Budaya
Pamelengan, Ronggosukowati, Dan Pamekasan Dalam Lintasan Sejarah
matamaduranews.com-PAMEKASAN-Nama Pamekasan sendiri baru populer setelah Panembahan Ronggosukowati naik tahta pada tanggal 3 November 1530 M. Sebelumnya, kota Gerbang Salam ini dikenal dengan sebutan Pamelingan. Yang tercatat sebagai  penguasa pertamanya ialah Ario Mengo.
Berdasar catatan silsilah penguasa (raja-raja) Madura Barat, Ario Mengo disebut sebagai putra Ario Lembu Petteng, salah satu putra dari Raja Majapahit penghabisan (terakhir). Ario Lembu Petteng diangkat sebagai Kamituwa atau semacam pemegang kuasa di Madegan (Sampang).
Ario Lembu Petteng tercatat memiliki tiga orang anak. Yaitu Ario Menger, Ario Mengo, dan Retno Dewi. Tak berapa lama sebagai kamituwa, Lembu Petteng bertolak ke Ampel; memeluk Islam, dan sekaligus nyantri pada Kangjeng Suhunan Ampel hingga wafat dan dimakamkan di sana. Yang mengganti sebagai kamituwa ialah Ario Menger.
Sementara Ario Mengo dikisahkan membuka hutan di bagian timur Sampang dan hingga usia lanjut belum pula dikaruniai anak. Nama Mengo dalam bahasa jawa bermakna eleng, yang mempunyai arti selalu ingat. Oleh sebab itu beliau memberi nama tempat yang dibabatnya itu dengan Pamelengan. Di tempat inilah beliau bertahta dan membentuk sistem pemerintahan serta memakai gelar Kiai Wonorono.
Zainalfattah alias Raden Tumenggung Ario Notoadikusumo—mantan bupati Pamekasan, dalam bukunya yang berjudul “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan Di Daerah-daerah Di Kepulauan Madura dengan Hubungannja†(1951), menyebut bahwa sistem pemerintahan di beberapa wilayah di Madura masih berkiblat pada Majapahit.
Hingga tahun 1478 M, saat Majapahit runtuh akibat pemberontakan dan perang saudara, Kiai Wonorono memanfaatkan situasi tersebut untuk lepas dari bayang-bayang Majapahit alias memerdekakan diri tanpa takluk pada siapapun.
Setelah berapa lama, Kiai Wonorono dikaruniai anak tunggal yang diberi nama Nyai Banu. Nyai Banu ini di kemudian hari mengganti ayahnya sebagai penguasa. Beliau lantas dikenal dengan sebutan Ratu Pamelengan.
Saat itu agama kerajaan dan sekaligus rajanya ialah Budha. Sebab meski Ario Lembu Petteng masuk Islam, beliau tak kembali lagi ke Sampang dan mengabarkan agama barunya pada anak-anaknya.
Ratu Pamelengan kemudian menikah dengan Kiai Adipati Pramono, putra Pangeran Demang Palakaran, di Arisbaya (Arosbaya). Pangeran Demang ini adalah putra Ario Pojok dengan Nyai Ageng Budho. Nyai Ageng Budho adalah putri Ario Pratikel di Gili Mandangil, Sampang. Sedang Ario Pratikel adalah putra Ario Menger, kakak Ario Mengo.
Pernikahan Nyai Banu dengan Kiai Adipati Pramono berbuah putra bernama Pangeran Nugroho alias Bonorogo (Wonorogo). Dalam catatan lain Bonorogo adalah nama lain dari Adipati Pramono.
Menurut Sulaiman Sadik, keraton tersebut terletak di Rumah Sakit paru-paru (sekarang Rumah Sakit as Syafi'iyyah) Pamekasan, di dekat terminal lama Pamekasan. Di masa Pangeran Bonorogo ini Islam sudah mulai masuk Pamelingan, sekaligus mulai banyak anggota keluarga keraton yang memeluknya, termasuk juga putra-putri Bonorogo.
Namun Bonorogo belum menyatakan dirinya muslim kecuali saat sebelum wafatnya beliau berkata bahwa jika kemudian Pamelingan gempa (lindu), itu adalah bukti jika dirinya wafat dalam keadaan Islam. Hal mana yang kemudian terjadi saat wafat beliau. Sehingga asta atau pasarean Bonorogo dikenal dengan sebutan Asta Lindu, di Lawangan Timur.
Setelah wafat, Bonorogo digantikan putra sulungnya yang bergelar Panembahan Ronggosukowati (memerintah sejak 1530-1616 M). Panembahan merupakan gelar bagi penguasa keraton Islam. Ronggosukowati kemudian memindahkan keratonnya yang semula di daerah Lawangan Daya ke Mandilaras (sekarang masuk kelurahan Gladak Anyar).
Di masa ini nama Pamekasan diambil untuk menggantikan nama Pamelengan. Diambil dari pesan Mekkas Jhatna Paksa Jhenneng Dhibi'. Pesan ini mengandung harapan agar siapapun yang ingin memerintah Pamekasan haruslah bersikap transparan, mandiri, dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pada saat Ronggosukowati memerintah, Pamekasan sudah dinilai mandiri dan mempunyai syarat sebagai sebuah pemerintahan negara. Beberapa pembangunan digalakkan. Antara lain, pasar untuk mendukung perekonomian, penjara yang lebih manusiawi, dan mendirikan masjid dengan nama Maseghit Rato, yang sekarang menjadi masjid asy-Syuhada'.
Selain sebagai raja, Panembahan Ronggosukowati juga bertindak sebagai pembimbing umat untuk mengambangkan agama islam. Pada saat itu pula, Kiai Zubair (Kiai Rato) pengasuh pondok pesantren Somber Anyar sebagai guru agama Islam di kalangan keraton. Di masa beliau pula terjadi kisah legendaris, yaitu kisah keramat dengan Kiai Agung Raba, Pademawu.
Setelah Panembahan Ronggosukowati memerintah selama 86 tahun, maka Pangeran Jimat (putra dengan Nyai Ratu Inten, selaku isteri padmi) yang naik takhta. Namun karena waktu itu Pangeran Jimat masih di bawah umur, diangkatlah Pangeran Purboyo ( putra dari ampian/selir) sebagai wali raja.
Beberapa lama di masa itu, Pamekasan terlibat dalam perang puputan, perang habis-habisan, karena semua isi keraton ikut berperang melawan melawan invasi kerajaan Mataram ke Madura pada tahun 1624 M. Panembahan Ronggo, Pangeran Purboyo, Pangeran Jimat, permasuri, selir dan semua anggota kerajaan gugur.
Satu-satunya keluarga yang selamat adalah Raden Dakseno alias Pangeran Gatutkoco, putra Pangeran Purboyo hasil pernikahan dengan gadis Plakpak. Pangeran Gatutkoco ini bergelar Pangeran Ario Adikoro ke-I. Beliau juga menikah dengan putri Raja Sumenep, dan berputra salah satunya Pangeran Rama, adipati Sumenep.
Selama beberapa turunan dari trah Ronggosukowati ini terus memerintah Pamekasan. Hingga Raden Alsana alias Raden Tumenggung Ario Cokroadiningrat ke-II, yang dikenal dengan nama Ghung Tengnga.
Karena tidak mendapat persetujuan dari kolonial Belanda, beliau diturunkan sebagai bupati Pamekasan dan diangkatlah salah satu putra Sultan Bangkalan ke-I yang bernama Raden Ario Abdul Lathif Palguna alias Panembahan Mangkuadiningrat (m. 1804-1843).
Mangkuadiningrat diganti oleh cucunya, Raden Banjir alias Pangeran Ario Suryokusumo. Ayah Banjir, Pangeran Adipati Prawiroadiningrat wafat saat Panembahan Mangkuadiningrat masih hidup. Ibu Raden Banjir ialah Ratu Afifah,putri sulung Sultan Sumenep, Pakunataningrat.
Tahun 1854, Raden Banjir mengundurkan diri dan digantikan pamannya, Pangeran Ario Letnan Kornel Moh Hasan yang bergelar Pangeran Mangkuadiningrat (m. 1854-1891). Mangkuadiningrat dikukuhkan sebagai bupati pertama (1e Regent) Pamekasan, yang berarti penghapusan keratonisasi di Pamekasan.
Pangeran Mangkuadiningrat diganti oleh putranya yang bergelar Raden Adipati Ario Mangkuadiningrat sebagai 2e Regent (m. 1891-1922). Setelahnya ditunjuk Raden Adipati Ario Kartoamiprojo sebagai 3e Regent (m. 1922-1934), dari trah Bonorogo. Lalu diganti Raden Ario Abdul Aziz dari trah Panembahan Sumolo Sumenep, via Situbondo, hingga masuknya Jepang ke Indonesia (1942).
Dan terakhir—masa sebelum Madura resmi masuk NKRI, Zainalfattah yang bergelar Raden Tumenggung Ario Notoadikusumo dari trah Panembahan Mangkuadiningrat menjabat sebagai bupati Pamekasan hingga 1950.
RM Farhan
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply