matamaduranews.com-BEBERAPA hari terakhir. Publik disuguhi berita dugaan penganiayaan terhadap dua wartawan oleh Kades dan eks Kades Batuampar, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep.
Dua wartawan media online di Sumenep, M dan S hendak dibakar hidup-hidup. Pakaiannya dilucuti. Tubuhnya disiram bensin.
Sebelum itu, M dan S ditampar. Dipikul berkali-kali menggunakan pisau besar yang baru dikeluarkan dari sarungnya. Akibat pukulan itu, bibir bagian bawah luka. Bagian hidungnya memar. Bagian kedua matanya juga bengkak.
Tindakan kekerasan yang menimpa kedua wartawan itu dalam kerja-kerja jurnalistik tentu menyayat para jurnalis. M dan S sedang melakukan investigasi pekerjaan rabat beton dan pengerasan jalan di Desa Batuampar.
Pengakuan M dan S, setelah mendapat informasi ada dua poyek yang berasal dari dua dana. Dana Hibah dan Dana Desa (DD). Tapi tidak ada prasastinya. M dan S memverifikasi ke lapangan.
Usai konfirmasi proyek itu, M dan S menuai kekerasan oleh Kades Batuampar M dan eks Kades Batuampar, R.
Sesama jurnalis di Sumenep terpanggil. Mereka ramai-ramai menuntut Kapolres Sumenep AKBP Edo Satya Kentriko agar menangkap pelaku kekerasan terhadap wartawan. Jumat kemarin, penangkapan dua pelaku kekerasan wartawan itu tersiar.
Kerja jurnalistik dilindungi UU PERS Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Kendati kerja-kerja jurnalistik dilindungi undang-undang. Kekerasan terhadap wartawan kerap terjadi. Saya teringat cerita teman wartawan yang pernah diancam oleh seorang Kades aktif.
Salah satu wartawan online di Sumenep suatu waktu hendak meluruskan pekerjaan atau program yang diterima warga. Si wartawan bukan untuk konfirmasi. Hanya ingin menyampaikan temuan di lapangan kepada orang yang bertanggungjawab atas pekerjaan itu.
Si penanggungjawab, sebut saja nama inisial S-merupakan teman akrab si wartawan. Kebetulan S menjadi orang kepercayaan Kades. Maksud pertemuan itu agar mengevaluasi program yang dijalankan. Agar namanya tak dikorbankan.
Pertemuan sahabat itu juga diharap menjadi temu kangen. Makanya minta pertemuan di rumah tinggalnya. Tapi tempat pertemuan diubah. Orang kepercayaan Kades itu minta pertemuan di rumah Kades.
Tiba rumah Kades. Terlihat Sekdes lengkap berbaju dinasnya. Rupanya di rumah kades itu menjadi Balai Desa.
Kades itu perempuan. Suami si kades terlihat mencurigakan. Padahal si wartawan itu akrab dengan kades dan suaminya.
Perbincangan santai berjalan dengan orang kepercayaan Kades. Suara pelan mempersoalkan proyek yang dikerjakan asal-asalan. Bahkan disebut anggaran yang sampai ke penerima skitar 50%.
"Saya kasihan kamu. Di bawah nyebut kamu yang menggerakkan anggaran itu," cerita si teman wartawan.
Orang kepercayaan Kades itu menjawab: "Bagaimana lagi. Anggaran yang mau dikerjakan tersisa 70 persen. Belum ini dan itu," jawab S.
Dalam perbincangan santai itu, tiba-tiba terdengar suara menggelegar. Ayah si Kades dengan suara meninggi, bertanya: "Berapa biaya untuk menjadi wartawan. Biaya untuk menjadi Kades mahal. Jangan macam-macam. Walau Kades Perempuan. Masih punya ayah yang masih hidup," ucap si wartawan meniru ayah si Kades yang juga menjabat Kades.
Sikap ayah si Kades bisa jadi masih beranggapan wartawan bisa 'dibeli'. Hukum juga bisa dimusyawarahkan. Dan tanpa secara langsung menyatakan sebagai Raja Lokal-yang tak boleh ada protes sana sini-dari siapa pun.
Lain lagi cerita teman anggota DPRD Sumenep. Dia kini menjadi salah satu anggota Pansus LKPJ Bupati. Dia mengirim pesan via WA. Berikut bunyinya:
Bro...ada anggaran menguap skitar 60% itu indikasinya ada pihak yang dominan menggerakkan. Coba telusuri untuk jadi bahan di pansus nanti.
"Verifikasi lapangan gampang banget," sebutnya.
Saya nawarkan kalau data lengkap kenapa tak dibawa ke APH. Si dewan itu menjawab: Niru Mahfud MD soal transaksi mencurigkan. Makanya, Mahfud MD yang katanya dari Laporan BIN dilempar ke medsos.
Uang menguap sekitar Rp 11 miliar mengalir kemana-mana. Salah satunya mengalir melalui salah satu staf fraksi DPRD, kata si dewan.
Sampai di sini. Saya tarik nafas pelan-pelan. Memikirkan uang Rp 11 miliar menguap dan mengalir ke mana-mana. Kalau mau diungkap bukan sekedar berisiko. Seperti akan ada guncangan tsunami politik.
Nyaris seperti isu transaksi mencurigkan sebesar Rp 349 triliun yang diungkap Mahfud MD. Jika benar diungkap sebenar-benarnya. (*)
Write your comment
Cancel Reply