Post Images
Catatan: Hambali Rasidi Waktu kanak-kanak, ibu dan kakek selalu bercerita tentang keunggulan para Kiai Madura tempo dulu. Ibu dan kakek bercerita banyak hal tentang kelebihan Kiai Madura dulu. Mulai kepribadian yang 'alim, wara' dan zuhud. Termasuk keunggulan Sang Kiai yang tersohor karena karomah hingga saat wafat moksa. Tak terlihat jejak jazadnya. Cerita ke'aliman kiai dulu tergolong waliyullah. Ketika menghaturkan problem, Sang Kiai dulu sering memberikan solusi. Sehingga banyak ummat menaruh hormat pada Sang Kiai. Titahnya laksana petir menyambar. Ummat banyak berutang jasa atas nasihat-nasihatnya. "Keae Madura sakte-sakte. Ngeding nyamana jember. Mon bedha fotona keae, e hormati. (Kiai dulu banyak yang sakti mandraguna. Mendengar namanya sejuk di hati. Melihat fotonya juga hormat)," begitu cerita kakek dan ibu yang selalu saya dengar, saat kanak-kanak. Lalu, Sang Kakek menunjuk sejumlah nama Kiai di Madura yang pernah ditemui. Kata kakek, para kiai yang pernah ditemui memantulkan aura kedamaian. Memandang wajah Sang Kiai. Jiwa-jiwa bergetar mengantar kematian. Setiap dawuhnya merasuki relung jiwa. Meski belum terjadi mampu melihat dengan basyirah.Mukasyafah. Melihat dengan cahaya Ilahi rabbi. Kakek juga menunjukkan salah satu temannya yang begitu hormat kepada sang kiai-nya. Dari saking hormatnya, binatang kesukaan Sang Kiai juga ikut dihormati. Makna itu dijelaskan oleh sang kakek. "Orang itu merasa banyak utang jasa ke kiai-nya. Dia jadi orang besar dan dihormat banyak ummat karena diberi secercah ilmu. Perantara ilmu Sang Kiai-ia dihormat oleh ummat," Ibu juga bercerita kelebihan Sang Kiai tempat ibu mondok. "Dulu ludah Kiai e wadahi. Khawatir membawa celaka jika dilangkahi para santri," cerita ibu, suatu ketika. Ibu berpesan agar selalu hormat dan takdzim kepada keluarga Sang Kiai dan keturunannya. Bagi ibu, Sang Kiai-nya, telah menjadi suluh kehidupan. Menuntun ke jalan ukhrawi. Seperti diberi bekal sapu jagat. Cerita ibu dan kakek itu, tak bisa saya ceritakan kepada anak-anak saat ini. Saya mengalami kegundahan bathin. Ketika hendak bercerita seperti cerita nenek dan kakek buyutnya, kekhawatiran langsung muncul. Anak-anak saya takut menilai sosok Kiai Madura dulu didramatisir. Anak-anak saya takut menilai cerita Kiai Madura itu seperti sosok fiktif dalam alur cerita novel. Karena dalam kehidupan nyata tak menemukan sosok yang saya gambarkan. Saya beranikan diri bercerita apa adanya ke anak-anak. Tentang sosok Kiai Madura dulu yang menjadi tumpuan ummat karena bisa memberi solusi ketika banyak problem dihaturkan. Para Kiai Madura dulu sudah megerti problem apa yang belum disampaikan. Lalu Sang Kiai memberi solusi. Meski tak berjumpa langsung dengan Sang Kiai, ummat terasa puas bisa duduk di dhalem kiai. Aura kedamaian terasa. Hati dan pikiran yang semula bingung. Terasa mengalir secercah harapan. Seperti kisah cinta Qais kepada Layla dalam Layla Majnun dan Laylatul Qodar. Qais tak bisa meredam bara cinta untuk selalu bermesraan dengan Layla. Jika sehari tak berjumpa Layla, mulut Qais langsung memanggil-manggil nama Layla. Tak peduli siang atau malam. Tak peduli di rumah atau di jalanan. Bibir Qais selalu memanggil nama Layla. Qais sadar. Orang sudah banyak memanggil dirinya majnun (gila). Jika orang-orang berpapasan dengan Qais, mereka memanggil si majnun. Layla menyadari begitu besar cinta Qais. Sehingga orang menyebut majnun. Di akhir penghujung bulan Ramadan ini, Layla dan Majnun bertemu. Keduanya merajut kemesraan. Di tengah kesyahduaan bercinta, keduanya terbesit untuk mengejar Laylatul Qadr. Malam yang ditentukan. Malam yang memiliki kemuliaan dari seribu bulan. Yaitu, 'Bonus' akhir tahun kepada kekasih yang memliki cinta dan rindu. Hatinya selalu ingin bermesraan dengan kekasih yang dicinta. Jika tak bertemu, rindu bergelora. Hanya dengan menyebut nama-Nya, hati kekasih menjadi tenang. Syahdu. Beriitihad. Melebur. Layla dan Majnun sadar. Kesyahduaan bercinta dengan kekasih yang dicinta bukan cerita novel seribu malam. Kesyahduaan cinta itu nyata. Dan terus terhunjam dalam lubuk hati paling dalam. Hanya saja, kesyahduan itu tak bisa diungkap lewat kata-kata. Layla dan Majnun hanya mengibaratkan air gula itu manis bagi yang mereguknya. Pesona Satelit, 19 Mei 2020
Kiai Madura Dulu KisahLayla Majnun Laylatul Qadr

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru

Blog dengan Komentar Terbanyak