Catatan Farisi Aris*
Sekitar pukul 09:30, kakak saya menelepon. Dari balik telepon, ia berkata: “Sekarang Hari Tani Nasionalâ€. Ungkapnya. Saya agak terkejut, karena saya lupa bahwa hari ini adalah Hari Tani Nasional (HTN); hari di mana para pegiat tani mendapatkan kemerdekaannya dari sistem agraria ala kolonialisme Belanda.
Secara historis, Hari Tani Nasional dibentuk pada 24 September 1960, pasca RUU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disetujui oleh DPR sebagai UU No 5 tahun 1960 atau yang juga dikenal dengan sebutan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). UU Pokok Agraria menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum agraria kolonial.
UUPA merupakan kebijakan hukum yang mengarah pada bidang agraria dalam usaha mengurus dan membagi tanah dan sumber daya alam lainnya yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat, di mana dasar politik hukum agraria nasional dinyatakan dalam teks asli UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatâ€.
Satu isu penting dari UUPA dan Hari Tani Nasional itu sendiri, adalah memberikan kemerdekaan seluas-luasnya bagi petani untuk mengelola SDA yang terdapat di bumi Indonesia untuk kesejahteraan bersama, yang di masa kolonial, tertindas keras oleh kepentingan penjajah. Lalu, sudahkah semua itu tercapai?
Di satu sisi, keberadaan UUPA, tampak bekerja, hal itu bisa dilihat dari kemerdekaan para buruh tani untuk mengelola SDA yang ia punya untuk dinikmati hasilnya. Namun, bagaimana bila kita mengingat pada isu tembakau beberapa tahun terakhir, dan hari ini? Apakah UUPA masih tampak bekerja? Untuk kemerdekaan dalam bertani mungkin iya, tetapi tidak untuk menikmati hasilnya.
Dalam konteks tata niaga tembakau, petani kini, tak lebih dari sekadar babu para anak bangsa yang berwatak kolonial. Kolonialisme Belanda, dalam sistem pertanian kita, memang telah sirna. Namun, sayangnya, kita malah mewarisi watak kolonial itu. Dan itu adalah kesalahan dan kebodohan terbesar kita.
Mengapa saya katakan demikian? Pasalnya, dalam konteks industri tembakau, kita tak pernah bersinergi untuk menyejahterakan para petani tembakau yang setiap tahunnya kerap kali dirugikan. Khususnya di Madura.
Mengapa saya katakan kita tak pernah bersinergi? Petani tembakau menuntut harga tembakau yang layak, yang bisa menyejahterakan pada kehidupan para petani, eh, wakil rakyat kita malah sibuk menyusun janji, yang nyatanya janji-janji itu sudah basi. Mungkin, kita sudah muak, mendengar suara sumbang para dewan dan pemerintahan yang setiap tahunnya akan mengawal harga tembakau, yang sesungguhnya, itu adalah kebohongan.
Okelah. Jika alasan yang selama ini digembor-gemborkan adalah karena dewan yang terhormat dan pemerintahan yang terhormat pula tak bisa ikut campur dalam menentukan harga tembakau, karena alasan tak ada regulasi yang mengaturnya, katanya, atau karena industri tembakau bukan bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Lalu, apakah tidak mungkin bagi para dewan dan pemerintah untuk sekadar mendialogkan permasalahan yang tak kunjung usai ini?
Sebenarnya, jalan keluar dari masalah ini cukup sederhana. Dengan catatan, dewan dan pemerintah punya kemauan. Tak usah basa-basi, apalagi bicara soal regulasi, itu sudah basi. Cukup dewan dan pemerintahan tampung aspirasi petani, lalu dialogkanlah itu dengan pihak industri.
Atau, hadirkan petani, hadirkan pihak industri, lalu jadilah dewan dan pemerintahan sebagai penengah. Diskusikan masalahnya, cari solusinya. Dan temukan kesepakatan finalnya yang sama-sama menguntungkan keduanya. Bukankah yang demikian tak butuh regulasi?
Selamat Hari Tani Nasional. Mari merdekakan petani dari watak warisan kolonial kita.
*) Esais dan Penikmat Politik
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply