Catatan
Ngaji al-Hikam Oreng Sumekar
Catatan: Hambali Rasidi
ENTAH berapa orang yang sudah mengaji kitab al-Hikam. Maksud saya, bukan jumlah orang yang mengaji. Apalagi yang bisa membaca kitab berbahasa Arab itu.
Yang mengerti isi kitab al-Hikam.
Ya...Jujur. Saya ikut bodoh. Emang bodoh. Jangankan memahami isi kitabnya. Membaca kitab yang berbahasa Arab itu, juga tak ngerti.
Pengertian saya tentang kitab al-Hikam adalah kitab berisi pengetahuan tentang tauhid. Pengetahuan tentang ke-Esaan Allah SWT.
Kalau boleh saya meraba. Kitab al-Hikam itu merupakan gerbang menuju makrifatullah.
Ya..pintu masuk siapa saja yang ingin mengenal Allah-berdasar kesaksian langsung secara bathin.
Ilmu mengenal Allah lain lagi. Itu namanya pengetahuan tasawuf. Kitabnya banyak. Membahas tentang makrifatullah. Ittihad. Cinta. Dzauq. Fana. Dan sebagainya.
Begitu yang saya ingat dari dawuh Bindara Dullah. Waktu menyampaikan keterangan kepada santrinya.
Makanya. Saya tertarik mau datang pengajian kitab al-Hikam yang bertempat di Sumekar. Tepatnya masjid di Perumahan Sumekar.
Oreng Sumekar yang memberi tahu saya kalau pengajian bulanan Kitab al-Hikam akan ditaruh di rumahnya. Oreng Sumekar menaruh pengajian itu di masjid dekat rumahnya.
"Hadir bekna. Yang menjelaskan dari Arab. Masih cicit Syekh Abdul Qodir al Jailani," undang Oreng Sumekar via WhatsApp ke saya.
Oreng Sumekar nama akun facebooknya. Tak perlu saya jelaskan-siapa dia.
Emang saya kerap ikut pengajian bulanan kitab al-Hikam. Yang men-syarah, KH A. Busyro Karim. Sewaktu waktu-orang lain yang men-syarah. Seperti giliran pengajian di Oreng Sumekar itu.
Kiai Busyro usai tak menjabat Bupati Sumenep. Mengisi waktunya dengan ngaji kitab bersama santrinya di Ponpes Alkarimiyyah, Beraji. Sewaktu-waktu, memenuhi undangan masyarakat. Setiap bulan, tepatnya setiap akhir bulan-waktu bisa disesuaikan-menggelar pengajian al-Hikam. Tempatnya bergilir. Sesuai keinginan anggota pengajian.
Saya tak masuk anggota tetap pengajian bulanan itu. Selain tak mengerti baca kitab berbahasa Arab itu. Saya kesulitan menyesuaikan waktu pengajian.
Seperti pengajian al-Hikam di Oreng Sumekar. Saya datang terlambat. Ada sesuatu kalau waktu pengajian di pagi hari.
Saya baru datang siang hari. Pas waktu datang. Ada penjelasan-melalui penerjemah-bahwa untuk menjadi kekasih Allah (waliyullah).
Entah apa materu pertanyaan itu. Atau sedang mengutip sebuah dalil di al Hikam.....wushul..tepatnya: Jika kamu memiliki keyakinan bahwa dirimu tidak akan sampai (wushul) kepada Allah kecuali sesudah menfana'kan wujud dirimu
"Maksudnya bagaimana cara bisa sampai kepada Allah hingga menjadi kekasih-Nya (waliyullah)," begitu kira-kira.
Pertanyaan itu-barangkali sengaja disampaikan karena pen-syarah-orang yang menjelaskan-masih keturunan Syekh Abdul Qodir al Jailani, yakni Syekh Muhammad bin Amin bin Muhammad Adduhaiby Al Jilani.
Syekh Muhammad bin Amin disebut tergolong cicit-entah yang keberapa.
Syekh Muhammad bin Amin disebut tergolong cicit-entah yang keberapa.
Si cicit mengajak kepada jamaah yang hadir bagaimana bisa mengaji alquran sebagaimana diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW waktu di gua hira'
"Kalau mau belajar baca alquran seperti yang diturunkan ke malaikat Jibril," tutur si cicit sebagaimana disampaikan penerjemah.
Sampai di sini. Saya ingat dawuh Gus Dur. Belajar islam secara substansi. Jangan belajar islam dengan formal. Artinya: memahami Islam secara inti.
Nah.. kitab al-Hikam itu sebenarnya kajian substansi Islam. Yaitu tauhid. Ke-Esaan.
Mengaji tauhid. Apa-apa yang terjadi di dunia ini bersumber dari Allah.
Makanya saya tertarik datang ke pengajian al Hikam atas undangan Oreng Sumekar karena yang berceramah, salah satu cicit atau keturunan keberapa-Syekh Abdul Qodir al Jailani.
Saya menaruh hormat kepada sosok Syekh Abdul Qodir al Jailani. Meski saya bukan penganut taraket Qodiriyah.
Memahami sosok Syekh Abdul Qodir al Jailani seorang waliyullah dan mursyid tarekat Qodiriyah. Hidup di abad 12 Masehi. Makanya-pen-syarah al-Hikam di Sumekar-entah keturunan keberadaan.
Bindara Saod yang hidup di abad 17 Masehi saja-keturunannya sekarang-Entah yang keberapa.
Sosok Syekh Abdul Qodir al Jailani emang lebih familiar didengar. Dibanding Ibnu Athaillah-si pengarang kitab al-Hikam.
Setiap acara keagamaan. Pemimpin doa di desa-desa kerap menyebut nama Syekh Abdul Qodir al Jailani-saat bertawasul.
Bagi penganut tarekat Qodiriyah, Syekh Abdul Qodir dinobatkan sebagai sultanul auliya (raja dari seluruh para waliyullah).
Di Indonesia. Penganut tarekat Qodiriyah tergolong besar di antara pengikut tarekat lain. Seperti, tarekat tijaniyah, naqsyabandiyah, sammaniyah, dan lainnya.
Tarekat Qodiriyah tergolong tarekat muktabarah. Seperti 45 nama tarekat yang terkualifikasi muktabarah yang ada di Indonesia-versi Jamiyyah Ahluth Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyyah (JATMAN)-banom NU.
Sementara nama-nama tarekat di Indonesia jumlahnya mencapai ratusan. Ada yang menyebut jumlah itu mencapai ribuan.
JATMAN sengaja memasukkan 45 nama tarekat tergolong muktabarah setelah sanad tarekat itu tersambung ke Rasulullah SAW.
Saya tak banyak ngerti organisasi tarekat. Emang saya tak masuk tarekat yang dimaksud muktabarah.
Saya banyak ngerti organisasi tarekat dan amalan-amalannya-karena waktu kuliah. Di kampus waktu sarjana satu, saya kuliah Ushuluddin. Anda ngerti, itu jurusan wacana-kata anak sekarang.
Kuliah pasca sarjana, saya ambil konsentrasi pemikiran Islam. Tesis saya mengambil judul: Tarekat Tanpa Nama di Kota Sumenep. Berbentuk penelitian lapangan. Bukan pustaka. Artinya: bentuk tarekat tanpa nama itu, bukan fiktif.
Saya berani mengambil tema tesis itu karena bukan fiksi dan banyak literasi untuk membuat proposal tesis itu.
Saya ajukan, lalu ditunjuk dosen pembimbing tesis. Namanya tak perlu saya sebut di sini. Beliau seorang mursyid salah satu tarekat muktabarah. Ya emang mursyid. Sudah doktor tasawuf, waktu itu.Â
Saya ditanya banyak hal usai menyerahkan proposal tesis itu. Bahkan beliau menyarankan agar ganti judul. Jangan menggunakan tarekat. Alasan beliau: sebuah tarekat pasti ada namanya. Nama tarekat dinisbatkan kepada penciptanya. Seperti tarekat Qodiriyah. Penciptanya Syekh Abdul Qodir al Jailani. Tarekat Tijaniyah. Penciptanya Syekh Tijani. Begitu kira-kira penjelasan si dosen.
Beliau nyarankan agar diganti majelis dzikir tanpa nama.
Saya menolak. Alasan saya: majelis dzikir itu berbeda dengan tarekat.
"Majelis dzikir sebatas berdzikir tanpa target pencapaian. Sedangkan tarekat sebuah jalan menuju pencapaian (makrifatullah),".
Makanya, Ibnu Athaillah dalam al-Hikam menjelaskan: apabila dalam perjalananmu (laku salik) bertemu sesuatu yang belum diketahui. Tanyakan kepada gurumu (mursyid).
Lalu dosen menanyakan sanad mursyid tarekat tanpa nama itu. Apakah bersanad ke Rasulullah SAW.
Saya menjawab: sanadnya jelas. Sampai ke Rasulullah SAW.
"Guru musryid itu sudah almarhum. Si mursyid berguru kepada Kiai ...-silsilahnya sampai ke Rasulullah," Saya paparkan secara rinci.
Si dosen tanya lagi: bagaimana bisa dipercaya guru mursyid tarekat tanpa nama itu menerima ilmu dari seorang yang sudah lama meninggal dunia.
Saya menyodorkan kitab Fusus Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-Makkiyyah karya Ibnu Arabi. Isi kitab- sebagaimana penjelasan Ibnu Arabi dalam pengantar itu: isi kitab ini hanya menyalin apa yang disampaikan Rasulullah SAW kepada saya. Tak dikurangi dan ditambahin.
Artinya: perjumpaan Ibnu Arabi dengan Rasulullah SAW berlangsung beberapa hari dan malam. Padahal, Ibnu Arabi hidup-setelah Rasulullah wafat 400 tahun lalu.
Si dosen teihat tersenyum. Terkesan kecut meski senyum usai mendengar penjelasan panjang lebar dari saya.
Si dosen tetap memberi keterangan konsultasi proposal tesis itu: dengan keterangan merevisi judul.
Sampai di sini saya tak lagi tertarik melanjutkan tesis. Saya memilih berhenti tak melanjutkan sampai wisuda.
Toh..kuliah pasca sarjana-waktu itu-sebatas sarana dan refreshing tiap minggu ke Surabaya-agar punya alasan.
Makanya saya tertarik jika ada pengajian bercorak tauhid dan tasawuf. Saya anggap menghibur diri. Walau ilmu-ilmu wacana itu mudah didapat. Yang susah mengamalkan, kata Imam al-Ghazali.
Apalagi yahannu. Pura-pura ngerti. (*)
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply