Blog Details Page

Post Images
Oleh: Subhan Hi Ali Dodego*) Dalam kitab Subulus Salam, para ahli fiqih memberikan pengertian puasa secara syar’i, yakni menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri daripadanya sepanjang hari menurut cara yang telah disyari’atkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia (membuat), perkataan merangsang (porno), dan perkataan-perkataan lainnya baik yang haram maupun yang makruh. Menurut Nurcholish Madjid puasa dibagi menjadi tiga fase. Sepuluh hari pertama adalah fase penyesuaian diri secara fisik. Dari yang semula kita makan, seperti makan pagi, siang, sore dan malam kita ubah menjadi makan magrib atau yang disebut buka puasa  dan makan pagi menjelang fajar atau sahur. Penyesuaian semacam ini  memerlukan waktu yang diperkirakan selama sepuluh hari. Seakan-akan kita memulai puasa dari suatu sikap dan perbuatan yang bersifat permulaan (ibtida’i) dan jasmani. Pada sepuluh hari yang kedua, kita harus mampu meningkat kepada tingkat yang lebih tinggi (tsanawi), yaitu pada fase puasa nafsani. Oleh karena itu, pada masalah kedisiplinan diri dari segi mental harus lebih baik daripada sepuluh hari pertama. Jika sepuluh hari yang kedua bisa kita jalani dengan baik, maka pada sepuluh hari yang ketiga kita akan mampu meningkatkannya kepada perolehan rohani, yang diwujudkan dalam ajaran tentang Laylatul Qadr, di mana tidak mungkin diperoleh kecuali bagi mereka yang puasanya telah sampai pada fase rohani. Dimensi Vertikal Puasa pada dasarnya dapat dipahami sebagai ibadah untuk menjalin kedekatan dengan Allah SWT. Terlebih lagi adalah membangun dimensi vertikal dengan Allah SWT melalui puasa. Sebab, puasa adalah perisai untuk menahan diri dari hawa nafsu yang dapat menggelincirkan manusia untuk berbuat tindakan yang tidak diridhai Allah SWT. Dalam sebuah hadis kudsi Allah SWT berfirman: “Setiap amal anak Adam bagi dirinya, kecuali puasa, puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang menanggung pahalanya” (HR. Bukhari). Rasullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berpuasa dengan penuh iman kepada Allah dan penuh intropeksi, maka seluruh dosanya  di masa lalu akan diampuni oleh Allah” (HR. Bukhari). Indikator puasa dalam konteks dimensi vertikal ini pada dasarnya membangun kesalehan individu kepada Allah SWT. Karena, berpuasa itu hanya seseorang dengan Allah yang tahu. Berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain seperti bersedekah boleh untuk disampaikan atau diberikan secara terang-terangan. Oleh karena itu, nilai dari puasa sangat esoteris dan sangat berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain. Puasa adalah ibadah yang sangat bersifat pribadi. Paling personal. Jika ibadah-ibadah lain mudah tampak oleh mata, maka tidak demikian dengan puasa. Seseorang mengerjakan salat atau tidak, bisa kita ketahui.  Kita juga bisa tahu, apakah seseorang membayar zakat atau tidak. Orang yang beribadah haji lebih mudah lagi kita ketahui. Karena haji adalah ibadah yang sangat demonstratif. Orang yang berpuasa itu hanya dirinya yang tahu. Kenapa begitu?  Karena cukuplah puasa kita batal  hanya dengan  meminum  seteguk air  pada waktu kita tidak tahan haus dan waktu kita sendirian. Dengan seteguk air yang semula kita harapkan  untuk meringankan derita haus, maka seluruh puasa kita telah hilang. Apakah betul kita tidak mencuri  untuk minum air barang seteguk, pada waktu kita tidak tahan dahaga  dan sendirian, itu semua hanya kita sendiri  dan Allah SWT yang tahu. Dengan demikian, ibadah puasa bersifat personal. Sangat vertikal dan sangat rohani. Efek puasa tidak selamanya bisa dilihat secara langsung. Karena efeknya adalah efek rohani. Justru karena efeknya rohani, maka tentu pahalanya semakin melimpah ruah. Namun di sisi yang lain, orang yang berpuasa harus menjaga pikirannya, ucapannya, sikapnya dan tindakannya terhadap ha-hal yang membatalkan puasa. Jika tidak, maka sangat mungkin puasanya menjadi sia-sia. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan (tak meninggalkan) perbuatan kotor maka Allah tidak punya kepentingan apa-apa bahwa orang itu meninggalkan makan dan minum” (HR. Bukhari). Sahabat Umar ra. mengatakan “Banyak sekali orang puasa namun tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar”. Inilah hakikat puasa yaitu dapat menghindarkan seseorang dari perkataan kotor dan perbuatan yang sia-sia. Dan muara dari puasa ini sebetulnya mendidik seseorang memiliki karakter yang mulia. Oleh karena itu, makna puasa dalam konteks dimensi vertikal ini sangat personal dan rohani. Hanya diri sendiri yang tahu bahwa dirinya berpuasa atau tidak. Dan untuk urusan pahala atau tidak itu urusan Allah dan bukan urusan manusia. Dimensi Horizontal Kalau pada dimensi vertikal makna puasa sangat bersifat esoteris maka pada dimensi horizontal makna puasa bersifat eksoteris. Puasa dalam dimensi horizontal ini mengafirmasikan umat Islam harus mampu membangun hubungan antar sesama manusia (hablum minannas) dengan cara-cara yang baik dan manusiawi. Dimensi horizontal ini berkaitan erat dengan upaya menumbuhkan kesalehan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, pada dimensi horizontal ini umat Islam wajib bahu membahu, bergandengan tangan untuk membangun persatuan dalam segala hal demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang ridhai oleh Allah SWT. Oleh karena itu, dimensi horizontal ini lebih menitikberatkan kepada ibadah sosial. Di mana orang kaya harus membantu orang miskin. Orang yang kuat membantu orang yang lemah. Sebab, ibadah sosial ini kerapkali banyak dilupakan oleh sebagian umat Islam. Padahal, Allah SWT sangat menganjurkan agar umat Islam harus berlomba-lomba berbuat kebaikan dan menciptakan persatuan sejati. Allah SWT berfirman: “Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik-baik saja.  Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah: 271). Tekait ayat tersebut, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa konteks ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak perduli kamu ikhlas atau tidak dalam bersedekah. Yang terpenting kamu melakukan sedekah. Sebab, dengan sedekah  orang miskin tertolong. Kalau kamu tidak ikhlas, rugimu sendiri. Maka ada dua hal yang bisa kamu peroleh dengan sedekah. Pertama, bila kamu ikhlas, ridha Allah akan kamu dapatkan.  Kedua, sedekah orang kaya menolong  orang miskin yang nantinya akan berefek perbaikan kepada masyarakat. Jadi, sedekah adalah ibadah yang sangat sosial. Dalam bahasa yang sering kita dengar, dimensinya horizontal. Sangat hablum minannas. Dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya semua orang yang beriman itu bersaudara, oleh karena itu damaikanlah di antara saudaramu yang bertengkar, semoga kamu mendapat rahmat dari Allah” (QS. Al-Hujurat: 10). “Gunakanlah itu semuanya untuk berlomba-lomba menuju kepada banyak kebajikan, Kepada Allah tempat kembalimu semua, nanti Dia (Allah) yang akan menerangkan kenapa kamu berbeda-beda” (QS. Al-Maidah: 48). Dengan demikian, pada dimensi horizontal ini umat Islam diperintahkan untuk menjaga silaturahmi antar sesama. Kemudian, umat Islam diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Oleh karena itu, ibadah sosial ini wajib dipraktikan agar umat Islam dapat mewujudkan persatuan sejati termasuk dalam mengentaskan kemiskinan melalui sedekah, zakat fitrah dan lain-lain. Puasa: Ibadah Pembentukan Pendidikan Karakter Para ulama bersepakat bahwa tujuan dari orang berpuasa adalah meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Oleh karena itu efek dari puasa adalah takwa. Jadi, ketika orang telah berpuasa tapi efeknya tidak membuat dirinya bertakwa maka dengan mudah bisa kita katakan puasanya sia-sia. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 183). Orang yang bertakwa akan merasa dirinya selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Karena itu, ia akan selalu merasa segala tindakannya diawasi dan dilihat langsung oleh Allah. Orang yang bertakwa akan selalu menyadari bahwa pikiran, sikap dan tindakannya selalu diketahui oleh Allah. Karena itu, ia selalu mengingat Allah dalam keadaan apapun. Karena inti dari takwa adalah mengingat Allah dengan cara mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan Dia bersamamu di manapun kamu berada. Dan Allah maha mengetahui tentang segala sesuatu” (QS. Al-Hadid:4). Oleh karena itu, dengan adanya ketakwaan inilah maka akan melahirkan pribadi yang ikhlas dan memiliki karakter yang mulia. Takwa memiliki korelasi yang sangat erat dengan budi pekerti luhur (al-akhlaq al-karimah). Takwa harus melahirkan akhlak terpuji. Dan akhlak terpuji ini berkaitan langsung dengan karakter setiap orang. Sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3 UU tersebut menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan karakter dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam bentuk sikap, dan pengalaman dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan Allah SWT, diri sendiri, antarsesama, dan lingkungannya.  Nilai-nilai luhur tersebut antara lain:  kejujuran, kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial, kecerdasan berpikir termasuk kepenasaran akan intelektual, dan berpikir logis. Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter tidak bisa hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan atau melatih suatu keterampilan tetentu. Penanaman pendidikan karakter perlu proses, contoh teladan, dan pembiasaan atau pembudayaan dalam lingkungan peserta didik dalam lingkungan sekolah, keluarga, lingkungan masyarakat, maupun lingkungan (exposure) media massa. Oleh karena itu, efek dari puasa diharapkan membentuk pribadi yang bertakwa, membentuk pribadi berkarakter dan berakhlak mulia. Karena puasa adalah ibadah yang dapat membentuk pendidikan karakter seseorang. Dengan kata lain, puasa menjadi ibadah untuk melatih diri menjadi manusia yang bertakwa, dan memiliki karakter yang mulia. Dengan demikian, orang yang berpuasa dengan iman yang kukuh, membangun hubungan antar sesama manusia dapat berefek pada pembentukan pendidikan karakter dirinya. Jadi, sejatinya buah dari puasa adalah takwa, ketakwaan akan melahirkan keikhlasan dan keikhlasan akan melahirkan budi pekerti yang baik. Konkritnya, orang yang berpuasa dengan iman yang kukuh dapat membentuk karakter seseorang menjadi lebih baik. *) Departemen Pengembangan Wirausaha Pemula PB HMI. Direktur Forum For Study Religious Islamic Education (FORSIED)
Puasa Pendidikan Karakter Ibadah Pembentukan Pendidikan
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Featured Blogs

Newsletter

Sign up and receive recent blog and article in your inbox every week.

Recent Blogs

Most Commented Blogs