matamaduranews.com-Sindiran Prananda Soekarno seperti menyengat. Lewat lagu berjudul ‘’Pengkhianat’’. Putra Megawati itu menyebut ‘’pengkhianat berwajah santun’’. Karuan saja bikin netizen kepo. Siapa sosok 'berwajah santun' yang dimaksud.
Berikut tulisan Dhimam Abror Djuraid yang dikutip dari situs kempalan.com:
Prananda, Matinya sang Pengarang
Beberapa hari belakangan netizen heboh oleh beredarnya lagu berjudul ‘’Pengkhianat’’, yang dibawakan oleh grup rock Rodinda. Salah satu potongan syair lagu itu menyebut ‘’pengkhianat berwajah santun’’, yang membuat netizen kepo siapa yang dimaksud. Lebih heboh lagi karena pencipta lagu itu ialah Prananda Prabowo putra tunggal Megawati Soekarnoputri.
Muhammad Prananda Prabowo lahir pada 23 April 1970. Ia putra Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri dari suami Lettu Surindro Supjarso, pilot pesawat tempur AURI yang gugur dalam tugas di tahun 1971. Prananda ialah saudara tiri dengan Puan Maharani yang merupakan putri tunggal Megawati dari pernikahannya dengan almarhum Taufik Kiemas.
Berbeda dengan Puan, Prananda—akrab dipanggil Nanan—tidak banyak muncul di depan publik. Beda dengan Puan Maharani yang sejak awal dimunculkan sebagai putri mahkota, Nanan lebih banyak berada di balik layar. Selama ini ia jarang muncul di publik. Baru setahun terakhir ini wajahnya muncul saat menemani ibunya dalam beberapa acara, seperti peresemian patung Bung Karno.
Ternyata di balik sosoknya yang terkesan introvert, Prananda selama dikenal sebagai ideolog. Ia juga dikenal sebagai peminat teknologi komunikasi dan informasi sert punya passion terhadap musik. Prananda pertama kali muncul di publik saat Megawati mengajaknya dalam konferensi pers bersama sang adik, Puan Maharani, menjelang pembukaan Kongres III PDI-P 2010 di Bali.
Prananda semakin dikenal saat Mega mengumumkan namanya masuk dalam struktur kepengurusan PDI-P periode 2015-2020. Ia diberi mandat sebagai Ketua DPP PDI-P Bidang Ekonomi Kreatif. Sebelumnya, Prananda juga pernah menjadi Kepala Ruang Penghendali dan Analisa Situasi di PDI-P.
Tidak banyak yang tahu juga bahwa ternyata Prananda punya bakat sebagai musisi dan pencipta lagu. Ia membina sebuah grup band beraliran death-metal bernama Rodinda. Nama ini merupakan akronim dari ‘’romantika, dialektika, dan dinamika’’. Nama ini mengingatkan kita pada akronin ‘’Madilog’’ materialisme, dialektika, dan logika, yang diperkenalkan oleh Tan Malaka.
Belum diketahui apakah Prananda pengagum Tan Malaka. Yang jelas Prananda mengaku sebagai pecinta ideologi dan pemikiran sang kakek, Bung Karno. Melihat minatnya yang besar terhadap kajian ideologi sangat mungkin Prananda menjadi pengagum Tan Malaka, yang juga menjadi sahabat yang sangat dikagumi oleh Bung Karno.
Lagu berjudul ‘Pengkhianat’ diunggah di YouTube pada 8 Juni di bawah label Rodinda Music Indonesia, dan sudah ditonton 41.656 kali. Lagu dan video berdurasi 3,37 menit itu dibuka dengan suara dan wajah Prananda. Diiringi intro musik cadas, Nanan mengucap narasi, “Telah kuserahkan seluruh jiwaku. Untuk menjadi nafas perjuanganmu.â€
“Dasar kau…†ujar Nanan menggantung akhir kalimatnya, kemudian disambung oleh seluruh anggota band Rodinda dengan berseru bersama, “Pengkhianat!â€
Nanan yang jago bermain bas mengagumi band asal Inggris, Iron Maiden yang terkenal dengan lagu-lagu metal ballad seperti ‘’Alexander The Great’’ dan ‘’The Rime of Ancient Mariner’’, yang merupakan adaptasi dari puisi pujangga terkenal Inggris Samuel Taylor Coleridge.
Melihat minat Prananda terhadap ideologi dan referensinya musiknya yang khas, wajar saja kalau lirik lagu ciptaan Prananda mengutip bait-bait puisi pujangga klasik. Mungkin ia terinspirasi oleh Iron Maiden yang memakai referensi sejarah dan sastra dalam menulis lirik lagu.
Syair lagu ‘’Pengkhianat’’ berisi narasi dalam bahasa Latin berbunyi ‘’Tempus Abire Tibi Est’’ yang artinya waktumu sudah habis. Narasi itu diadopsi dari penyair Roma, Horace. Kalimat diteriakkan sampai 6 kali dalam lagu itu.
Kontan muncul interpretasi yang bermacam-macam terhadap lagu itu. Banyak yang menyebutnya sebagai sindiran terhadap Jokowi, terutama karena ada narasi berbunyi ‘’pengkhianat berwajah santun’’.
Tapi tidak semua orang sependapat. Banyak juga yang mengatakan bahwa politisi berwajah santun cukup banyak, misalnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mengingat hubungan yang tidak harmonis antara sang bunda dengan SBY bisa saja lagu itu ditujukan kepada SBY.
Tetapi umumnya netizen berpendapat bahwa label pengkhianat itu ditujukan kepada Jokowi, yang belakangan ini terlihat mulai berseberangan dengan kemauan Megawati dalam pencapresan 2024.
Sebagaimana karya seni lainnya, publik bebas menginterpretasikan sebuah karya. Seorang penulis lagu atau penulis teks mempunyai tujuan tertentu dalam mencipta, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika publik mempunyai interpretasinya sendiri. Dalam kasus ini Prananda terkena hukum ‘’the death of author’’ yang diperkenalkan oleh ahli semiotika Roland Bartesh.
Barthes mengatakan bahwa ketika pengarang menuliskan sebuah teks maka, dengan sendirinya pengarang itu sudah terputus atau tidak terkait dengan teks yang dibuatnya. Selebihnya, posisi pengarang tidak lebih penting dari teks yang dihasilkanya. Itulah yang dimaksud dengan kematian seorang pengarang.
Prananda mengalami fenomena kematian sang pengarang. Ia sudah melempar karyanya ke tengah publik dan ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap lagunya. Ia tidak bisa mengontrol interpretasi publik terhadap lagu itu. Ketika publik menganggap lagu itu ditujukan kepada Jokowi, Prananda harus menerima, karena ia tidak lagi punya otoritas terhadap karyanya.
Di zaman Orde Baru, penyanyi Iwan Fals bersama grup Swami menyanyikan lagu ‘’Bento’’ yang dianggap sebagai serangan terhadap Soeharto. Lagu ini diciptakan pada 1989 ketika Suharto tengah berada pada puncak kekuasaan. Publik mengira lagu itu ditujukan kepada Soeharto, atau Tommy Soeharto.
Iwan Fals yang terkenal dengan lagu-lagu satire yang sarat dengan kritik sosial mengatakan bahwa lagu itu tercipta begitu saja, tanpa rujukan terhadap orang tertentu. Tetapi, sebagaimana teori Barthes, publik sudah mempunyai asosiasinya sendiri mengenai lagu itu.
Satu lagi lagu Iwan Fals yang ikonik, yaitu ‘’Bongkar’’. Lagu ini menjadi semacam seruan untuk membongkar status quo yang diasosiasikan dengan rezim pemerintahan Soeharto. Lagu Bento dan Bongkar menjadi semacam lagu kebangsaan bagi para aktivis gerakan pro-demokrasi melawan Soeharto.
Apakah lagu ‘’Pengkhianat’’ juga akan menjadi lagu perjuangan melawan rezim Jokowi? Kita tunggu. (kempalan)
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply