SEBENARNYA saya tertarik nulis tarekat Shiddiqiyyah-yang lagi ramai gegara Mas Bechi-putra sang mursyid. Tertarik karena kebetulan-tarekat sejenis-tudingan tarekat di luar muktabarah-sempat jadi bahan tesis.
Biar lain waktu mengulasnya.
Kehebohan soal blangkon dan batik tulis khas Sumenep untuk pakaian ASN Pemkab Sumenep lebih menggoda. Ditambah komentar-komentar miring dari netizen. Terkhusus dari loyalis Fauzi-Eva.
Saking kebablasannya, si loyalis ada yang menyebut renggireng untuk menjawabnya. Entah jawaban apa itu. Pokoknya heboh di grup WhatsApp kumpulan wartawan, advokat dan LSM itu.
Ada netizen yang nyeletuk: monopoli galvalum dan aspal. Entah apa jawaban si loyalis.
Sebelum Bupati Fauzi menyatakan ke media akan memberlakukan semua ASN Pemkab Sumenep memakai batik tulis khas Sumenep plus blangkon. Sudah banyak suara miring. Lagi-lagi yang bersuara para loyalisnya.
Lebih heboh saat saya diajak survei pengrajin blangkon ke Jogjakarta. Heboh-nya minta ampun. Serasa arsy berguncang.
Ketika itu, saya diajak orang dekat Bupati Fauzi. Lek Imam. Sahabat Imam. Kebanyakan orang menyebut Imam Talango. Juga ada yang manggil Imam Cena.
Ceritanya, Sahabat Imam kebingungan nyari pelatih blangkon. Pengrajin blangkon yang ada di Sumenep. Bilangnya enggan melatih, katanya. Khawatir ketika ngerti buat blangkon. Tak lagi pesan pada dirinya.
Pikiran saya langsung terbayang ke Solo atau Jogjakarta. Pusat peradaban Jawa. Apalagi Keraton Sumenep masih berkiblat ke sono.
Waktu yang ditentukan tiba. Sahabat Imam diberi sango ke Jogja oleh Mas Didik Cako, owner canteng koneng. Biaya ke Jogja tentu pribadi. Juga ada saweran dari teman-temannya Imam.
Saya ikut sebagai guide. Saya tunjukkan ke sesepuh pengrajin blangkon Jogjakarta. Lokasinya di daerah Godean, Sleman.
Di sana berjejer pengrajin blangkon.
Singkat kata. Oleh-oleh dari Jogja itu berupa ilmu cara membuat blangkon. Tinggal nyari peserta yang akan dilatih.
Persoalan mulai muncul. Nyari peserta yang bersedia dilatih. Lalu muncul pertanyaan. Model blangkon khas Sumenep. Termasuk model blangkon khusus raja. Dan sebagainya.
Hal ini masih wacana. Mas Didik minta ke saya untuk nyarikan referensi soal model blangkon khas Sumenep.
Dalam itungan jam. Refrensi itu didapat. Sumbernya tak perlu disebut di sini. Karena beliau yang masih keturunan ke 4 dari Sultan Abdurrahman enggan dipublikasikan.
Beberapa hari kemudian. Datang seorang utusan ke kantor Cako. Ngabarin jika pengrajin blangkon di Sumenep bersedia melatih. Tapi yang hendak dilatih sekian orang.
Informasi lain mengabari ada dari Batuputih juga bersedia menjadi pelatih blangkon.
“Wah ini kok banyak yang mau melatih. Syukur lah. Ini berkah oleh-oleh dari Jogja,†kelakar Mas Didik-waktu ngobrol santai.
Mas Didik bersyukur semua pendukung bupati saling bahu mewujudkan apa yang menjadi programnya.
“Lubang-lubang itu mestinya saling menutupi. Agar program bupati nyata di mata masyarakat,†tutur Mas Didik menambahkan.
Mas Didik lagi konsern mengawal pengrajin batik tulis di Pakandangan, Bluto. Yang menurut Mas Didik. Pengrajin batik itu sudah lama beralih profesi karena produk batiknya tak ada yang membeli.
Mas Didik minta perhatian Bupati Fauzi agar memikirkan nasib pengrajin batik. Usulan Mas Didik direspon. Lalu muncul rencana kebijakan bupati yang mengharuskan ASN Sumenep berseragam batik tulis khas Sumenep selama dua hari.
Pada hari Kamis, ASN memakai batik tulis motif lama. Pada hari Jumat, memakai batik modern. Hak ciptanya diserahkan ke Pemkab Sumenep
Bupati Sumenep Achmad Fauzi saat meninjau pengrajin batik tulis khas Sumenep di Desa Pakandangan Bluto. Produksi batik tulis pengrajin motif lama ini yang akan menjadi seragam ASN Pemkab Sumenep.
Batik ini yang lagi dikerjakan para pengrajin batik tulis khas Sumenep. Mas Didik membuka peluang. Siapa saja yang mau bergabung. Pintu terbuka. Karena kebutuhan batik tulis itu belasan ribu batik.
Mas Didik baru mengumpulkan 15 UMKM. Setiap UMKM diisi 10 pengrajin batik tulis.
Harga jual batik ditentukan oleh Bupati. Tak boleh lebih dari 150 ribu.
Harga itu menurut Mas Didik tergolong murah dengan kualitas sedang. “Jika dilempar ke pasar bebas, bisa di atas 200 ribu atau 300 ribu,†ujar Didik.
So..dengan harga jual itu, per pekerja dapat ongkos membatik 120 ribu per baju. Per hari, pekerja batik hanya dapat upah 24 ribu. Karena untuk menghasilkan satu baju batik siap pakai. Butuh waktu 5 hari.
Sebulan si pekerja hanya menghasilkan 6 batik. Jika 10 pengrajin. Setiap UMKM bisa produksi 60 batik tulis. Dari 15 UMKM yang ada, baru menghasilkan 900 batik tulis dalam sebulan.
Dengan kebutuhan belasan ribu batik untuk seragam ASN. 15 UMKM masih jauh dari kebutuhan.
Makanya, Mas Didik-menginisiasi membuka diri. Siapa saja UMKM Batik yang mau produksi batik seragam ASN- terbuka. Tanpa embel-embel. Hanya satu tujuan: memberdayakan pengrajin batik dan menggerakkan ekonomi warganya.
Bidang pemasaran. Mas Didik tak lagi intervensi. Selain harga sudah ditentukan. Yang menangani penjualan batik itu koperasi. Namanya: Koperasi Produsen Kerajinan dan Batik Tulis Pakandangan.
Koperasi ini diisi para pembatik tradisional di wilayah Pakandangan.
Komitmen Mas Didik hanya ingin menggerakkan ekonomi para pengrajin batik tulis khas Sumenep. Tak lebih itu. Selain membantu mewujudkan program bupati dalam memberdayakan ekonomi warganya.
Kembali soal blangkon. Sebenarnya ini program lama Bupati Fauzi usai dilantik akhir Februari 2021.
Sejak itu. Fauzi menerapkan kebijakan. Setiap tamu yang hendak berkunjung ke Rumah Dinas Bupati-yang berada di lingkungan Keraton Sumenep. Salah satu kewajiban si tamu adalah memakai blangkon.
Tujuan Bupati Fauzi semata menghidupkan nuansa Keraton Sumenep. Salah satu aset berharga warisan leluhur. Katanya perlu dirawat dan dilestarikan.
Tapi efek dari wacana itu belum terasa. Baru tampak efek dominonya-ketika Bupati Fauzi memberlakukan semua ASN di Sumenep memakai blangkon. Dilengkapi batik tulis khas Sumenep.
Apalagi dalam perkembangannya. Semua siswa SD sampai SMP. Aparat pemerintah desa. Pegawai BUMD dan BUMN di Sumenep juga memakai blangkon di hari tertentu.
Bisa puluhan ribu blangkon yang dibutuhkan. Nuansa keraton baru mulai terasa.
Heboh Blangkon dan Batik Tulis. Seperti awal dialektika kelahiran masa renaisans di Eropa.
Hambali Rasidi
11 Juli 2022
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply