Post Images
Catatan Ahmad Farisi* Pro-kontra tentang Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menghiasi jagat publik. RUU HIP yang merupakan bagian dari prolegnas DPR RI 2020 itu menuai kritik dari berbagai kalangan. Pun pada kenyataannya proses legislasi RUU HIP menurut Pemerintah akan ditunda dengan alasan Pemerintah ingin fokus pada perang melawan pandemi Covid-19, tetapi hujan kritik dari publik tak kunjung juga reda. Bahkan semakin deras dan keras. Hal itu, dimungkinkan karena yang diinginkan masyarakat bukanlah penundaan pembahasan, melainkan pengakhiran dari proses legislasi RUU HIP seperti yang disuarakan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui pernyataan resminya. Secara tidak langsung, kehadiran RUU HIP yang polemis di tengah-tengah masyarakat telah menguras banyak energi dan perhatian publik yang sedang sengkarut melawan ganasnya pandemi Covid-19. Dan, dengan demikian kita jadi bertanya-tanya seberapa penting RUU HIP ini dibahas, di tengah kondisi masyarakat yang sedang tak karuan akibat pandemi Covid-19, bahkan? Lebih lanjut, mari kita bahas. Secara garis waktu, RUU HIP bukanlah kebutuhan mendesak. Artinya, pun tak dibahas sekarang, Pancasila tak akan tiba-tiba hilang dan lumpuh diterpa zaman dan waktu. Bahkan, dengan hadirnya lebih dulu BPIP yang barang tentu siap melindungi ideologi Pancasila dengan segenap jiwa dan raganya, eksistensi Pancasila barang tentu tidak dalam keadaan bahaya. Dan, ini semakin memberi garis terang pada kita bahwa proses legislasi RUU HIP benar-benar tidak mendesak-desak amat. Apalagi, Pancasila sebagai ideologi NKRI juga sudah punya payung hukum yang kuat yang menyatakan dirinya sebagai ideologi dan falsafah Negara. Jadi, sampai di sini sinyal itu semakin berdenyar kuat bahwa RUU HIP tidaklah terlalu penting untuk masuk proses legislasi di tengah kondisi masyarakat yang sedang kacau. Selain akan mengganggu konsentrasi masyarakat dalam menjalani hidup di era ketidaknormalan, hal itu juga akan memicu kurang ketatnya publik mengawal proses legislasi RUU HIP. Sehingga, bisa saja puncak dari proses legislasi RUU HIP itu akan cacat hukum atau bahkan mengalami kesalahan dalam menafsirkan asas-asas Pancasila. Yang pertama, itu catatan saya perihal sejauh mana urgensi RUU HIP ini untuk dibahas. Namun, berkenaan pemerintah telah menunda proses legislasi RUU HIP, saya rasa bagian ini tak terlalu penting untuk diperhatikan. Akan tetapi, mari kita catat tebal bagian ini dengan harapanagar tak mengulangi lagi. Sebab, hal ini bukanlah kali pertama kita membahas sejumlah RUU yang sifatnya urgen dengan tergesa-gesa di tengah kondisi tak normal. Sebut saja, sebelum RUU HIP, adalah RUU Minerba dan RUU Cipta Kerja. Terlepas dari catatan pertama, sebenarnya saya merasa risihdengan kehadiran RUU HIP ini. Kenapa tidak? Melalui RUU HIP, seakan DPR adalah orang yang paling paham soal makna sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Sehingga merasa berwenang untuk  membuat haluan ideologi Pancasila. Padahal, Pancasila adalah bentuk ideologi final dengan kelima silanya. Yang artinya, tak bisa dikurangi ataupun ditambahi. Lalu, bagaimana dengan Pasal 7 ayat (2) dan (3) dalam RUU HIP yang memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila? Inilah bentuk kejanggalannya. Karena itu, sekali lagi saya tegaskan, dengan RUU HIP, seakan DPR adalah lembaga yang paling paham soal asas Pancasila. Sama dengan Orba dengan P4-nya. Dalam catatan sejarah, di masa Orba ada istilah P4. P4, adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau Eka Prasetya Pancakarsa. P4-nya Orba, juga punya maksud yang sama dengan RUU HIP, yakni membumikan Pancasila dan membentuk masyarakat pancasilais. Namun, dalam praktiknya tidak sesuai maksud dan harapan. P4 malah menjadi alat kesewenangan Orba untuk menyerang musuh politiknya dengan dalih menentang Pancasila. Sehingga, dengan P4 ini Orba tetap langgeng bertahan dengan kondisi yang tampak menjunjung Pancasila. Dan yang menjadi pertanyaan penting dalam benak saya; jika betul melalui RUU HIP Badan Legislasi (Baleg) DPR ini ingin membumikan Pancasila dalam kehidupan bernegara, mengapa Tap MPRS No XXV tahun 1966 yang berisi larangan paham atau ajaran komunisme/lelenisme dan marxisme tidak dicantumkan? Bukankah itu sangat penting untuk menegaskan bahwa pancasilaisme bukanlah bagian dari kawanan komunisme/lelenisme dan marxisme? Dan, bukankah juga dengan tidak dicantumkannya Tap MPRS No XXV itu, itu memberi tanda bahwa RUU HIP membukakan pintu untuk ketiga isme itu masuk secara tersistem ke dalam tubuh Pancasila? Hmm, saya jadi curiga. Jangan-jangan ini ada upaya untuk memasukkan lagi komunisme dalam kehidupan bernegara untuk kemudian memanas-manasi bangkitnya luka sejarah antara kelompok Islam dan Komunis untuk kemudian mengambil keuntungan politik di balik semua ini. Ah, tapi sudahlah, ini dugaan semata. Semoga salah. Wallahu A’lam. So, ini adalah bagian kedua dari catatan saya untuk RUU HIP. Selebihnya, mari kita pikirkan bersama. *) Mahasiswa UIN Jogja, Penikmat Politik
Dua Catatan Saya untuk RUU HIP RUU RIP Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru

Blog dengan Komentar Terbanyak