik Ipod bisa menyimpan file audio dengan konten apa saja ke dalam playist. Dari rekaman musik sampai rekaman murottal. Dari drama serial radio hingga doa-doa umrah dan haji.
Dengan berbagai keunggulannya, Ipod akhirnya mewabah. Ipod tidak hanya digunakan para pelaku industri musik dan perangkat elektronik. Biro travel umroh dan haji pun ikut-ikutan menjual Ipod dengan konten murottal dan doa-doa selama beribadah di Tanah Suci.
Sampai sekarang, produk Ipod doa-doa itu masih dijual. Meski jamaah sudah bisa mengunduh gratis dari berbagai situs.
Aplikasi video live streaming mulai dikenal luas di Amerika sekitar tahun 2006. Di Indonesia video live streaming mulai digunakan setahun kemudian. Saya masih bekerja di JAK TV ketika menggunakan aplikasi video live streaming itu, untuk menyiarkan Margo Friday Jazz, pentas musik jazz yang dihelat setiap Jumat malam di halaman Margo City Mall, Depok.
Saat itu, Youtube belum lahir. Siaran langsung hanya bisa dilakukan dengan platform Ustream yang hanya bisa dibuka menggunakan PC atau laptop. Nokia Communicator menjadi satu-satunya smartphone yang bisa digunakan menonton.
Siaran langsung butuh bandwidth internet. Esia AHA Rev B merupakan satu-satunya modem yang bisa digunakan. Itu pun hanya bertahan 30 menit. Siaran akan mati secara otomatis karena modemnya meleleh kepanasan. Untuk menyiarkan Margo Friday Jazz selama dua jam, tim produksi biasanya membeli 4 modem Esia.
Kehadiran teknologi live streaming segera memicu wabah baru: Broadcast on demand. Semua orang mendadak ingin mengelola kanal siaran sendiri. Dari sinilah cikal bakal munculnya Youtubers dan Tiktokers sekarang ini.
Keberadaan Youtubers dan Tiktoker membuat masyarakat memiliki banyak pilihan konten. Dulu, konten multimedia hanya bisa disajikan pelaku industri media radio dan televisi. Sekarang keduanya mendapat pesaing baru: Para pembuat konten (content creator) sekaligus personal broadcaster.
Banyaknya pilihan konten membuat masyarakat leluasa memilih tontonan sesuai kesukaannya. Fenomena ini yang dikenal dengan istilah era content on demand.
Setelah content on demand berformat video begitu popular, mulailah masyarakat mencari konten berformat audio. Awalnya, mereka mencari konten audio karena buruknya kualitas sebaran bandwidth. Jaringan internet tidak cukup untuk memutar video. Tetapi cukup memadai untuk audio.
Podcast pun menjadi trend baru. Dalam sejumlah riset, konten audio ternyata menempati posisi nomor dua yang paling disukai netizen setelah konten video. Tidak mengherankan kalau Youtube sekarang mati-matian mempromosikan Youtube Music setelah melihat Spotify begitu merajalela.
Berbeda dengan konten video yang sudah memiliki platform siaran langsung seperti Facebook, Instagram, Tiktok dan Youtube, konten audio belum memiliki platform popular. Kecuali, broadcaster mau membangun web sendiri.
Jalan pintas yang cerdas pun diambil para podcaster: Podcast disiarkan langsung di platform video dengan tambahan kamera untuk produksi video. Jadilah podcast saat ini menggabungkan dua format konten: Audio sekaligus video.
Secara teknik, tidak ada perbedaan lagi antara produksi konten video talkshow dengan konten podcast, khususnya di Indonesia saat ini. Satu-satunya pembedanya adalah setting studionya. Hanya pemakaian microphone dengan tabletop atau stick arm plus dan headset yang masih dipertahankan: Agar tetap bisa disebut podcast!(jto)
Joko Intarto
Founder www.jagatersstudio.com
Write your comment
Cancel Reply