Catatan
Mas Sulaisi, Saya Mohon Maaf
Marlaf Sucipto
Catatan: Marlaf Sucipto (advokat dan mantan aktivis wonocolo)
matamaduranews.com-Mas Sulaisi, terima kasih. Catatannya yang berjudul "Pengacara Iblis", sungguh menarik.
Pertama, mengenai isu BOP, secara substansi, saya mendukung langkah Anda. Cuma, saya hanya memberi pandangan dari persepektif yang berbeda saja. Saya tidak menyalahkan langkah Anda kok, Mas.
Jika pendapat saya dalam menyikapi isu BOP dikatakan sebagai metode tradisi Gereja Katolik, bukan tradisi pesantren, hanya karena menyuguhkan argumentasi yang berbeda untuk menguji validitas argumen, bukankah itu adalah hal baik? Karena kita tengah berikhtiar untuk menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Jika menggunakan alur logika Anda, penting dong, "Pengacara Iblis" itu? Supaya terbangun dialektika dalam menemukan fakta yang akurat.
Pernyataan Anda, "Tradisi Pesantren tidak begitu. Santri tidak boleh memotong pembicaraan kiai, apalagi menunjukkan sikap berseberangan dengan guru dan kepentingan pesantren".
Tidak boleh memotong pembicaraan orang, saya rasa adalah etika umum yang nyaris dipegangteguhi hampir oleh semua orang. Tidak hanya kebiasaan dan/atau tradisi pesantren.
Jika boleh saya tahu, kira-kira, pembicaraan kiai siapa yang saya potong? Kapan saya menyela waktu kiai berbicara?
Dalam konteks BOP, pendapat saya, secara substansi, saya rasa tidak berseberangan dengan guru dan kepentingan pesantren. Apalagi, secara kelembagaan, sampai catatan ini ditulis, saya belum tahu sikap Annuqayah mengenai isu BOP ini.
Dalam konteks yang lain, saya dulu di Annuqayah memang dididik untuk memiliki pendapat yang tidak harus seragam. Salah satunya, oleh Kiai Ali Fikri sendiri, beliau mempersilakan siswa untuk berpendapat yang berbeda dengan catatan harus argumentatif. Didikan ini saya juga dapat waktu ikut SPM oleh BPM PPA.
Jadi, di Annuqayah, saya "dikader" oleh "orang-orang hebat" dan "sakti-sakti". Jadi, berseberangan dan/atau berbeda bagi orang yang pernah berproses di Annuqayah itu adalah hal biasa dan saya rasa tidak pernah ada yang melarang. Kiai Ali Fikri dengan Kiai Muhammad Shalahuddin yang pernah berseberangan dalam hal politik praktis adalah prototipe bagi saya secara pribadi.
Saya tanya, kira-kira, secara prinsip, pendapat yang mana yang menurut Anda berseberangan dengan guru dan kepentingan pesantren?
Saya ulangi lagi nih pertanyaan, apa kepentingan Annuqayah secara kelembagaan atas perkara BOP yang sedari awal jelas-jelas tidak pernah mengajukan?
Jika mau masuk lebih rinci lagi, apa kerugian Annuqayah secara kelembagaan atas pencairan BOP oleh An Nuqoyah Lubsa yang jelas-jelas bukan Annuqayah Lubangsa?
Okelah An Nuqoyah Lubsa itu di Guluk-Guluk sebagaimana klarifikasi Anda, tapi kan bukan Annuqayah Lubangsa? Apalagi An Nuqoyah Lubsa di data yang diduga palsu itu ditulis di bawah Yayasan yang berada di Pordepor.
Bagaimana konstruksi logika Anda yang menyatakan "Mestinya Annuqayah Lubangsa berhak memperoleh BOP dari negara" jika Annuqayah sendiri jelas-jelas tidak mengajukan BOP?
Anda juga menyatakan, "Kami juga telah menghadap Kemenag Sumenep. Telah jelas bahwa tidak ada data di Kemenag Sumenep mengenai An Nuqoyah Lubsa".
Nah, jika di Kemenag Sumenep tidak ada datanya, mengapa BOP itu bisa dicairkan oleh An Nuqoyah Lubsa? Bukannya pengajuan BOP itu ada tim verifikasi dan pengawasnya sehingga dilakukan verifikasi dan/atau kroscek terlebih dahulu oleh Kemenag sebagai pihak yang berwenang?! Mulai dari kebenaran data maupun kebenaran fakta.
Jika tidak ada data yang sudah diverifikasi oleh lembaga yang berwenang, rasanya tidak mungkin perbankan sebagai penyalur uang bantuan, mencairkan bantuan.
Next: Serangkaian catatan mengenai BOP
Melalui dua serangkaian catatan yang saya buat mengenai BOP itu, saya kan bertanya, surat dan/atau dokumen apa yang diduga telah dipalsu oleh tersangka dan itu adalah dokumen Annuqayah. Jika Anda mau menjawab, alhamdulillah. Tapi jika tidak mau menjawab pun tidak masalah.
Pertanyaan itu hanya dalam rangka memastikan, apakah betul-betul ada dokumen Annuqayah yang dipalsu?!
Pertanyaan itu juga didasari oleh banyaknya permintaan teman-teman Alumni Annuqayah yang menghubungi saya, meminta pendapat guna memantapkan keputusannya dalam mengikuti serangkaian rencana aksi di bawah Ikatan Alumni dalam menyikapi BOP itu.
Selain itu, klien Anda yang telah menjadikan Anda sebagai Penasihat Hukumnya, apakah telah memiliki kewenangan mandat untuk mempersoalkan BOP ini. Utamanya kewenangan dari Annuqayah Lubangsa secara kelembagaan. Sebab, klien Anda itu tidak mengusung kepentingan pribadi, tapi kepentingan lembaga. Bicara lembaga, ada banyak orang. Ada penanggung jawab.
Saya mengomentari sebab alasan itu. Andai itu kepentingan klien Anda secara pribadi, saya tidak merasa terpanggil untuk mengomentari itu.
Atas pertanyaan Anda, "mengapa Marlaf Sucipto semangat sekali memberi pendapat hukum yang sumir dan menyesatkan?" Maka, saya tanya balik, di bagian mana pendapat saya yang menurut Anda sumir dan menyesatkan?
Mari berdiskusi!
Jika pendapat hukum saya dinilai menguntungkan terduga pelaku, ya, itu kan penilaian Anda. Saya tidak tahu apalagi kenal pelaku. Pendapat tersebut saya share secara terbuka. Saya pun sampai saat ini bukan Penasihat Hukum Tersangka. Toh bila misal mereka, termasuk dua jaksa yang Anda nyatakan penghianat itu, mau menjadikan saya sebagai penasihat hukumnya, sah-sah saja dong.
Yang pasti, bila misal itu terjadi, saya pastikan tidak akan membela apalagi mendukung kesalahan yang jelas-jelas telah diperbuat oleh mereka, saya hanya memastikan bahwa hukum itu betul-betul ditegakkan secara benar, proporsional dan adil atas mereka. Itu saya lakukan untuk semua klien saya.
**
Kedua, dalam konteks catatan saya yang diberi judul; "Perkara Banding, PH Menggerakkan Demonstrasi, Bukan Melawannya Dengan Kontra Memori Banding", saya mohon maaf.
Saya memang tidak terlibat langsung karena kepentingan klien sudah diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Ikhwal kontra memori banding, saya mendapat informasi yang ternyata tidak valid. Saya tidak mengetahui langsung karena saya tidak terlibat langsung. Kala itu, saya dapat informasi JPU banding. Kemudian saya cek melalui sistem informasi pengadilan, ternyata informasi perkara dimaksud belum di-upgrade.
Putusan pengadilan 31 Maret 2022, JPU Banding 07 April 2022, 29 Mei muncul catatan "Jaksa Penghianat". Sejak adanya putusan pengadilan itu sampai terbitnya catatan "Jaksa Penghianat" selang waktunya nyaris 2 bulan lho, Mas.
Mengapa Anda baru "berteriak", kok tidak "berteriak" sejak awal jika Anda benar-benar serius atas tindakan jaksa yang diduga memeras klien Anda dan/atau keluarga klien Anda.
Di dalam catatan itu berisi kekecewaan Anda sebab yang sangat mencolok karena JPU melakukan upaya hukum banding. Padahal, Anda sudah bernegosiasi yang hasilnya Jaksa tidak akan banding.
Isu dugaan pemerasan itu saya rasa output dari kekecewaan Anda sebab Jaksa Banding. Hal itu sangat terlihat dari catatan Anda yang diberi judul "Jaksa Penghianat" itu.
Kala itu, saya berpikir simpel, jika tidak terima sebab JPU banding, mestinya cukup dilawan dengan kontra memori banding, bukan demonstrasi. Kejadian demi kejadian itulah yang mengkonstruksi judul catatan saya tersebut. Simpelnya, saya tidak bermaksud menyatakan bahwa Anda tidak mengajukan kontra memori banding.
Atas hal itulah, sekali lagi, saya mohon maaf. Saya tidak biasa menantang orang apalagi memaksa. Tapi, jika Anda keberatan dengan itu, saya juga keberatan atas peryataan Anda, "Santri tidak boleh memotong pembicaraan kiai, apalagi menunjukkan sikap berseberangan dengan guru dan kepentingan pesantren".
Selain itu, saya juga keberatan atas pernyataan Anda, "mengapa Marlaf Sucipto semangat sekali memberi pendapat hukum yang sumir dan menyesatkan?"
Dalam konteks perkara ini, saya masih punya catatan lanjutan lho, Mas. Masak saya tidak etis jika saya membuat catatan? Toh saya adalah penasihat hukumnya korban. Perkara ini, silakan lihat dari sudut pandang Anda sebagai Penasihat Hukumnya Tersangka dan saya juga akan melihatnya dari sudut pandang korban. Begini kan asik?
***
Ikhwal saya melakukan demonstrasi, saya rasa, tanpa Anda menjelaskan, publik, umumnya alumni Annuqayah, sudah banyak yang tahu. Bahkan, bisa jadi, mereka mengetahui hal itu jauh sebelum Anda tahu.
Kala itu, saya secara pribadi dengan Prof. A'la tidak memiliki masalah. Jumpa di mana pun saya tetap cium tangan salaman. Beliau tetap kiai saya. Demonstrasi itu dalam kapasitas beliau sebagai rektor dan saya Presiden BEM. Relasinya Presiden BEM dan Rektor, bukan dalam relasi Kiai-Santri.
Memang pesantren tidak memiliki tradisi demonstrasi. Di kampus lah demonstrasi itu menjadi tradisi. Saya bersama Prof. A'la berada di kampus.
Demo yang anda gerakkan ke Kejaksaan itu beberapa waktu yang lalu itu adalah tradisi kampus lho, Mas, bukan tradisi pesantren. Haha
Kritik yang saya sampaikan ke beliau melalui orasi juga konstitusional, tidak dilarang oleh konstitusi dan disampaikan secara sopan. Silakan lacak sendiri di internet.
Beliau tetap kiai saya walaupun saya merasa lebih nyaman memanggil beliau dengan sebutan "Prof", bukan "kiai".
Saya di Polrestabes hanya diamankan, dimintai keterangan, setelah itu dipulangkan.
Selesai.
Salam,
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply