matamaduranews.com-Muhammad Rizieq Shihab atau yang lebih dikenal sebagai Habib Rizieq Shihab (HRS) menyerukan boikot terhadap Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran dan Pangkostrad TNI Letjen Dudung Abdurrahman. HRS menyerukan kepada pengikutnya agar tidak mengundang kedua tokoh itu. HRS juga menyerukan boikot terhadap acara yang menghadirkan dua tokoh itu.
HRS menganggap dua tokoh itu punya kaitan dengan terbunuhnya enam pengawal HRS dalam insiden yang dikenal sebagai ‘’peristiwa KM 50’’ Desember 2020. Persidangan yang dilakukan sekarang ini, oleh HRS, dianggap sebagai persidangan yang tidak sesuai prosedur.
Masih harus dilihat apakah seruan boikot ini efektif atau tidak. Seruan boikot ini seolah menjadi senjata terakhir setelah berbagai upaya formal melalui jalur hukum dirasa mentok. Seruan boikot menjadi senjata bagi mereka yang tidak bersenjata. Jika seruan ini diikuti secara luas dampak politiknya akan terasa.
Dalam sejarah gerakan politik, seruan boikot menjadi salah satu cara yang efektif untuk melawan. Dalam sejarah gerakan buruh, boikot menjadi senjata yang efektif untuk memperjuangkan kepentingan. Boikot adalah bagian dari gerakan civil disobedience, perlawanan rakyat, terhadap peraturan pemerintah, misalnya dengan cara menolak membayar pajak.
Civil disobedience dalam bentuk penolakan membayar pajak mempunyai implikasi politik dan hukum yang serius, karena penguasa bisa mengambil tindakan represif dalam bentuk penangkapan dan penahanan. Boikot semacam ini masuk dalam kategori ‘’direct boycott’’, boikot langsung, yang lebih berisiko menimbulkan ‘’violent retaliation’’ pembalasan yang keras, dari penguasa.
Boikot tidak langsung, atau indirect boycott, bisa menjadi alternatif untuk menghindari pembalasan dari penguasa. Apa yang diserukan HRS adalah bentuk boikot tidak langsung dengan risiko hukum yang relatif kecil. Boikot terhadap dua tokoh itu dianggap sebagai test case atau ujicoba. Jika efektif maka seruan boikot akan diperluas.
Cara lain yang dilakukan untuk melawan kekuasaan adalah dengan melakukan pemogokan atau strike. Cara ini lebih efektif dan dampaknya terasa langsung ketika dilakukan para pekerja atau kalangan buruh dalam jumlah besar dan serentak.
Di negara-negara yang punya organisasi buruh kuat, pemogokan menjadi senjata yang efektif. Setiap kali ada keputusan yang dianggap merugikan para buruh dan perundingan tidak menghasilkan keputusan yang maksimal, maka gerakan mogok akan dipakai sebagai senjata pamungkas.
Sampai sekarang, gerakan pemogokan menjadi andalan para aktivis buruh di Inggris dan Australia. Di kedua negara itu gerakan buruh menjadi gerakan politik yang kuat dan partai buruh selalu menjadi kekuatan yang efektif melawan partai konservatif. Setiap kali buruh melakukan pemogokan, hampir bisa dipastikan layanan publik akan terpengaruh, dan akan memaksa penguasa untuk memberikan konsesi dan menuruti tuntutan buruh.
Gerakan buruh yang paling fenomenal terjadi di Polandia pada 1980 dengan berdirinya organisasi ‘’Solidarisnoc’’ atau Solidaritas yang dipimpin oleh Lech Walesa. Saat itu rezim komunis Polandia memerintah dengan sangat represif.
Kaum buruh yang dipelopori oleh pekerja di galangan kapal di Gdansk kemudian melakukan perlawanan dengan melakukan pemogokan besar-besaran dipimpin oleh Lech Walesa. Militer Polandia merespons dengan mengirim puluhan tanks dan tentara bersenjata untuk membubarkan demonstrasi buruh yang makin meluas.
Lech Walesa terus memimpin serangkaian pemogokan di seluruh negeri. Akhirnya rezim komunis menyerah dan bersedia mengadakan pemilihan umum terbuka pada 1989. Solidarisnoc yang ikut dalam pemilihan sebagai partai politik menang dengan suara besar, dan Lech Walesa menjadi presiden. Rezim komunis yang berkuasa puluhan tahun tumbang oleh gerakan buruh yang terorganisasi secara rapi.
Di Indonesia aksi buruh melalui demonstrasi sering dilakukan, meskipun hasilnya tidak optimal karena organisasi buruh masih terpecah-pecah. Gerakan pemogokan juga tidak menjadi senjata yang bisa diandalkan oleh gerakan buruh Indonesia karena kekuatan mereka yang banyak terfragmentasi.
Sejak era reformasi berbagai gerakan buruh Indonesia berhimpun dalam banyak partai politik, tapi semua gagal bertahan. Oktober lalu Said Iqbal, salah seorang tokoh gerakan buruh, mendeklarasikan berdirinya Partai Buruh Indonesia dan mengklaim mendapat dukungan dari banyak konfederasi buruh Indonesia. Masih harus dibuktikan apakah Partai Buruh bikinan Iqbal bisa memperoleh kursi pada pemilu 2024, atau hanya sekadar numpang lewat sebagaimana partai buruh lain di masa lalu.
HRS sudah tidak mempunyai organisasi lagi untuk menggerakkan massa untuk melakukan demonstrasi. Gerakan demonstrasi menjadi senjata HRS yang efektif ketika berhadapan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada pilgub DKI 2017. Setelah pemerintah membubarkan FPI (Front Pembela Islam) praktis HRS lumpuh.
Upaya untuk menghidupkan kembali FPI dengan baju baru belum menunjukkan hasil optimal. Kekuatan massa FPI yang dulu ditakuti sekarang masih belum bisa direkonstruksikan kembali. Karena itu HRS tidak punya banyak pilihan untuk melakukan perlawanan. Seruan boikot seolah menjadi pilihan terakhir yang tersedia bagi HRS.
Seruan boikot tanpa kekerasan bisa menjadi senjata politik yang efektif jika mendapat dukungan luas. Sebuah seruan moral tanpa kekerasan bisa menarik perhatian publik yang kecewa terhadap berbagai ketidakadilan di sekelilingnya. Ketika mendapat dukungan yang luas gerakan ‘’non-violence’’ ini bisa menjadi senjata perlawanan yang efektif.
Mahatma Gandhi di India telah membuktikan bahwa perlawanan tanpa kekerasan bisa menumbangkan kekuatan kolonial Inggris yang sangat eksploitatif dan represif. India berhasil lepas dari penjajahan Inggris berkat perjuangan tanpa kekerasan yang dimotori oleh Gandhi.
Empat gerakan tanpa kekerasan Gandhi menjadi inspirasi di seluruh dunia. Gandhi memperkenalkan gerakan Ahimsa, Hartal, Swadesi, dan Satyagraha. Ahimsa adalah gerakan protes dengan cara diam tanpa melakukan kekerasan. Dengan gerakan ini Gandhi menyerukan rakyat India untuk tidak mematuhi perintah penjajah Inggris tanpa harus melakukan kekerasan.
Hartal adalah gerakan pemogokan nasional. Setelah melakukan ahimsa dengan menolak membayar pajak, rakyat India melakukan hartal untuk melawan penjajah Inggris. Gerakan hartal dilakukan dengan mogok nasional dan berhenti melakukan aktivitas massal.
Gerakan swadesi adalah gerakan perlawanan dengan kampanye memakai produk buatan sendiri. Mahatma Gandhi memberi contoh gerakan swadesi dengan memintal kain sendiri dan memakai pakaian sangat sederhana dari pakaian yang dipintalnya sendiri.
Gerakan ini sangat efektif sebagai gerakan boikot terhadap produk-produk industrialisasi Inggris. Akibat gerakan swadesi ini Inggris mengalami kerugian besar karena produk-produknya secara tidak langsung diboikot di seluruh India.
Gandhi juga menyerukan gerakan satyagraha dengan melakukan protes nasional atas monopoli produk garam yang dilakukan pemerintah Inggris. Protes ini kelihatan kecil karena hanya menyangkut produk garam. Tetapi, bagi warga India garam adalah kebutuhan esensial, karena itu protes ini mendapat dukungan luas dari rakyat.
Semua gerakan itu dilakukan oleh Gandhi tanpa kekerasan. Pada akhirnya gerakan itu mendapat sambutan luas dari seluruh masyarakat India. Pemerintah Inggris semakin terdesak oleh gerakan Gandhi dan akhirnya menyerah dengan memberikan kemerdekaan pada 1947.
Seruan HRS untuk boikot adalah upaya terakhir untuk melakukan perlawanan sipil. Bisa saja orang meremehkan gerakan itu dan menganggapnya tidak akan efektif. Tetapi, sejarah dunia membuktikan bahwa kekuasaan represif sekuat apapun bisa tumbang oleh gerakan moral yang semula diremehkan. (*)
sumber: kempalan
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply