Catatan
Juru Bicara, Juru Dengar, Juru Bayar
matamaduranews.com-Juru bicara kepresidenan, Fadjroel Rachman, sudah didubeskan ke Kazakhstan. Posisi jubir pun lowong, dan orang banyak memperbincangkan siapa yang pantas menjadi jubir presiden menggantikan Fadjroel.
Selama beberapa watu menjadi jubir, peran Fadjroel sebenarnya tidak terlalu menonjol, bahkan cenderung datar-datar saja. Malah dalam beberpa kasus Fadjroel tidak bisa menyelamatkan Jokowi dari kesalahan omong. Masih segar dalam ingatan publik bagaimana Jokowi dibully gegara memromosikan‘’bipang Ambawang’’, babi panggang untuk menjadi oleh-oleh lebaran.
Jokowi juga kepeleset lidah ketika menyebut Kota Padang sebagai ‘’Provinsi Padang’’, padahal yang dimaksud adalah ‘’Provinsi Sumatera Barat’’. Tentu selip lidah itu tidak bisa ditudingkan sepenuhnya sebagai kesalahan jubir, tapi setidaknya insiden itu menunjukkan ada yang salah dalam pola kerja tim komunikasi presiden.
Jokowi memang tidak punya keterampilan komunikasi politik yang mumpuni. Cenderung lambat dan kurang tangkas menjawab pertanyaan wartawan. Karena itu kemudian ditunjuk seorang jubir untuk membantunya.
Tapi efeketifitas jubir pun menjadi sorotan karena tidak banyak membantu memperbaiki komunikasi politik kepresidenan. Posisi ini pun dianggap sebagai wadah untuk penampungan para timses sebagaimana posisi komisaris BUMN. Jabatan jubir hanya dianggap sebagai jabatan seremonial dan malah hanya menjadi batu loncatan untuk jabatan politik selanjutnya.
Fadjroel, yang semasa menjadi aktivis mahasiswa terkenal tangkas dan cakap dalam berargumentasi, sekarang lebih sering terlihat gagap dan gagu ketika menjadi jubir presiden. Ia lebih sering defensif karena harus menangkis serangan terhadap presiden daripada menjelaskan gagasan-gagasan presiden.
Karena itu ketika jabatan ini lowong publik mempertanyakan apakah perlu diisi atau tidak. Sejumlah nama pun dimunculkan, mulai dari Febri Diansyah, mantan jubir KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sampai Fachri Hamzah, politisi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang sekarang menyeberang menjadi wakil ketua Partai Gelora.
Saat publik ramai memperbincangkan siapa yang pantas jadi jubir presiden, muncul ide dari Anita Wahid, putri almarhum Gus Dur, agar presiden tidak hanya punya juru bicara tapi juga punya juru dengar.
Almarhum Gus Dur sangat terkenal dengan ide-idenya yang segar meskipun sering terdengar nyeleneh. Rupanya hal itu menurun kepada putri-putrinya. Usulan Anita itu tidak lazim, agak nyeleneh, tetapi cukup segar. Di seluruh dunia tidak ada presiden yang punya juru dengar. Kalau ide ini diterima maka Jokowi akan menjadi presiden pertama di dunia yang punya juru dengar.
Menurut Anita Wahid, Jokowi tidak hanya membutuhkan jubir tapi juga juru dengar. Tujuannya adalah untuk lebih bisa mendengarkan aspirasi dan keluhan rakyat. Juru dengar dibutuhkan supaya benar-benar bisa menyerap aspirasi publik dan melaporkannya dengan objektif kepada presiden.
Juru dengar diperlukan supaya presiden mendapatkan sumber informasi yang independen dan lebih kredibel. Jangan sampai presiden hanya mendengar laporan dari pembantu-pembantunya yang lebih sering ABS (asal bos senang). Presiden juga jangan sampai mengandalkan informasi dari buzzer-buzzer bayaran yang hanya suka mengumbar puja-puji.
Juru dengar penting dipunyai presiden untuk mendengarkan suara rakyat yang sekarang ini semakin lirih terdengar. Fadjroel Rachman boleh saja mengklaim bahwa demokrasi berjalan baik, sebuah klaim yang sangat ABS. Faktanya sekarang indeks demokrasi Indonesia melorot menjadi ‘’partly free’’ yang berarti tidak sepenuhnya bebas.
Terlepas dari retorika Fadjroel yang mengatakan presiden tidak anti-kritik, tetapi dalam praktiknya saluran-saluran kritik sudah banyak yang tersumbat. Di parlemen suara kritis nyaris tak terdengar karena oposisi sekarang menjadi minoritas. Oposisi non-formal pun tidak bisa berkutik karena tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjarakan.
Rakyat jelata yang coba-coba menyuarakan aspirasinya pun takut kena jeratan UU ITE yang bisa melar kemana-mana. Mahasiswa yang selama ini menjadi inspirasi suara kritis juga dibungkam di kampusnya.
Jokowi lebih butuh juru dengar daripada juru bicara. Secara alamiah manusia dikaruniai dua telinga dan satu lidah. Itu artinya manusia harus mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara. Seorang pemimpin harus dua kali lebih banyak mendengar aspirasi rakyat daripada mengobral janji kepada rakyat.
Lidah tidak bertulang dan tidak bercabang. Kalau lidah bercabang berarti sama dengan lidah kadal, biawak, dan ular. Banyak bicara menyanjung-nyanjung presiden dan menjilat-jilat setiap saat. Itulah yang banyak terjadi di sekeliling presiden.
Suara kritis semakin sayup karena oposisi makin layu. Presiden dikepung oleh kekuasaan oligarki, yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik dalam sosok ‘’peng-peng’’ alias penguasa dan sekaligus pengusaha.
Laporan yang banyak beredar hari-hari ini menyoroti keterlibatan sejumlah pejabat tinggi elite di sekitar Jokowi dengan korporasi-korporasi besar, yang menangguk untung besar selama pandemi. Para peng-peng itu mengumpulkan cuan puluhan triliun rupiah dari berbagai macam bisnis selama masa pandemi dua tahun terakhir.
Ketika rakyat masih tercekik oleh kesulitan ekonomi, segelintir peng-peng oligark malah berpesta pora mengeruk keuntungan. Jeritan rakyat tidak sepenuhnya terdengar karena Jokowi tidak punya juru dengar yang andal.
Yang ada di sekitar Jokowi sekarang lebih banyak para juru bayar yang bertindak sebagai bandar politik. Mereka memonopoli bisnis untuk mengumpulkan modal politik, menjadi bandar proyek-proyek politik sambil bersiap-siap untuk maju dalam kontestasi politik pada pilpres 2024.
Prof. Chusnul Mariyah dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa panggung politik Indonesia dipenuhi oleh para aktor politik yang terdiri dari bandar, bandit, dan badut. Tiga karakter itu menjadi pemain dominan dalam percaturan politik Indonesia.
Bandar adalah para oligark yang menguasai akses ekonomi dan melakukan monopoli terhadapnya. Pada bandar ini kemudian memanfaatkan kekayaannya untuk membiayai proyek-proyek politik. Para bandar ini bermain dalam kontestasi politik mulai level daerah sampai ke level nasional.
Para bandar menjadi bohir politik dalam berbagai pilkada daerah dengan membayar ongkos politik calon kepala daerah. Setelah calonnya menang, sang bandar akan menerima imbalan berupa proyek daerah maupun berbagai konsesi perizinan. Para bandar tidak hanya menjadi bohir calon kepala daerah, tapi juga mengongkosi calon-calon anggota legislatif yang berkontestasi. Praktik ini berlangsung dari level daerah sampai pusat.
Para bandit menggarong anggaran negara dengan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan para penguasa. Para bandit menggerogoti uang rakyat dengan memonopoli proyek-proyek pemerintahan. Para bandit mendapatkan berbagai macam konsesi seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, karena kedekatannya dengan penguasa.
Para bandit berkolusi dengan penguasa dan keluarganya untuk membentuk perusahaan yang mengerjakan berbagai proyek pemerintahan. Pada bandit memastikan bahwa tender akan direkayasa dengan mulus untuk memenangkan perusahaannya. Para bandit ini menjadi orang-orang kepercayaan penguasa dan menjadi tim bayangan yang sangat berpengaruh.
Para badut adalah para pelawak politik yang berbicara berbusa-busa atas nama rakyat. Para badut itu ada di lembaga legislatif sebagai anggota dewan yang terhormat, dan ada di lembaga eksekutif sebagai kepala pemerintahan. Mereka berbicara atas nama kepentingan rakyat, meskipun yang mereka katakan tidak lebih dari dagelan politik.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam bukunya ‘’Democracy for Sale’’ mengatakan bahwa demokrasi Indonesia telah tergadai dan diperjualbelikan dengan bebas kepada para bandar, bandit, dan badut itu. (*)
sumber: kempalan
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply