Oleh: Syarifah Isnaini*
Pada sebuah kelas perkuliahan tentang global village, dosen saya menyampaikan argumennya bahwa sesungguhnya hampir tidak ada lagi perbedaan berarti antara desa dan kota. Sekat-sekat disparitas meliputi nilai dan konsep sosial budaya nyaris sama. Apa yang diakses masyarakat di daerah perkotaan dan pedesaan kurang lebih seragam meliputi media sosial, corak kanal informasi, serta selera gaya hidup. Barangkali dimensi yang masih cukup mencolok antara masyarakat urban dengan dusun berkisar paradigma seputar persoalan sakral dan profan. Dalam hal ini, sesuatu yang sakral dan profan bagi kaum pedesaan bisa dipandang sebaliknya oleh kaum perkotaan.
Sebagai konsekuensi dari kondisi kesamaan terhadap akses nilai tersebut, nilai-nilai pedesaan kemudian terasa bergeser digantikan beberapa nilai baru yang diakibatkan globalisasi dan westernisasi. Kita sebut saja misalnya nilai komunal yang identik dengan masyarakat desa perlahan berubah seiring dengan semakin privatnya gaya hidup orang-orang di dalamnya. Dahulu lazim dijumpai cengkrama antar tetangga sekedar untuk melepas penat setelah berladang. Kini hal tersebut perlahan berubah dan beralih pada ruang virtual yang menyebabkan penggunanya secara fisik diliputi sunyi, namun berinteraksi dengan begitu ramainya di arena media sosial.
Lazimnya kehidupan yang dinamis, memang tidak mungkin umat manusia menolak variasi perubahan. Sebab, satu-satunya hal yang tidak pernah berubah adalah terjadinya perubahan itu sendiri. Hanya saja ketika terjadi sebuah pembaharuan yang menyebabkan nilai-nilai pedesaan kembali, rasanya saya tidak cukup pandai mengelak untuk berkata saya ikut bahagia. Akhir-akhir ini, di kampung saya yang letaknya berada di pedesaan salah satu kabupaten Madura sedang hits permainan layang-layang. Tepatnya bukan hits, akan tetapi kembali hits setelah sekian lama tidak ada lagi orang desa yang menggeluti salah satu jenis permainan tradisional tersebut.
Hal yang saya sebut pembaharuan terkait permainan layang-layang mengacu kepada perkumpulan pemain layangan dalam sebuah arena yang lantas dikenal dengan tayuban atau tayupan dalam pengucapan manusia Madura. Segmentasi peserta tayuban layang-layang terdiri dari berbagai kategori umur baik tua maupun muda bersatu padu untuk menampilkan kinerja permainan terbaik. Tayuban sendiri didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai tarian yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan diiringi gamelan dan tembang. Penggunaan kata tayuban dalam permainan layang-layang orang Madura boleh jadi merujuk pada sifat layangan yang menari di udara sejalan dengan laju gerak angin.
Fenomena tayuban layang-layang menjadi menarik untuk dicermati ketika nilai-nilai kebersamaan di desa perlahan terkikis sebagai dampak dari perkembangan peradaban dunia. Pada kesempatan tersebut, atas nama layang-layang para warga berkumpul di tempat yang sama, akan tetapi barangkali tidak disadari bahwa pada waktu yang sama pula mereka sedang mengembalikan beberapa tradisi yang merupakan ciri khas warga pedesaan Madura.
Secara kontekstual, esensi daripada tayuban layang-layang dapat dideskripsikan sesuai dengan kategori berbagai lapisan yang terlibat di dalamnya. Bagi anak-anak desa Madura pada tingkatan usia belia dan dewasa, mereka memufakati klaim Jan White (2007) bahwa mayapada selalu menjadi elemen terbuka yang bisa memenuhi kebutuhan kaum muda dalam menginterpretasikan sebuah objek yang ditemui. Eksplorasi terhadap alam secara fisik menjadi barang ‘mewah’ di tengah gempuran canggihnya smartphone yang mengelilingi tumbuh kembang generasi muda masa kini. Tayuban layang-layang sekaligus pula mengekalkan tradisi generasi muda desa yang senantiasa bertumbuh dengan berdampingan dengan proses hijau-menguningnya hasil palawija masyarakat Madura.
Pada golongan masyarakat dewasa-tua yang berperan sebagai penonton pada arena tayuban layang-layang, denyut permainan mengantarkan mereka pada pertemuan yang boleh jadi mulai berkurang intensitasnya sejak produk modernisasi mengambil peranan dalam kehidupan pedesaan. Kondisi ini membantu para warga desa untuk mengakrabi kembali sanak famili dan tetangga yang bisa jadi mulai sedikit terlupakan. Sebab, bisa dikatakan kesadaran generasi belakangan akan sanak saudara dan tetangga yang letak rumahnya berjauhan semakin menipis. Tentu kondisi ini berbeda dengan para sesepuh desa yang mengenal baik secara samar maupun jelas sesiapa saja tetangga ataupun saudara jauh mereka seiring intensitas perjumpaan yang dilakukan dahulu. Dalam hal inilah kemudian tayuban layang-layang menjadi simbol penting akan reaktualisasi dan rekonstruksi tata nilai pedesaan Madura.
Pada lapisan para pemain muda-dewasa yang berkontribusi dalam tayuban layang-layang, mereka akhirnya menemukan sebuah panggung atas ekspresi kesenangan mereka. Hal ini sebab sedari dulu para warga di desa saya terbiasa memainkan layangan mereka secara individu dengan memilih medan secara mandiri pula. Kalaupun mungkin menerbangkan layangan bersama-sama tetaplah tidak melibatkan banyak elemen yang kemudian menghasilkan semarak seperti musim belakangan ini.
Hal lain yang tidak kalah penting dari tayuban layang-layang selain mengekalkan solidaritas antar para pemain, ia cukup mengajarkan kebesaran hati untuk turut mengapresiasi karya rekan sepermainan. Perspektif terhadap permainan layang-layang tanpa disadari juga turut berubah seperti diungkapkan oleh Patrick Berger dalam teorinya tentang hubungan dialektis. Berger membeberkan fakta bahwa beberapa faktor pada sebuah masyarakat mampu mendorong pemaknaan berbeda atas sebuah fenomena. Dalam kasus tayuban layang-layang, teori Berger menjelaskan mengapa kemudian sebuah permainan tidak hanya dimaknai sebagai tontonan, akan tetapi juga sebagai ajang saling menjaga kekompakan dan persaudaraan.
Walhasil, dari tayuban layang-layang terbitlah sebuah harapan baru. Semoga masih ada tayuban-tayuban lain setelahnya di bawah langit pedesaan. Berkat tayuban serta merta tersisa ruang untuk percaya bahwa sesuatu yang anyar tidak selalu mampu melibas tata nilai desa Madura yang telah melewati berbagai proses panjang. Alih-alih melibas, ia justru membangunnya kembali.
*Penulis merupakan mahasiswi Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam rangka proses purna studi, saat ini penulis berdomisili di Yogyakarta.
Write your comment
Cancel Reply