Oleh: Moh. Rasyid*
Setiap suku atau etnis memiliki ciri khas tersendiri dalam ekspresi sosial-budaya, politik, dan apalagi keagamaan yang dalam konteks kultur Madura, ia sangatlah vital. Di sisi lain, keterikatan masyarakat Madura dengan budaya lokal menemukan momentumnya dalam ungkapan Clifford James Geertz (1926-2006), seorang antropolog AS, di mana relasi manusia dan kebudayaan ibarat binatang yang terjerat oleh jaring-jaring buatannya sendiri. Kebudayaan merupakan gagasan yang ditata dalam sistem-simbol yang memungkinkan setiap individu hidup ditengah semesta.
Meski terkesan pragmatis, saya boleh mengakui betapa agama (baca; Islam) cukup menemukan tempat di hati masyarakat Madura. Masyarakat Madura, dalam kajian Huub de Jonge (1989: 42), dikenal sebagai komunitas yang patuh dalam menjalankan ajaran Islam.
Saya pikir sangat wajar, karenanya, jika pembahasan mengenai Madura berkelindan dengan universalitas nilai-nilai keislaman, meskipun Madura tidak berarti Islam. Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas etnik Madura. Pada titik inilah Islam, sebagai agama orang Madura, tidak saja berfungsi sebagai ajaran saklek dalam menentukan sikap dan tutur kata baik yang menyangkut relasi vertikal maupun horizontal, melainkan juga sebagai salah satu unsur penanda identitas etnik.
Kecenderungan religiusitas masyarakat Madura tidak hanya bisa dilihat dari pengadopsian Islam sebagai kepercayaan normatif, tapi juga dari kesadaran kolektif untuk melabuhkan nilai-nilai keislaman (religious values) ke dalam budaya lokal. Meminjam bahasa Azyumardi Azra dalam Simposium Islam Nusantara (10/02/20), terjadi mutual accommodation antara Islam dan kebudayaan. Beberapa tradisi lokal seperti kompolan rukun, kompolan samman, kompolan silat, rokat tase’, nyadhar dlsb di mana, di tangan masyarakat Madura telah mendapatkan sentuhan nilai-nilai keislaman.
Di sinilah cikal bakal ketergantungan sebuah tradisi dengan ajaran-ajaran Islam-sebut saja tahlilan (membaca kalimat tauhid, tahmid, tasbih, istighfar dlsb), sholawatan, yasinan dan khataman Alquran-dimulai, yang semula hanya sebagai ritual keagamaan-formal di masjid-masjid dan langghar (musholla), kini mampu berasimilasi di ruang-ruang terbuka di mana sebuah tradisi itu digelar.
Salah satu tradisi-budaya Madura yang (mungkin) masih terlestarikan hingga hari ini adalah penghormatan yang tinggi kepada pilar-pilar penyangga yang, bagi masyarakat Madura, keberadaannya cukup vital dan sakral; adalah falsafah bhapa’-bhabhu’ ghuru rato. Sederhananya, falsafah ini berarti bapak-ibu, guru (kiai), raja (pemimpin/pemerintah). Falsafah ini merupakan konstruksi sosial-kolektif yang telah teruji oleh periodesasi sejarah yang cukup panjang (Moh. Hefni, 2007: 16).
Dalam konsep bhapa’-bhabhu’ ghuru rato tersirat adanya hierarki figur yang harus dihormati dan dipatuhi. Artinya, dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Madura, terdapat referensial-standar kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarkis. Konstruksi normatif ini mengikat bagi masyarakat Madura, sehingga pelanggaran terhadapnya adalah tabu dan akan mendapat sanksi sosial maupun kultural.
Pertama, kepatuhan kepada kedua orang tua harus dikedepankan karena adanya kekuatan religio-kultural yang mengakar di benak masyarakat Madura, berupa kewajiban untuk mematuhi keduanya. Dalam konsep Islam, berbakti atau mematuhi kedua orang tua sangatlah dianjurkan-bahkan wajib-selama tidak menabrak ketentuan-ketentuan syariat. Anjuran itu bisa kita lihat, di antaranya, dalam terminologi ‘birrul waalidain’ (berbuat baik kepada kedua orang tua) yang diperkenalkan Islam dalam QS. an-Nisa’ ayat 36. Bahkan Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa kewajiban berbakti kepada keduanya berbanding sejajar dengan jihad di jalan Allah SWT.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, anjuran mematuhi kedua orang tua dalam ayat tersebut adalah karena Allah telah menjadikan keduanya sebagai perantara keberadaan kita, dari tidak ada menjadi ada. Maka tak heran, jika dalam ayat yang lain, surat Luqman ayat 14 misalnya, Allah menyandingkan antara ibadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada orang tua. Di sinilah urgensitas bhapa’-bhabhu’ menemukan legitimasinya dalam Islam.
Kedua, bagi masyarakat Madura, sakralitas seorang guru (meliputi Kiai) berada pada posisinya yang bukan saja sebagai pemimpin duniawi, tapi juga pemimpin ukhrawi, atau sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam bahasa Benedict Anderson (1972; 19).
Khazanah keilmuan Islam klasik memiliki perhatian yang cukup besar dalam hal menghormati seorang guru. Menghormati atau mematuhi guru bukan saja karena ia telah mengajarkan banyak ilmu, melainkan juga hal itu diyakini sebagai salah satu penyebab keberkahan (baca; barokah) ilmu yang didapatkan.
Dalam konteks ini, ada ilustrasi menarik dalam kitab ‘Ta’lim Muta’allim’ karya Syaikh Burhanuddin, “adalah termasuk dari penghormatan terhadap guru; tidak berjalan di depannya, duduk di tempatnya, mengajaknya bicara kecuali atas permintaannya, berbicara macam-macam dengannya, dan jangan menanyakan sesuatu yang membosankan. Bersabarlah menunggu diluar hingga ia sendiri yang keluar dari rumahâ€. Sebuah ilustrasi yang mengandung norma etik dan mengedepankan kehati-hatian di hadapan guru.
Ketiga, seperti halnya kepatuhan kepada orang tua dan guru, keberadaan seorang raja/pemimpin juga sangat vital di tengah masyarakat Madura. Pengabdian masyarakat Madura terhadapnya sekental pengabdian mereka terhadap dua figur sebelumnya. Maka jika Islam telah jauh memberikan landasan normatif tentang kewajiban mematuhi raja setelah Allah dan Rasul-Nya (an-Nisaa: 59), sesungguhnya masyarakat Madura juga telah jauh mengartikulasikannya dalam kehidupan sosial-budayanya.
Adanya kepatuhan kepada raja, selama memerintahkan pada kebaikan, sesungguhnya merupakan ajaran Islam yang terejawantah dari Alquran dan hadits. Alasan mendasar terpenuhinya hierarki terakhir ini berada pada urgensitas raja itu sendiri di tengah kelompok masyarakat. Dalam buku ‘Islamku, Islam Anda, Islam Kita’, Gus Dur mengutip pernyataan Umar bin Khattab yang kurang lebih artinya begini; “Tiada Islam tanpa komunitas, tiada komunitas tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan".
Secara sederhana Umar hendak menjelaskan betapa keberadaan seorang raja sangat ditekankan agar menciptakan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Berangkat dari sebuah komunitas/kelompok, dan dinakhodai oleh seorang raja yang harus dipatuhi oleh kelompok masyarakat tersebut. Ketiga unsur ini harus terpenuhi agar imperium Islam ‘sebagai sebuah kelompok’ pada akhirnya mampu mewujudkan apa yang disebut sebagai ‘rahmatan lil alamin’.
Pada akhirnya keberadaan figur-figur penyangga itu menjadi elemen yang cukup berarti bagi masyarakat Madura. Sehingga begitu terjadi penelantaran terhadapnya, maka akan mendapat sanksi dari dua arah sekaligus; sanksi secara sosial dan religio-kultural. Karena apa yang menjadi landasan normatif tindak-tanduk masyarakat Madura adalah ajaran-ajaran Islam sebagai agama yang selalu kompatibel dalam pergeseran-pergeseran zaman.
*Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Write your comment
Cancel Reply