matamaduranews.com-Belakangan terjadi framing. Seolah-olah mantan Bupati Sumenep A Busyro Karim terlibat dalam pembelian kapal yang kini diperiksa Kejaksaan Negeri Sumenep.
Padahal, eks Bupati Dua Periode itu yang mempersoalkan pembelian kapal itu. Dulu, sebagai Pemegang Saham Mayoritas PT Sumekar Line-karena beliau menjabat Bupati Sumenep.
Kenapa dipersoalkan? Karena pembelian kapal itu diketahui tidak melalui RKAP (Rencana Kegiatan Anggaran Perusahaan) sebagaimana diamanatkan regulasi PT.
Seandainya eks Bupati itu tak mempersoalkan. Bisa jadi, pembelian kapal itu terwujud. Entah dari mana sumber uangnya. Apa pinjam uang ke bank. Atau bekerjasama dengan pihak lain. Semacam kontrak B to B.
Atau niru cerita PI Migas-karena tak punya uang untuk setor besaran investasi pengeboran 10%.
Pemegang lisensi PI Migas itu, pinjam uang ke pihak ketiga. Jadilah Jatah PI 10% itu, milik bertiga atau lebih.
Eks Bupati Sumenep itu menyetop pembelian dua kapal yang terlanjur dibayar oleh direksi PT Sumeka Line. Uang yang terlanjur dikeluarkan mencapai Rp 3,8 miliar.
Wuih..hebat direksi PT Sumekar Line itu.
Itu saya bilang ugal-ugalan. Ketika PT Sumekar Line tajir melintir. Direktur Sumekar Line, Syafii-ketika itu-terlalu bersemangat melakukan lompatan kreasi usaha tanpa melakukan koordinasi dengan pemilik saham mayoritas.
Langkah manajemen terlanjur kebablasan. Uang perusahaan dari hasil keperintisan dan lain-lain terlanjur terkuras untuk membeli kapal.
Uang hasil usaha keperintisan diwujudkan sebagai uang muka (DP) pembelian kapal cepat. Sisanya membeli kapal penyeberangan Talango-Kalianget.
Karena pembelian disetop. Dalam RUPS LUB disepakati, direksi siap mengembalikan uang PT Sumekar Line yang terlanjur dibelikan kapal.
Uang Rp 3,8 miliar yang dibelanjakan itu disuruh dikembalikan ke PT Sumekar Line. Direksi menyanggupinya. Kesanggupan mengembalikan dibuat di hadapan notaris.
Serius. Saya nanya karena awam dunia hukum.
Janji mengembalikan uang masuk pidana apa perdata? Biar anda yang bahas.
Seiring berjalannya waktu. Berbagai negosiasi dilakukan. Hasilnya tetap buntu. Piutang direksi sebesar Rp 3,8 miliar ke perusahaan tak kunjung dibayar.
Keuangan perusahaan oleng. Gaji karyawan tak terbayar. Beruntung ada job Safari Kepulauan. Laba itu bisa bikin perusahaan bernafas. Karyawan mulai senyum senyum.
Soal istilah pembelian kapal ghoib-versi media-anda yang menilai.
Yang pasti kapal penyeberangan yang dibelanjakan ada. Uang terlanjur dibelanjakan. Hanya tak disetujui, pembelian itu tak berlanjut.
Sejatinya media mengerti persoalan sebelum menulis berita. Tak mengekor pernyataan dari apa kata sumber berita. Biar tak terkesan jadi media rilis.
Saya ingat pernyataan Eric Hoffer.
Propaganda itu bukan menipu masyarakat. Propaganda hanya membantu masyarakat untuk tertipu.
Eric Hoffer bercerita kisah sukses propaganda pada tingkat paling cerdas. Hingga dalam banyak kasus, banyak orang tak sadar bahwa mereka bekerja dalam pengaruh proganda.
Itulah kenapa media perlu menyaring isi rilis. Tak sedikit rilis itu seperti propaganda. Ada ruang gelap di sana. Ruang kinyis-kinyis yang dipertontonkan.
Seperti pembelian kapal oleh manajemen PT Sumekar Line tahun tahun 2019-2020 itu.
Mestinya media melawan arus beritanya dari veri kejaksaan: kok besar laba dari hasil usaha trayek program keperintisan dan angkutan lebaran dari Dishub Jatim.
Nilai kontrak di atas Rp 12 miliar. Direksi kok bisa membelanjakan Rp 3,8 miliar.
Siapa penikmat aliran keperintisan itu. Padahal momentumnya menjelang Pilkada 2020.
Sampai di sini, mulai paham? Itulah kata Eric Hoffer.
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply