Post Images
Catatan Farisi Aris* Beberapa hari ini video kemarahan Jokowi yang diunggah oleh kanal You Tube Sekretariat Presiden menyita perhatian publik. Pasalnya, dalam pidatonya di depan Kabinet Indonesia Maju itu, Jokowi sempat mengecam bahwa jika seluruh kabinet ataupun lembaga—anggaplah masih kurang bersinergi bersama-sama menghadapi krisis kesehatan, ekonomi, politik, dan yang lainnya secara serius, maka bisa saja Jokowi akan melakukan reshuffle dan pembubaran lembaga. Bahkan, juga terdengar Jokowi kembali akan mencabut Perppu jika Perppu sebelumnya masih dinilai kurang mewadahi. Sebagai seorang pemimpin, tindakan-tindakan tegas semacam ini memang sangat dibutuhkan. Apalagi di tengah krisis yang terus bergerak maju. Agar, paling tidak bawahannya merasa gentar untuk tidak bekerja secara serius. Dua kali berturut-turut mantan Wali Kota Solo ini menjadi presiden, setahu saya baru kali ini presiden bertubuh ramping itu mengernyitkan dahi dengan gaya bicara nge-gas. Memang, semenjak dua kali menjadi presiden, baru kali ini kepemimpinannya dihadapkan dengan krisis sosial-ekonomi berkepanjangan. Melalui video kemarahannya itu, saya menangkap Jokowi seakan ingin menunjukkan bahwa krisis sosial-ekonomi akibat pandemi ini benar-benar telah menjamur hingga lapisan paling fundamental. Karena itu, Jokowi menggebuk orang-orang bawahannya agar tak bertindak biasa-biasa saja. Mungkin, hal yang diinginkan Jokowi adalah karena cara kerja penularan dan dampaknya sudah luar biasa, maka kerjanya harus lebih luar biasa. Ibarat berperang, Jokowi menginginkan pasukan yang lebih besar ketimbang pasukan musuh yang sudah luar biasa besar. Bagi saya, jika kemarahan Jokowi ini ditujukan kepada para orang-orang di bawahnya lantaran leyeh-leyeh di tengah situasi kebangsaan yang krisis, ini adalah kemarahan yang terlambat. Jika kemarahan Jokowi ini kita jadikan sebagai perlambangan dari ketegasan Jokowi, maka hal sederhana yang bisa kita tangkap dari perilaku presiden kita ini adalah bahwa Jokowi adalah tipe presiden yang bisa berlaku tegas ketika situasinya sedang mencekam. Jadi, jika tidak mencekam, presiden kita ini tak bisa berlaku tegas. Dalam artian, kepekaan sosialnya rendah. Dan, yang bagi saya terasa janggal, mengapa Jokowi hanya menjadikan para kabinetnya sebagai objek kemarahannya? Jika alasannya karena kabinetnya kurang serius untuk penanganan Covid-19, itu bisa dibenarkan. Tetapi, kurang bijak, bagi saya. Seharusnya, jika alasan Jokowi bersikap tegas dengan bermodal kemarahan karena situasinya sedang krisis dan melihat kerja kabinet ada pada posisi yang sebaliknya, seharusnya rakyat dengan segala kebebalannya terhadap protokol kesehatan juga harus kena sentilan. Sebab, bisa saja kelesuan dari kerja kabinet adalah akibat karena rakyat sutur (susah diatur). Bisa jadi bukan? Namun, terlepas dari semua wacana itu, secara pribadi saya ragu Jokowi benar-benar marah kepada para kebinetnya. Mengapa? Dalam hal ini saya akan mencoba menjawab pertanyaan mendasar itu dengan perspektif politik. Pada video itu, dengan gaya pidatonya, Jokowi tak sedikitpun menampakkan kemarahan yang patut diragukan. Ibarat aktris dalam sebuah sinetron, pada posisi ini Jokowi telah sukses memerankan bagiannya sebagai aktor yang sedang marah. Namun, karena Jokowi adalah politisi, dan yang dimarahi juga para politisi, saya menganggap ini bukan ibarat sinetron lagi. Tetapi memang sinetron. Marah, secara politis tidak serta merta bisa dimaknai sebagai luapan emosi yang tak terbendung. Secara artifisial, boleh jadi iya. Tetapi, siapa di antara kita yang tahu bahwa Jokowi benar-benar marah? Bukankah marah adalah sikap yang siapa saja bisa bersikap marah meski pada kenyataannya tidak marah? Dalam kacamata politik itu sangat mungkin terjadi. Sebab, politik selalu punya caranya sendiri untuk mempertahankan eksistensinya. Selain Jokowi, ada Risma, Wali Kota Surabaya yang juga kerap marah-marah kepada bawahannya di depan publik. Bahkan, wali kota yang terkenal dengan kerja blusukan itu, beberapa hari ini tampil dengan wajah tersedu-sedu, bersujud bahkan meminta kepada IDI agar Risma tidak disalahkan. Menarik bukan, dari yang super tegas tetiba menjadi cengeng. Perubahan yang terjadi pada Risma itu, bagi saya sama saja dengan apa yang hari ini ditujukan Jokowi. Keadaan politik tertentu telah mengubah sikapnya. Coba kita bayangkan, sejak kapan Jokowi tampil sebagai pemimpin yang mudah marah, kalau bukan sekarang. Lagi-lagi saya curiga, bahwa di balik kemarahan Jokowi, sang presiden itu hendak mengakomodasi simpati rakyat. Sebab, takut elektabilitas dan legitimasi para penggendongnya menurun gegara menganggap remeh pandemi Covid-19 awal Maret lalu, yang puncaknya berbuah kegagalan seperti saat ini. Atau, jika tidak demikian, dalam pandangan saya setidaknya melalui acara marah-marahnya itu, Jokowi hendak memperkokoh kembali kekuatan politiknya yang beberapa bulan ini terus mengalami kemunduran dan pelemahan. Dalam hal ini, seperti yang diungkap Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, bukan berarti Jokowi kehilangan dukungan parpol, melainkan kelemahan dan ketidakberdayaan Jokowi itu dimaknai sebagai ketidakberdayaan presiden mengendalikan para menteri di bawahnya. Sebagai misal, saat presiden minta mudik dilarang, menterinya mengatakan mudik diperbolehkan. Saat Jokowi mengatakan mudik dan pulang kampung memiliki makna berbeda, menterinya bilang sama saja. Jika tidak demikian, siapa yang tidak marah coba? Sudah diremehkan, makin tampak pula Kabinet Indonesia Maju adalah kabinet tak kompak. Haha. Selamat berjuang Presidenku... *) Mahasiswa HTN UIN Jogja, penikmat politik
Presiden Jokowi Menakar Politik Jokowi di Balik Kemarahan Jokowi Jokowi Marah

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru

Blog dengan Komentar Terbanyak