Opini
Memimpin di Saat Badai Krisis
“Akurasi menjadi kata kunci. Akurasi hanya mungkin dimiliki oleh orang cerdas. Orang cerdas dapat dengan cepat belajar dari keadaan dan pengalaman, lalu mengadaptasikannya dengan keadaan yang sedang terjadi.â€
Oleh: Anwar Sadad*
PELAUT handal lahir dari laut yang ganas. Pemimpin hebat lahir dari krisis yang buruk. Kita tak bisa memilih laut untuk diarungi. Sama, kita juga tak bisa memilih pemimpin hanya berdasarkan situasi.
Pemimpin baik dalam situasi normal, mungkin bisa menjadi buruk pada situasi krisis. Begitu sebaliknya. Situasi krisis adalah ujian sesungguhnya bagi seorang pemimpin.
Bayangkan, tiba-tiba situasi berada di luar prediksi dan asumsi. Keadaan memburuk, berlari lebih cepat di hadapan kita, meninggalkan kita yang masih terkaget-kaget seakan tak percaya.
Semua antisipasi menjadi terlambat. Dalam situasi seperti itu, hanya satu hal yang bisa kita lakukan: Berharap pemimpin – dengan semua fasilitas yang dimiliki — dapat mengatasi keadaan.
Jika ukurannya adalah pidato dan janji politik saat masa kampanye, mungkin kita tak cukup tahu kualitas seorang pemimpin dengan sebenarnya.
Sering kita mendengar analisis para akademisi dengan nyinyir, menyindir kampanye politik kita sekadar panggung pedagogi, untuk membangun persepsi seolah-olah inilah cara terbaik untuk memilih pemimpin terbaik. Kalau mau jujur, bukan pemimpin terbaik yang kita dapatkan, pemenanganya adalah persepsi.
Kini, ‘kapal’ Indonesia tengah mengalami turbulensi. Perahu Jawa Timur guncang. Diterjang badai Covid-19, badai yang sebenarnya telah diketahui dalam skala kecil sejak akhir tahun lalu, namun sayangnya radar pengintai kita tak sempat menangkap signal bahaya.
Lalu inilah yang terjadi: masker dan disinfektan langka di pasaran, hand sanitizer menghilang, ratusan orang menjadi suscpect, jumlahnya terus bergerak naik. Rupiah terjerembab di kisaran 16.500, IHSG terhempas di kisaran 4.000, untungnya masih tertolong auto-rejection. Tiba-tiba semuanya memburuk.
Secara teori hanya pemimpin kuat yang dapat mengatasi keadaan. Pemimpin kuat dapat meyakinkan public, bahwa, ada seseorang yang tengah bekerja keras bersama timnya menghadapi krisis, mengatasinya, dan membawa mereka keluar dari krisis dengan seminimal mungkin risiko. Tentu bukan tugas yang ringan. Membangun kepercayaan publik di era post-truth, ketika kharisma tak lagi dianggap penting, membutuhkan variabel yang kompleks.
Akan tetapi, saya yakin, public trust akan terbangun dengan sendirinya ketika langkah-langkah pencegahan terhadap meluasnya virus dan penanganan terhadap ODP dan PDP dilakukan dalam akurasi tinggi.
Akurasi menjadi kata kunci. Akurasi hanya mungkin dimiliki oleh orang cerdas. Orang cerdas dapat dengan cepat belajar dari keadaan dan pengalaman, mungkin di tempat lain, mungkin di masa yang lain, lalu mengadaptasikannya dengan keadaan yang sedang terjadi. Kecerdasan pula yang membawa pemimpin kuat pada tindakan yang bukan katagori “biasa-biasaâ€, bukan business as usual, apalagi politics as usual.
Kepercayaan publik akan memastikan bahwa direction berjalan secara efektif, pemimpin dapat leluasa mengorganize tim satgas untuk bekerja optimal. Beberapa kegagalan di negara lain disebabkan tidak efektifnya direction, penyebabnya adalah distrust terhadap pemimpinnya. Lalu krisis going worst.
Kita pasti tak ingin hal itu terjadi di sini. Kita musti memberikan sesepenuhnya kepercayaan kepada para komandan penanganan krisis, pejabat di tingkat nasional, dan para Kepala Daerah. Kita berharap mereka mengendalikan situasi. Hanya mereka yang keep in touch dengan sumber-sumber informasi yang valid dan terverifikasi, bukan sembarang informasi yang berkeliaran di media sosial tanpa bisa diketahui apakah hoax atau fakta.
Hoax juga memberikan sumbangan polemik yang tak perlu, misalnya perdebatan tentang lambatnya para Komandan mengambil tindakan. Ini bukan saat yang tepat membangun polemik. Lebih bijak bagi kita untuk membangunan suatu self defence, dimulai pada lingkup terkecil, lalu bergerak makin meluas.
Apalagi polemik yang menyentuh wilayah perdebatan agama, misalnya tentang bagaimana salat Jumat di masjid di saat pandemi Covid-19 ini. Bukankah dalam agama, dalam situasi darurat – menyangkut nyawa — hal-hal yang dilarang menjadi boleh. Itu adalah pelajaran dasar dalam beragama yang dengan mudah kita baca dalam buku-buku agama.
Beri Kepercayaan Mereka
Kepercayaan publik terhadap pemimpin bahwa mereka sanggup mengatasi keadaan akan melahirkan courage, keberanian. Tidak setiap orang punya keberanian untuk mengambil risiko di saat-saat sulit. Risk taker hanya milik pemimpin pemberani.
Tapi bagi pemimpin yang telah menghitung secara cerdas pilihan strategis untuk mengatasi keadaan, lalu membuat rencana-rencana dengan tingkat akurasi tinggi, tak ada pilihan lagi untuk penuh kepercayaan diri mengambil tindakan yang berani.
Last but not least, seluruh kualitas yang dimiliki pemimpin kuat itu menjadi meaningless jika kita tidak memberikan kepercayaan kepada mereka.
Saya yakin, belum terlambat. Mari kita hentikan polemik, kita tunda kritik dengan menunjukkan bukti bahwa mereka under performed. Kini kita berada di tengah-tengah krisis.
Pilihan terbaik bagi kita adalah berikan kepercayaan kepada mereka. Teruslah bekerja Pak Presiden, para menteri, BNPB, para dokter, paramedis, gubernur, bupati, walikota, BPBD, dan para relawan! Mungkin inilah cara Tuhan memberikan kepada kita pemimpin kuat, membawa kita melewati krisis ini.
*Anwar Sadad Adalah Wakil Ketua DPRD Jatim, Sekretaris DPD Gerindra Jatim.
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply